Rakyat bagaikan jatuh tertimpa tangga pula karena harga makanan dan kebutuhan primer lainnya melonjak. Belum lagi nilai mata uang Myanmar, kyat, pun melemah.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Janji junta militer Myanmar akan kehidupan yang lebih baik setelah kudeta militer pada 1 Februari tak kunjung terwujud. Perekonomian malah anjlok bahkan mundur gara-gara gejolak politik dan kekerasan tanpa henti yang mengganggu sistem perbankan, sektor perdagangan, dan kehidupan 62 juta jiwa rakyat Myanmar.
Jutaan warga Myanmar kian terjerumus ke jurang kemiskinan. Padahal Myanmar sudah mengalami resesi ekonomi ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan sektor pariwisata pada awal tahun 2020. Bank Pembangunan Asia memperkirakan perekonomian Myanmar menyusut sampai 18,4 persen pada 2021.
Rakyat bagaikan jatuh tertimpa tangga pula karena harga makanan dan kebutuhan primer lainnya melonjak. Belum lagi nilai mata uang Myanmar, kyat, pun melemah. Jika kondisi politik masih tak menentu, situasi ekonomi akan tetap buram. Untuk membantu rakyat Myanmar, Kepala Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa Martin Griffiths meminta pimpinan junta militer Myanmar memberikan akses seluas-luasnya kepada sekitar 3 juta orang yang sangat membutuhkan bantuan untuk bisa bertahan hidup. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dan semakin banyak yang jatuh miskin, sementara inflasi meroket.
”Harga makanan dan obat-obatan impor naik dua kali lipat sehingga orang hanya bisa beli secara terbatas. Dan, harganya juga bisa berubah setiap hari,” kata Ma San San, pedagang barang-barang impor dari Thailand di kota Mawlamyine.
Sebelum kudeta militer, pemerintahan sipil sebenarnya mulai bisa membangkitkan perekonomian Myanmar yang sempat ambruk selama 10 tahun masa kekuasaan junta militer ”periode pertama” karena mengisolasi diri. Ekspor membaik dan investor asing membuka pabrik-pabrik garmen dan barang-barang lain atas pertimbangan upah buruh murah. Yangon, bekas ibu kota dan kota terbesar, diubah menjadi kota modern lengkap dengan ruas-ruas jalan baru, zona industri, pertokoan, dan apartemen modern. Usaha-usaha swasta bermunculan hingga menciptakan beragam lapangan pekerjaan.
Di tengah kesuksesan perekonomian, militer masih memegang sejumlah kementerian dan industri strategis. Akibatnya, korupsi dan kronisme merajalela. Krisis politik berkepanjangan juga membawa kembali kejayaan perdagangan pasar gelap dan penimbunan mata uang dollar AS. ”Banyak orang sudah tidak percaya pada uang Myanmar dan membeli dollar AS. Makanya, harga jadi naik,” kata Kepala Asosiasi Pembuat dan Distributor Kendaraan Myanmar dan anggota Asosiasi Beras Myanmar Soe Tun.
Perekonomian Myanmar juga tak bisa lepas dari kondisi di sekitarnya. Minimnya barang-barang kebutuhan sehari-hari di dunia, naiknya biaya transportasi dan kontainer, serta ditutupnya perbatasan China dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19 membuat Myanmar sulit bergerak. Pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing, mengatakan, total perdagangan Myanmar jatuh 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode Oktober 2020 hingga Juli 2021. Ada defisit perdagangan hingga 368 juta dollar AS. Semakin sedikit ekspor Myanmar, semakin sedikit pula mata uang asing, mayoritas dollar AS, bisa dikumpulkan. Karena itu, mata uang dollar AS menjadi semakin berharga dan mata uang kyat kian lemah.
Pada Januari saja, nilai tukar 1 dollar AS berkisar 1.300-1.400 kyat. Pada akhir September nilainya mencapai rekor tertinggi, 3.000 kyat. Akibatnya, harga barang seperti minyak goreng, kosmetik, makanan, elektronik, dan bahan bakar naik karena semua diimpor memakai mata uang dollar AS.
Demi menghemat mata uang asing, junta militer menghentikan impor kendaraan sejak 1 Oktober lalu. Untuk mendongkrak kyat, Bank Sentral Myanmar memberikan bantuan sampai 36 kali sejak Februari. Namun, semua itu tidak ada gunanya karena mayoritas mata uang dollar AS dijual bank sentral ke bisnis-bisnis promiliter.
”Ada yang mengatakan dollar AS yang dikeluarkan bank sentral tidak memenuhi kebutuhan domestik dan kami percaya saja. Kami berupaya mencari solusi terbaik,” kata juru bicara junta, Zaw Min Tun.
Transaksi jual beli mata uang dollar AS banyak terjadi di pasar gelap. Orang menukarkan kyat ke dollar AS secara daring meski berisiko tinggi. ”Transaksi daring lebih mudah. Mudah menemukan orang yang jual atau beli. Tetapi harus ada saling percaya antara penjual dan pembeli,” kata Ko Thurein, yang sering berjualan mata uang dollar AS di Kelompok Penukaran Uang Myanmar.
Hlaing dan Tun meminta rakyat menghemat listrik karena harga bahan bakar minyak juga melonjak. Pemerintah sedang menggenjot proyek pembangkit listrik tenaga air dan angin agar tak bergantung pada BBM yang diimpor. Max Energy, korporasi besar yang mengoperasikan puluhan stasiun pengisian bahan bakar, menuding krisis politik yang memicu kekacauan di Myanmar.
”Di sini saja, orang sudah tidak saling percaya. Apalagi orang asing, mereka juga tidak percaya pada kita,” kata salah seorang pejabat di Max Energy yang tak mau disebutkan namanya.
Sistem perbankan rutin terganggu gara-gara aksi protes dan mogok. Orang yang ingin mengakses uang tunai terpaksa memilih menggunakan aplikasi mobile banking dan membayar biaya 5-7 persen di toko yang disebut Pay Money yang menyediakan layanan keuangan. ”Akibat inflasi, uang kita otomatis berkurang nilainya. Begitu uang di bank tidak bisa ditarik, kita harus membayar komisi di toko-toko Pay Money. Yang terjadi kemudian, kita kehilangan segalanya. Ini masa-masa yang tersulit bagi kita semua,” kata Su Yee Win Aung yang bekerja di perusahaan telekomunikasi di Yangon. (AP)