Jendela waktu untuk transformasi ke ekonomi hijau dan ekonomi digital, terbatas. Hanya dengan sukses mengendalikan Covid-19 seketat mungkin, Indonesia bisa bergegas menyiapkan diri menyongsong arus besar dunia itu.
Oleh
FX LAKSANA AS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bangsa Indonesia butuh mentransformasikan ekonominya ke dalam arus besar dunia, yakni ekonomi hijau dan ekonomi digital. Kecepatan transformasi akan menentukan sejarah kemajuan bangsa ke depan. Untuk bisa bergegas, pengendalian ketat pandemi Covid-19 menjadi prasyaratnya.
”Yang paling penting, menurut saya, pada 2022 hanya satu kuncinya, kita bisa mengendalikan yang namanya Covid. Kuncinya hanya itu. Kalau tidak bisa kita kendalikan, ya, ekonominya akan turun dan terpuruk lagi,” kata Presiden Joko Widodo pada pidato kunci di Kompas100 CEO Forum Powered by East Ventures di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/11/2021).
Mendampingi Presiden adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dan CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama. Sebanyak 24 CEO hadir di Istana. Sementara 41 CEO lainnya menyaksikan siaran langsung di Balai Sidang Jakarta dan lebih dari 300 peserta mengikuti secara daring.
Pengendalian Covid-19 amat ditekankan Presiden sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tren positif pada sejumlah indikator kesehatan belakangan akan terus dilanjutkan dengan disiplin mengendalikan pandemi.
Pengendalian Covid-19 juga menjadi prasyarat mengejar transformasi ekonomi Indonesia. Dalam kesempatan itu, Presiden menyinggung ekonomi hijau dan ekonomi digital. ”Kita akan mengarah pada yang namanya ekonomi hijau. Karena kita mempunyai kekuatan besar di sini dan strategi ini harus mulai ditata,” kata Presiden.
Tahun ini, ekonomi hijau kian santer menjadi agenda global menyusul Konferensi Tingkat Tinggi tentang Iklim digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia, awal November. Negara-negara dalam forum itu menyepakati penguatan komitmen mengurangi emisi karbon guna menahan kenaikan suhu bumi rata-rata di bawah 1,5 derajat celsius dari level sebelum era Revolusi Industri.
Secara bertahap, negara-negara harus mengurangi produksi emisi hingga target nol bersih emisi tercapai. Ini termasuk dengan mengurangi konsumsi barang dan jasa yang diproduksi dari proses yang menghasilkan emisi.
”Tahun 2030, Eropa dan Amerika Serikat mungkin sudah stop, enggak mau lagi terima barang-barang yang berasal dari energi fosil. Undang-undang, mereka mau siapkan untuk itu. Di G20, omongan juga itu-itu saja,” kata Presiden.
Indonesia, Presiden melanjutkan, memiliki potensi mengembangkan ekonomi hijau. Sebut saja, misalnya 128 sungai besar dan 4.272 sungai sedang yang tersebar di seluruh Nusantara. Sungai besar, misalnya Sungai Kayan di Kalimantan Utara yang memiliki potensi konversi listrik berdaya 11.000-13.000 megawatt (MW).
Ada juga Sungai Mamberamo di Papua dengan potensi konversi listrik berdaya 24.000 MW. Indonesia juga memiliki potensi besar di panas bumi, arus laut, dan angin. ”Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan ke depan untuk anak-cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan,” kata Presiden.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden juga menyinggung ekonomi digital. Indonesia saat ini memiliki 2.229 usaha rintisan. Pasarnya pun amat besar. Potensi ekonomi digital domestik sampai dengan 2024 ditaksir mencapai 124 miliar dollar Amerika Serikat atau lebih-kurang Rp 1.764 triliun. ”Oleh sebab itu, ini juga harus disiapkan. Saya targetkan dua tahun. Kalau sudah lepas dua tahun, kita keduluan oleh negara lain sehingga peta jalannya harus kita miliki,” kata Presiden.
Bagi dunia usaha, ekonomi hijau dan ekonomi digital menyediakan peluang bisnis besar. Salah satu inisiatif yang dikembangkan pemerintah adalah membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara dalam waktu dekat yang dikerjakan swasta. Sementara peluang bisnis untuk membangun ekonomi digital, Presiden mencontohkan, adanya kebutuhan infrastruktur digital. Misalnya adalah fiber optik, microwave link, satelit, hingga pusat data.
”Ini cepet-cepetan. Kalau ndak, negara lain akan ambil. Percaya saya. Kita hanya punya waktu dua tahun menyiapkan ini. Cepet-cepetan,” kata Presiden.
Dalam sesi dialog di tempat dan waktu terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyatakan, pemerintah berkomitmen melakukan transisi menuju ekonomi hijau. Ini membutuhkan kebijakan dan instrumen yang banyak. Sebab, jika usaha dilakukan dengan biasa-biasa saja, maka prosesnya akan makan waktu lama.
Dalam hal pembiayaan, Sri Mulyani menegaskan, komunitas internasional harus membicarakannya secara eksplisit. ”Jangan semua dibebankan kepada pembayar pajak saya (wajib pajak di Indonesia),” katanya.
Mengutip situs Kementerian Keuangan, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi yang menjadi komitmen Indonesia. Indonesia dalam dokumen mutakhir juga telah menargetkan mencapai emisi nol bersih alias (net zero emission) di 2060 atau lebih awal.
Dalam melakukan transisi ke ekonomi hijau, Sri Mulyani mengingatkan, jalannya harus dilakukan secara bertahap dan mulus. ”Kalau dunia terlalu ekstrem, justru batubara dan minyak makin tinggi. Harus ada transisi. Sangat rumit tapi harus dimulai,” kata Sri Mulyani.
Airlangga Hartarto, dalam sesi yang sama, menyatakan, saat ini merupakan waktu emas yang sangat menentukan bagi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Kalau kita bisa lalui tikungan pertama, akselerasi pertumbuhan ekonomi di Januari bisa didorong,” kata Airlangga.
Tikungan yang dimaksud Airlangga adalah libur panjang Natal dan Tahun Baru di bulan depan. Secara historis, libur panjang selalu diikuti ledakan kasus Covid-19. Setelah libur panjang Lebaran lalu, kasus Covid-19 meledak sekaligus menjadi gelombang kedua di Indonesia. Sejak akhir Mei hingga awal September 2021, 2,5 juta kasus baru tercatat dengan 94.455 kasus di antaranya berakhir dengan kematian.
Masih di sesi yang sama, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menambahkan, respons kebijakan pandemi tidak bisa oleh satu sektor saja, tetapi lintas sektor besar. Dalam hal ini, terutama adalah kesehatan dan ekonomi.
”Kombinasi gas dan rem bagus. Sopirnya, judgement-nya harus bagus. Tahu kapan harus ngegas, kapan harus ngerem. Ke depan, gas dan rem bisa lebih baik lagi,” kata Budi.
Ia juga menyoroti industri farmasi yang berperan mentransformasikan sistem kesehatan di Indonesia. Guna memfasilitasinya, pemerintah memberikan insentif untuk membangun pabrik dari hulu hingga hilir. Pemerintah juga akan mengarahkan lelang pengadaan barang dan jasa kesehatan ke produk-produk domestik. (CAS/DIM/AGE/TAN/BKY/LAS)