Kisruh Timur Tengah
Kawasan Timur Tengah tak pernah istirahat dari konflik, perseteruan, dan krisis politik. Belakangan, eskalasi kisruhnya meningkat. Jika tidak ditangani secara tepat dan serius, bisa menyeret ke dalam perang saudara.
Gejolak di kawasan Timur Tengah kini sedang mengalami eskalasi. Banyak negara di kawasan itu tengah menghadapi krisis politik yang, jika tidak ditangani secara tepat dan serius, bisa menyeret ke dalam perang saudara.
Ada Sudan, Irak, dan Tunisia yang terjerat krisis politik baru. Ada pula krisis hubungan bilateral antara Aljazair dan Maroko, serta antara Lebanon dan Arab Saudi.
Krisis politik baru di Sudan akibat kudeta militer pada 25 Oktober lalu, sampai saat ini, masih belum ditemukan solusi komprominya yang bisa diterima oleh semua pihak. Krisis politik di Sudan muncul lagi akibat pecah kongsi antara unsur militer dan unsur sipil yang membentuk bersama pemerintah transisi pada Agustus 2019. Pihak militer akhirnya membubarkan pemerintah transisi tersebut yang dibentuk pada Agustus 2019 itu.
Baca: Masa Depan Sudan Pascakudeta Militer
Banyak pihak turun tangan mengupayakan mediasi antara pihak yang bertikai di Sudan. Namun, upaya tersebut sampai saat ini masih gagal. Pihak-pihak yang telah mengupayakan mediasi itu adalah AS, Uni Afrika, dan Sudan Selatan.
Bahkan, Israel berkat hubungan baiknya dengan pihak militer di Sudan dilansir turut melakukan upaya mediasi itu. Seperti dilansir situs Israel, Walla, delegasi Israel yang berintikan pejabat Mossad dan militer Israel hari Senin, 1 November 2021, mengunjungi Khartoum untuk mengetahui secara langsung perkembangan di Sudan.
Baca juga: Intelijen Israel dan Krisis Politik di Sudan
Unjuk rasa menolak kudeta militer di Sudan terus marak di jalanan kota Khartoum. Kehidupan di ibu kota Sudan itu praktis lumpuh. Perundingan dengan mediator regional maupun internasional terus dilakukan di Khartoum dalam upaya mencapai solusi kompromi.
Krisis politik serius juga malanda Irak saat ini. Pengumuman hasil pemilu parlemen 10 Oktober lalu tidak memuaskan kekuatan politik tertentu karena perolehan suara kekuatan politik tersebut anjlok alias mengalami kekalahan. Kebetulan kekuatan politik itu yang bernama ”Koalisi Al Fath” dikenal pro-Iran dan memiliki sayap milisi militer bernama Haashid al-Shaabi.
Dampak dari krisis politik di Irak adalah upaya percobaan pembunuhan yang gagal atas PM Irak Mustafa al-Kadhimi, Minggu (7/11/2021), dengan serangan pesawat nirawak.
Koalisi Al-Fath pada pemilu parlemen 10 Oktober lalu hanya meraih 16 kursi. Padahal, pada pemilu parlemen 2018 koalisi itu mendapat 48 kursi. Massa pro-koalisi Al Fath pun menggelar unjuk rasa di jalanan kota Baghdad menolak hasil pemilu parlemen tersebut yang mengantarkan terjadi bentrok dengan aparat keamanan.
Baca juga: Menegakkan Benang Basah di Irak
Dampak dari krisis politik di Irak adalah upaya percobaan pembunuhan yang gagal atas PM Irak Mustafa al-Kadhimi, pada hari Minggu (7/11/2021), dengan serangan pesawat nirawak penuh bahan peledak atas rumah PM Irak tersebut.
Tudingan pun tertuju pada kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran di balik upaya percobaan pembunuhan yang gagal atas PM Irak tersebut.
Baca juga: Milisi Pro-Iran Disebut Pelaku Serangan Pesawat Nirawak di Kediaman PM Irak
Tunisia, satu-satunya negara Arab yang berhasil membangun kehidupan demokrasi melalui musim semi Arab tahun 2011, ternyata tidak luput dari empasan krisis politik. Krisis politik di Tunisia pun belum ada titik terang solusinya. Ini sangat mengecewakan kaum pro-demokrasi di dunia Arab.
Krisis politik di Tunisia akibat konflik elite politik antara Presiden Tunisia Kais Saied dan Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi selama hampir dua tahun terakhir ini.
Akibat konflik elite politik tersebut, Tunisia praktis lumpuh. Pemerintahan tidak berjalan efektif. Padahal, negeri yang diimpikan sebagai kampiun demokrasi di dunia Arab itu juga tengah menghadapi krisis ekonomi dan lonjakan jumlah kasus positif Covid-19.
Akhirnya, tidak ada pilihan bagi Presiden Saied, kecuali menerapkan konstitusi tahun 2014 pasal 80 yang memberi wewenang kepada presiden melakukan langkah darurat untuk mengakhiri krisis yang membahayakan negara.
Langkah tersebut yang diambil Saied pada 25 Juli 2021, yakni menerapkan pasal 80 dari konstitusi tahun 2014. Saied pun mengumumkan pembekuan parlemen dan memecat PM Tunisia saat itu, Hichem Mechichi, dan sejumlah menteri lainnya.
Baca juga: Kartu Truf Presiden Saied dan Peta Jalan Solusi Politik di Tunisia
Pada 11 Oktober lalu, Presiden Saied mengumumkan pembentukan pemerintah baru yang berintikan dari kalangan teknokrat non-partisan pimpinan PM Najla Bouden. Saied sampai saat ini masih menolak mencabut pemberlakuan pasal 80 dari konstitusi 2014 meskipun mendapat tekanan internasional agar segera mencabut penerapan pasal 80 tersebut dan kehidupan demokrasi segera pulih lagi.
AS, Perancis, dan Uni Eropa adalah pihak yang selalu menyerukan kepada Presiden Saied agar mencabut pemberlakuan pasal 80 dalam konstitusi 2014 itu. Namun, Saied masih tetap menolak seruan tersebut. Bahkan, ia sering mengisyaratkan ingin melakukan amendemen atas sistem politik di Tunisia yang mengadopsi sistem campuran antara presidensial dan parlementer.
Sistem campuran tersebut dianggap tidak efektif dan mengacaukan sistem kerja pemerintahan. Saied menginginkan menerapkan sistem presidensial yang memberi wewenang luas kepada presiden di Tunisia. Tetapi, partai-partai politik di Tunisia menolak aspirasi Saied yang ingin mengamendemen sistem politik campuran itu. Ini yang membuat krisis politik di Tunisia masih buntu sampai saat ini.
Ketegangan Saudi-Lebanon
Di belahan dunia Arab lain, mengemuka krisis hubungan Lebanon-Arab Saudi. Krisis hubungan tersebut dipicu oleh pernyataan Menteri Penerangan Lebanon George Kordahi dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Lebanon yang mengecam serangan militer Arab Saudi ke Yaman dan menyebut kelompok Houthi di Yaman membela diri dari agresi militer Arab Saudi. Wawancara tersebut direkam pada bulan Agustus lalu dan disiarkan pada 25 Oktober 2021.
Saudi langsung menarik dubesnya dari Lebanon dan meminta dubes Lebanon untuk Arab Saudi meninggalkan Riyadh dalam kurun waktu waltu 24 jam. Reaksi cukup keras Arab Saudi tersebut langsung diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, dan Bahrain yang juga menarik dubesnya dari Lebanon dan meminta dubes Lebanon di UEA, Kuwait, dan Bahrain segera meninggalkan negara-negara Arab kaya Teluk itu.
Baca juga: Arab Saudi Usir Dubes Lebanon
Liga Arab dan PM Lebanon Najib Mikati meminta Kordahi mengundurkan diri dari jabatan menteri penerangan sebagai jalan keluar dari krisis hubungan Lebanon-Arab Saudi. Namun, Kordahi menolak mengundurkan diri.
Ini yang membuat masa depan hubungan Lebanon-Arab Saudi menjadi gelap. Padahal, Lebanon yang dililit krisis ekonomi akut sangat butuh bantuan ekonomi dari Arab Saudi dan negara Arab kaya Teluk lainnya.
Di ujung barat Afrika Utara menguak pula krisis hubungan Maroko-Aljazair. Pada 24 Agustus lalu, Aljazair mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Maroko dengan dalih perilaku tidak bersahabat Maroko atas Aljazair.
Baca juga: Aljazair Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Maroko
Pada akhir September lalu, Aljazair mengumumkan menutup wilayah udaranya bagi pesawat komersial Maroko. Pada 31 Oktober lalu, Aljazair mengumumkan mengakhiri transaksi penyaluran gas Aljazair melalui wilayah Maroko menuju Spanyol.
Krisis hubungan diplomastik Aljazair-Maroko juga dipengaruhi keputusan Maroko menjalin hubungan resmi dengan Israel pada Desember 2020. Aljazair melihat kehadiran Israel di Maroko mengancam keamanannya.
Konflik utama Maroko-Aljazair terkait isu Gurun Sahara Barat. Hal itu bermula dari sengketa antara Maroko dan Gerakan Pembebasan Gurun Sahara Barat (Polisario) terkait kedaulatan atas wilayah Gurun Sahara Barat, menyusul kolonial Spanyol mengakhiri pendudukannya atas wilayah tersebut pada tahun 1975.
Maroko mengklaim memiliki kedaulatan atas Gurun Sahara Barat dan mengusulkan diterapkan otonomi luas dengan kedaulatan di tangan Maroko atas wilayah itu. Adapun Polisario menuntut digelar referendum atas penduduk Gurun Sahara Barat untuk menentukan nasib mereka sendiri. Tuntutan Polisario tersebut didukung Aljazair, tetapi ditolak keras Maroko.
Isu Gurun Sahara Barat itu kemudian memperburuk hubungan Maroko-Aljazair. Selain itu, ada juga perbedaan pendapat soal isu hubungan Israel-Maroko. Maroko mengumumkan pembukaan hubungan resmi dengan Israel pada Desember 2020. Aljazair melihat kehadiran Israel di Maroko mengancam keamanannya.
Tentu perang di Suriah dan Yaman yang belum berakhir sampai saat ini serta isu nuklir Iran, yang membuat hubungan tegang antara Iran di satu pihak dan AS-Israel di pihak lain, memperparah situasi kisruh Timur Tengah tersebut.