Dahulu, diplomasi digital lebih kerap ditujukan untuk interaksi dengan publik. Sementara dalam dua tahun terakhir, diplomasi digital dipakai untuk interaksi lintas negara.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS/KRIS MADA
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memaparkan tantangan diplomasi era pandemi Covid-19 dalam International Conference on Digital Diplomacy yang diselenggarakan secara hibrida pada Selasa (16/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Komunitas diplomasi masih perlu menjawab sejumlah tantangan untuk penggabungan metode tradisional dan digital dalam diplomasi. Tantangan itu termasuk keamanan data para pihak dalam proses diplomasi.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa banyak orang lebih bergantung pada teknologi. Pandemi juga membuat digitalisasi diplomasi semakin masif. ”Pemimpin dunia tidak lagi harus bepergian untuk menghadiri pertemuan. Mereka bisa mengirimkan video yang direkam atau menyampaikannya secara virtual. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dipilih lewat surat elektronika,” ujarnya dalam International Conference on Digital Diplomacy yang diselenggarakan secara hibrida pada Selasa (16/11/2021).
Sebagian peserta hadir di lokasi acara yang rangkaiannya berlangsung sejak akhir pekan lalu di Nusa Dua, Bali. Sebagian lagi, termasuk Retno dan sejawatnya para menlu dari sejumlah negara, hadir secara virtual.
Meski semakin masif, diplomasi digital tidak bisa menggantikan diplomasi tatap muka. Ke depan, akan ada perpaduan antara diplomasi tatap muka dan virtual. ”Akan menjadi norma baru setelah pandemi,” katanya.
Tantangan utama metode baru diplomasi ini adalah keamanan sibernatika, data pribadi, dan tata kelola internet. Masalah-masalah itu harus diselesaikan untuk memastikan kepercayaan pada metode diplomasi digital. ”Pada platform daring, harus ada kesepakatan dan transparansi tentang siapa yang hadir, jenis data pribadi yang dikumpulkan, serta apakah interaksi itu direkam. Masalah itu penting terutama bila terkait pertemuan rahasia atau pembahasan masalah khusus,” ujarnya.
TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS/KRIS MADA
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakhrisnan memaparkan manfaat teknologi dalam International Conference on Digital Diplomacy yang diselenggarakan secara hibrida pada Selasa (16/11/2021).
Menlu Singapura Vivian Balakhrisnan mengatakan, norma-norma diplomasi tradisional tetap bisa diadaptasi dalam diplomasi digital. Selama dua tahun terakhir, teknologi memang memberi banyak kemudahan. ”Kita terus berhubungan dengan para mitra dan teman untuk menjaga hubungan, meningkatkan kerja sama, bahkan membuat beberapa kemajuan pada isu sensitif,” katanya.
Bahkan, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin menyebut digitalisasi adalah hadiah terbaik bagi diplomasi sejauh ini. Metode baru diplomasi ini membuat interaksi lebih mangkus, langsung, dan apa adanya. ”Perjalanan yang tidak perlu semakin berkurang dan malahan interaksi lebih kerap dilakukan sehingga meningkatkan keakraban, relevansi, dan kekuatan asosiasi kawasan. Selama dua tahun pandemi, ada lebih banyak interaksi diplomasi dibandingkan dengan sebelumnya” tuturnya.
Teknologi
Retno mengatakan, pandemi juga menunjukkan berbagai terobosan bisa dilakukan dengan teknologi. Bahkan, di masa mendatang amat dimungkinkan berbagai tugas diplomat dilakukan melalui perantara teknologi. ”Kita mungkin menggunakan (perangkat) realitas virtual untuk mengunjungi wilayah konflik atau memeriksa kerusakan akibat perubahan iklim, membantu memahami keadaan di lapangan,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, sebenarnya diplomasi digital sudah digunakan jauh sebelum pandemi Covid-19. Bahkan, Indonesia pernah menyelenggarakan konferensi diplomasi digital pada 2019. Akan tetapi, dulu diplomasi digital lebih kerap ditujukan untuk interaksi dengan publik. Sementara dalam dua tahun terakhir, diplomasi digital dipakai untuk interaksi lintas negara.
Sementara Balakhrisnan mengatakan, penggunaan teknologi di masa pandemi bukan hanya pertemuan virtual. Teknologi menyediakan solusi untuk berbagai hal. ”Kita menyaksikan koordinasi untuk pengiriman vaksin, bantuan kemanusiaan, dan kebaikan lainnya,” katamya.
Adapun Direktur Program Asia Tenggara pada Lowy Institute Benjamin Bland mengatakan, penggunaan metode digital memungkinkan pemerintah dan diplomat bisa menghadirkan lebih banyak data secara langsung. Sebelum ini, sebagian data itu tersaring dalam proses sunting media massa atau platform. Kini, mayoritas data itu bisa disampaikan secara langsung lewat berbagai platform digital.
KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI
Poster salah satu sesi International Conference on Digital Diplomacy yang diselenggarakan secara hibrida pada Selasa (16/11/2021). Konferensi itu membahas sejumlah tantangan dan peluang diplomasi di era digital.
Tantangannya justru diplomat harus memastikan data yang mereka sampaikan benar. Sebab, digitalisasi juga membuat masyarakat bisa menjadi informasi pembanding. Jika masyarakat merasa informasi yang diberikan diplomat atau lembaga pemerintah tidak sesuai, bisa terjadi krisis.
Sementara Direktur DiploFoundation Jovan Kurbalija mengatakan, data semakin penting dalam era diplomasi digital. Karena itu, para diplomat perlu menjadi ilmuwan data. Diplomat perlu tahu cara paling mangkus mencari dan memeriksa data. Di ranah digital, penggalian dan pemeriksaan data bisa menggunakan berbagai perangkat teknologi.
Seperti Bland, Kurbalija sepakat fungsi data dalam pengelolaan krisis. Data bisa menjadi pemicu sekaligus solusi krisis.