Setelah hampir satu dekade hubungan Turki-Uni Emirat Arab naik turun dan disertai ketegangan, pemimpin kedua negara mencoba berdamai dan bekerja bersama.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Kris Mada
·4 menit baca
Pemerintah Turki dan Uni Emirat Arab menandatangani kesepakatan kerja sama senilai 10 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 143 triliun, Rabu (24/11/2021). Kesepakatan dalam bidang teknologi hingga energi itu langsung ditandatangani oleh Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan dan Putra Mahkota Abu Dhabi, penguasa UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan.
Nota kesepahaman investasi ini melibatkan entitas bisnis dan investasi Pemerintah UEA, yaitu Abu Dhabi Development Holding (ADQ) dan mitranya dari Turki, yakni Turkish Wealth Fund (TVF) dan Kantor Investasi Kepresidenan Turki serta beberapa perusahaan Turki. Kantor berita Turki, Anadolu (AA), juga menyebut kerja sama bank sentral kedua negara.
Bank Sentral Turki, TCMB, telah berupaya mencari kesepakatan swap dengan negara-negara lain untuk menyuntik dan mendukung lira, yang telah kehilangan nilainya hingga 45 persen tahun ini. Sebelum menandatangani kesepakatan dengan Bank Sentral UEA, TCMB telah mengadakan perjanjian sejenis dengan beberapa bank sentral negara lain.
TCMB menandatangani kesepakatan dengan Bank Sentral China yang bernilai 6 miliar dollar AS, Bank Sentral Qatar senilai 15 miliar dollar AS dan Bank Sentral Korea Selatan senilai 2 miliar dollar AS.
Tak lama setelah penandatanganan nota kesepahaman dengan Bank Sentral UEA, nilai mata uang lira menguat sebesar 5 persen menjadi 12,2 per dollar AS.
Erdogan menyambut tamunya dengan upacara kenegaraan di Istana Kepresidenan di Ankara sebelum pembicaraan dilakukan. Pertemuan itu dilanjutkan dengan upacara penandatanganan beberapa kesepakatan. Makan malam formal juga dilaksanakan di istana, yang diresmikan penggunaannya pada Oktober 2014.
Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan atau yang lebih akrab dipanggil MBZ mengatakan, dirinya senang bahwa pembicaraannya dengan Erdogan ”berbuah”. Hal itu adalah langkah pertama untuk terus memperkuat hubungan bilateral kedua negara.
”Saya berharap dapat menjajaki peluang kerja sama baru untuk memberi manfaat bagi kedua negara kita dan memajukan tujuan pembangunan bersama kita,” cuit MBZ di Twitter.
Sebagai balasan, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Casuvoglu akan mengunjungi Dubai, bulan depan.
Rivalitas di kawasan
Kunjungan sekaligus kerja sama antara UEA dan Turki adalah sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam hubungan kedua negara. Kunjungan MBZ ke Ankara, sekaligus melakukan penandatanganan kerja sama, adalah yang pertama kali sejak hampir satu dekade hubungan kedua negara memburuk.
Gokhan Demirtas dan Hasim Tekines, dua eks diplomat Turki dalam tulisanya di laman The Washington Institutemengatakan, gerakan demokrasi di Arab, yang dikenal dengan Gerakan Musim Semi di Arab (Arab Spring), menjadi titik tolak memburuknya hubungan kedua negara. Demirtas dan Tekines menuliskan, promosi ideologi politik yang berbeda, saling bertentangan, membuat hubungan kedua negara memburuk. Hubungan keduanya berada di titik terendah setelah gerakan Ikhwanul Muslimin kehilangan kekuasaan pada 2013 dan Abu Dhabi menuding Ankara mensponsori berbagai upaya kudeta di UEA.
Di balik itu, Ankara dan Abu Dhabi dipandang sama-sama mengejar kebijakan luar negeri yang ekspansionis. Kehadiran militer Turki di Qatar dan Tanduk Afrika berseberangan dengan kebijakan UEA dan Arab Saudi. Libya juga menjadi wilayah pembuktian perang proksi dalam persaingan Turki-UEA.
Meski berseberangan, upaya untuk menormalisasi hubungan bukannya tidak ada. Pada 2016, misalnya, Ankara dan Abu Dhabi telah memulai dialog untuk menyelesaikan masalah mereka dan meningkatkan kerja sama. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengunjungi UEA pada April 2016 dan bertemu dengan Sheikh Mohamed bin Zayed, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, dan Sheikh Abdullah bin Zayed, tetapi belum membuahkan hasil yang signifikan.
Keduanya mencoba memulai proses dialog kembali setelah Penasihat Keamanan Nasional UEA Sheikh Tahnoun bin Zayed al-Nahyan bertemu dengan Erdogan di Ankara, pertengahan Agustus lalu. Keduanya membahas rencana investasi UEA di Turki serta masalah regional lainnya.
Pemahaman satu sama lain soal kemampuan dan kapasitas setiap negara, dinilai Demirtas dan Tekines, adalah salah satu alasan yang membuat keduanya memilih membuka proses dialog kembali. Alasan lainnya, menurut mereka, adalah mulai berkurangnya peran AS di kawasan sebagai faktor dimulainya kembali dialog antara Turki dan UEA.
Namun, keduanya menilai, perubahan paling penting adalah dari internal Turki sendiri, terutama penurunan kemampuan, khususnya pada bidang ekonomi dan kebijakan domestik lainnya. Selain tengah mengalami masalah dengan perekomian Turki, Erdogan juga memandang UEA memiliki daya tawar tinggi setelah memberi perlindungan kepada Sedat Peker—salah satu tokoh yang dinilai penting di balik pengungkapan skandal di AKP, partai yang dipimpin Erdogan. Namun, soal yang terakhir, UEA tidak mengonfirmasinya.
Seorang pejabat Turki mengatakan, semua rivalitas yang pernah terjadi adalah masa lalu. ”Masalah dengan UEA sekarang ada di belakang. Kita memasuki periode yang didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan,” kata pejabat lainnya. (AFP/Reuters)