Pabrik di Malaysia Eksploitasi Buruh Migran, Dyson Putuskan Kontrak
Laporan pelanggaran hak-hak pekerja asing kembali terjadi di perusahaan Malaysia. Akibatnya, perusahaan teknologi asal Inggris, Dyson, memutuskan kontrak kerja dengan pabrik pembuat barang-barang mereka di Malaysia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, KAMIS — Perusahaan teknologi asal Inggris, Dyson, memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan Malaysia, ATA IMS Berhad, atas alasan eksploitasi tenaga kerja. Keputusan ini resmi berlaku per 1 Juni 2022. Sampai saat itu, ATA tetap memproduksi barang-barang elektronik Dyson seperti biasa.
Keputusan pemutusan kontrak itu diumumkan oleh kantor pusat Dyson di Singapura, Kamis (25/11/2021). Dalam keterangan singkatnya, perusahaan menyatakan, setelah penyelidikan menyusul laporan berbasis anonim pada September lalu, Dyson menemukan praktik kerja yang tidak sehat di ATA. Atas hal itu, Dyson akan menghentikan kerja sama dengan ATA. Belum ada keterangan mengenai pabrik baru yang akan digandeng Dyson untuk membuat produk-produk mereka.
Dyson didirikan oleh Jonathan Dyson dari Inggris. Perusahaan itu memproduksi perangkat rumah tangga elektronik, seperti penyedot debu dan pemurni udara. Pada 2002, Dyson memindahkan semua produksi mereka dari Inggris ke Malaysia karena biaya produksi yang lebih murah. Adapun kantor pusat mereka dipindah ke Singapura.
ATA merupakan mitra lokal Dyson. Selain Dyson, mereka juga memproduksi barang-barang elektronik dari merek lain. Akan tetapi, Dyson adalah pelanggan terbesar mereka. Sebanyak 80 persen dari total penerimaan ATA berasal dari kerja sama dengan Dyson. Setengah dari 8.032 pekerja di ATA adalah buruh migran. Begitu pengumuman pemutusan kontrak ini keluar, saham ATA di Bursa Saham Malaysia anjlok hingga 30 persen.
Malaysia memiliki jumlah tenaga kerja asing yang cukup banyak, yaitu 15 persen atau 2 juta dari total tenaga kerja. Ini hanya tenaga kerja yang memiliki surat-surat resmi. Berdasarkan dugaan Organisasi Migran Internasional, ada 2 juta hingga 4 juta tenaga kerja asing ilegal di negara itu. Tuduhan eksploitasi tenaga kerja asing bukan hal baru di Malaysia. Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat masih dalam proses menyelidiki perusahaan produsen ban, Goodyear Malaysia, atas laporan adanya pelanggaran hak asasi manusia di pabrik tersebut. Tindakan ini menyusul gugatan kepada perusahaan yang sama pada 2019 dan 2020 oleh 185 tenaga kerja asing, antara lain dari India, Nepal, dan Myanmar.
Sejumlah fakta tentang Goodyear Malaysia mereka ungkapkan. Di antaranya adalah menahan gaji pekerja, sering memberi ancaman kepada pekerja yang mengeluh, dan jam lembur mencapai 229 jam per pekan yang melebihi aturan dari Pemerintah Malaysia. Gaji yang ditahan perusahaan ini jumlahnya 1,21 juta dollar AS. Bahkan, Kementerian Tenaga Kerja Malaysia pada 2020 pernah menegur Goodyear Malaysia atas sembilan jenis pelanggaran.
Pengadilan Industri Malaysia memenangkan gugatan pekerja. Goodyear Malaysia diminta membayar gaji yang ditahan serta membenahi pola kerja mereka. Akan tetapi, Goodyear Malaysia memilih naik banding. Dilansir dari media Malaysia, The Star, salah satu alasan Goodyear Malaysia tidak memberi tunjangan yang setara kepada para pekerja asing ialah karena mereka tidak bergabung dengan serikat pekerja lokal.
Rapor merah Malaysia ini membuat negara-negara Barat mengategorikan kondisi pekerja Malaysia setara dengan di Korea Utara dan China. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, Badan Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan AS memasukkan enam perusahaan Malaysia ke dalam daftar hitam berdasarkan alasan pelanggaran hak-hak pekerja. Semua komoditas yang diproduksi enam perusahaan ini dilarang masuk ke AS.
Indonesia juga banyak mengeluhkan kondisi tenaga kerja di Malaysia. Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) melakukan protes di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta atas tuduhan perlakuan tidak manusiawi terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia di Sabah. Aparat keamanan Malaysia menangkapi tenaga kerja Indoensia yang tidak memiliki surat-surat resmi dengan alasan untuk mencegah penularan Covid-19. Mereka semua ditahan di rumah tahanan yang ukurannya tidak dapat menampung semua tenaga kerja yang ditangkapi itu. Akibat berdesak-desakan, penularan Covid-19 di antara tenaga kerja malah meningkat. Selain itu, KBMB juga menemukan kondisi yang tidak layak, seperti nihilnya air bersih, sehingga menimbulkan penyakit kulit, ancaman verbal dan fisik, serta sejumlah penganiayaan.
Lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Hong Kong dan memperjuangkan hak asasi manusia, Liberty Shared, mengatakan bahwa perlakuan buruk kepada tenaga kerja asing masih ditanggapi berbeda-beda. ”Sudah waktunya ini tegas dikategorikan sebagai kejahatan pidana. Perlakuan terhadap tenaga kerja adalah salah satu syarat mutlak untuk produksi yang berkelanjutan, selain ketentuan bahwa pabrik harus ramah lingkungan,” kata Direktur Liberty Shared Duncan Jepson.
Sementara itu, Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Datuk Khairul Dzaimee Daud mengumumkan adanya pelonggaran aturan kepada tenaga kerja asing yang izin kerjanya kedaluwarsa. Seperti dikutip oleh kantor berita Bernama, tenaga kerja yang menjadi ilegal ini boleh melamar kembali dari Malaysia tanpa harus pulang ke negara masing-masing. Persyaratannya, usia berkisar 18-49 tahun. Sebelumnya, batas usia adalah 45 tahun. (REUTERS)