Setelah dunia kecewa dengan hasil COP 26, masih ada cara bagi masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan. Di saat yang sama, tetap tampil cantik dan bergaya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 telah berakhir pada 12 November lalu. Hasilnya dinilai mengecewakan karena tidak ada komitmen yang teguh dari negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon. Meskipun begitu, dari sisi setiap individu yang merupakan warga dunia, masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil untuk menyelamatkan lingkungan sekitar.
Berbicara tentang mode dan kecantikan secara sepintas terdengar remeh-temeh. Akan tetapi, kedua industri ini memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Apalagi, saat ini terjadi dua kutub di bisnis gaya hidup masyarakat global. Di satu sisi, produk mode dan kecantikan menjadi semakin murah, sementara di sisi lain kian banyak konsumen yang mempertanyakan asal-usul serta keetisan produk-produk tersebut.
Berbagai retail mode cepat memungkinkan konsumen membeli pakaian terbaru dan trendi dengan harga murah. Universitas Reutlingen di Jerman meneliti bahwa setiap tahun secara global ada 120.000 miliar pakaian yang diproduksi, sementara 20 persen pencemaran air global berasal dari industri tekstil. Merek-merek mode cepat umumnya mengeluarkan 20 hingga 50 koleksi terbaru setiap tahun yang dimungkinkan melalui produksi murah dan berada di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, Vietnam, dan Bangladesh.
Penelitian ini turut mengungkapkan, setidaknya untuk masyarakat Jerman, rata-rata setiap pakaian hanya dipakai 1,7 kali. Artinya, masyarakat membeli pakaian hanya untuk satu acara tertentu. Setelah itu baju tersebut dibuang. Bahkan, Greenpeace mengungkapkan bahwa 40 persen pakaian yang dibeli oleh penduduk secara global tidak pernah dipakai sama sekali. Pada akhirnya baju-baju ini menumpuk di lemari atau dibuang, sementara 70 persen material pakaian sekarang terbuat dari bahan sintetis seperti plastik.
”Negara-negara maju terperangkap pada kemakmuran sendiri. Kita mengekspresikan kesejahteraan kita dengan berbelanja hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan karena membeli kesenangan sementara,” kata dosen Fakultas Tekstil dan Desain Universitas Reutlingen, Jochen Strahle, kepada media Deutsche Welle.
Cap hijau
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Suasana pembukaan Muslim Fashion Festival 2020 yang digelar Indonesian Fashion Chamber dan Dyandra Promosindo di Jakarta, Kamis (20/2/2020). Acara yang mengusung tema Sustainable Fashion ini berlangsung pada 20-23 Februari 2020 di Jakarta Convention Center.
Fenomena serupa terjadi di industri kecantikan. Penampilan yang menarik tidak lagi menjadi kebutuhan sehari-hari. Di Inggris, perusahaan transparansi teknologi Provenance bekerja sama dengan jenama Cult Beauty menyurvei 23.000 konsumen yang membeli kosmetik dari situs resmi tersebut. Terungkap bahwa 48 persen dari responden menginginkan kejelasan asal-usul bahan-bahan yang dipakai untuk membuat produk-produk kesayangan mereka.
Hal ini mendapat berbagai tanggapan dari perusahaan yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang benar-benar membuka seluruh proses pengadaan barang dan pembuatan produk, tetapi kebanyakan perusahaan menggunakan cara yang paling mudah, yaitu memberi cap ”alami”, ”natural”, atau ”organik” pada kemasan mereka. Bahkan, metode ini efektif menggaet pembeli karena menurut analisis pasar yang dilakukan Econia Intelligence di Eropa, pangsa pasar kosmetika bercap alami atau organik pada tahun 2020 adalah 11,9 miliar dollar AS atau naik 2,9 persen dari tahun 2019.
”Untungnya pembeli semakin cerdas. Mereka semakin banyak membaca dan mencari informasi. Mulai banyak permintaan konsumen agar perusahaan membuktikan bahwa segala cap ramah lingkungan yang mereka tempelkan pada produk itu bisa dijamin kebenarannya,” kata Ketua Koalisi Kecantikan Berkelanjutan Inggris Jayn Sterland kepada majalah Glamour.
Ia menjelaskan, permintaan konsumen Eropa terhadap definisi terstandar dari istilah ”alami”, ”organik”, dan ”berkelanjutan” semakin tinggi. Mereka juga meminta adanya lembaga terpusat atau khusus sebagai pemasti bahwa segala klaim yang diutarakan oleh perusahaan kosmetik itu benar. Misalnya, logo kelinci yang sedang melompat yang dipakai untuk menandakan bahwa produk tidak diujicobakan kepada binatang hendaknya menjadi keharusan bagi kosmetik yang diekspor ke Eropa.
AFP/GEORGES GOBET
Pembeli mengunjungi toko Le Relais di Bordeaux, Perancis, Rabu (23/1/2019). Le Relais mengumpulkan 20 metrik ton tekstil dan kulit bekas per hari untuk didaur ulang. Le Relais memiliki 80 karyawan yang setiap hari menyortir pakaian-pakaian bekas tersebut.
Pengawasan memang merupakan bagian tersulit dari kampanye gaya hidup berkelanjutan. Baru perusahaan-perusahaan besar yang mampu menyewa jasa firma auditor. Misalnya, laman e-dagang Etsy yang mengklaim mereka beroperasi dengan listrik bersih dari energi surya. Setiap barang yang dibeli dari laman itu pun dikenai pajak karbon sesuai dengan jarak pengiriman dan negara tujuan.
Etsy secara berkala mengunggah hasil audit oleh perusahaan PricewaterhouseCoopers (PWC). Permasalahannya, PWC hanya bisa mengaudit Etsy sebagai perusahaan e-dagang. Mereka tidak bisa memastikan setiap orang yang berjualan di situs itu—yang jumlahnya mencapai jutaan—memang menerapkan sistem produksi berkelanjutan. Pembeli hanya bisa mengandalkan klaim yang ditulis pedagang di lapak masing-masing, seperti ”semua perhiasan yang dijual memakai logam mulia yang ditambang secara etis dan tidak menggunakan pekerja anak”.
Menggunakan sertifikasi berkelanjutan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun lembaga akreditasi nasional suatu negara pun ternyata tidak menjamin. Liputan Deutsche Welle ke Bangladesh pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa ada pabrik tekstil yang memproduksi pakaian kepada sejumlah jenama Eropa ternyata tidak menggunakan fasilitas pengolahan limbah.
”Beberapa pabrik itu sudah memiliki sarana pengolahan limbah, tetapi pemakaiannya memerlukan biaya operasional yang tinggi. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan mode di Eropa terus meminta produksi yang semurah-murahnya. Akhirnya, sarana pengolahan limbah ini tidak dipakai demi menghemat ongkos. Sarana ini menjadi semacam syarat pengisian borang kelayakan pabrik ketika diperiksa oleh otoritas di Eropa,” papar Golam Moazzem, ekonom pakar industri tekstil di Bangladesh.
Keterbukaan ini harus menjadi tekanan dari dua pihak, pemerintah dan masyarakat. Tidak bisa sekadar mengandalkan permintaan konsumen karena terlalu banyak celah yang muncul. Oleh sebab itu, persyaratan dari pemerintah masing-masing beserta pengawasan dari negara, pihak swasta, dan publik harus berjalan.
Dari sisi masyarakat, advokasi gaya hidup secukupnya juga harus terus digalakkan, misalnya mengurangi kebiasaan berbelanja kosmetik dan pakaian di luar kebutuhan pokok. Tren pertukaran pakaian bekas atau menjual pakaian bekas yang masih kondisi layak pakai, bahkan bagus, juga terus didorong.
Di negara-negara Barat, muncul berbagai laman daring yang menjual baju-baju bekas yang dikurasi secara saksama. Pakaian dari jenama internasional bisa dibeli dengan harga miring. Selain itu, juga ada pakaian dari merek-merek reguler yang kondisinya masih baik. Tren ini menunjukkan peningkatan yang positif.
Firma Boston Consulting Group menghitung pasar pakaian bekas di situs-situs resmi ini menghasilkan omzet 36 miliar dollar AS pada tahun 2021. Jumlah ini meningkat dari 28 miliar dollar AS pada tahun 2020 dan 25 miliar dollar AS pada tahun 2019.
Tidak apa-apa memakai yang bekas-bekas selama asalnya jelas dan membuat kita turut mengurangi risiko krisis iklim.