Menjaga Secercah Harapan bagi Anak-anak Afghanistan
Segala jenis layanan dasar terhenti ketika Taliban memperoleh kekuasaan, termasuk layanan untuk anak-anak. Unicef terus berjuang untuk memastikan anak-anak tidak menjadi korban situasi politik atau risiko bencana alam.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Situasi di Afghanistan masih tidak menentu. Perlahan-lahan, sistem pemerintahan Taliban yang mengambil alih kekuasaan dari Presiden Ashraf Ghani pada 15 Agustus 2021 mulai terpatri di semua wilayah. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin kestabilan perkembangan keadaan. Di tengah segala kendala, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) terus berjuang untuk memastikan agar anak-anak tidak menjadi korban dari situasi politik ataupun risiko bencana alam yang terus mengintai.
”Dunia melihat krisis terhadap anak-anak Afghanistan mayoritas dari kejadian di Bandara Internasional Kabul ketika puluhan ribu warga berusaha mengungsi. Padahal, itu hanya secuil potret kepayahan yang dialami oleh anak-anak di sini,” kata Salam al-Janabi, Spesialis Komunikasi Unicef Afghanistan, dalam wawancara eksklusif dengan Kompas, Kamis (28/10/2021), secara daring.
Ia memaparkan, setengah dari penduduk Afghanistan adalah anak-anak. Jauh sejak sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, 10 juta anak Afghanistan sudah membutuhkan perhatian dan bantuan intensif. Mereka menghadapi berbagai krisis akibat pandemi Covid-19, kemarau panjang, konflik internal di komunitas lokal, dan risiko kehilangan tempat tinggal. Bahkan, hingga Juli 2021, sekolah-sekolah telah ditutup selama 1,5 tahun.
Menurut Janabi, jumlah dan intensitas konflik internal di tataran provinsi, kota, hingga desa di Afghanistan telah meningkat sejak awal 2021. Ini periode paling menyakitkan bagi anak-anak karena jumlah korban konflik berusia di bawah 18 tahun tertinggi sepanjang sejarah Afghanistan. Data Unicef menunjukkan, sekitar 500 anak tewas dan 1.400 anak terluka akibat konflik.
Secara keseluruhan, pada pertengahan 2021, sebanyak 500.000 anak Afghanistan kehilangan tempat tinggal. Praktis, mereka juga kehilangan akses ke air bersih, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Imunisasi untuk anak-anak, termasuk untuk polio, menurun, sebaliknya kasus kekurangan gizi kian naik.
”Selain itu, selama tiga tahun belakangan, Afghanistan dilanda kemarau. Sejak Juli, 80 persen wilayah negara ini kekeringan. Akibat kelangkaan air, penduduk mengungsi ke wilayah lain. Ini juga mengakibatkan munculnya kasus-kasus diare akut akibat minimnya sanitasi,” tuturnya.
Menanti kepastian
Ketika Taliban mengambil alih pemerintahan, warga Kabul berusaha melarikan diri ke luar negeri. Akan tetapi, mayoritas anak Afghanistan yang tinggal di perdesaan tidak memiliki nasib seberuntung itu. Mereka tidak punya pilihan selain tinggal di pelosok dan menghadapi risiko musim dingin di tengah krisis pangan.
Segala jenis layanan dasar terhenti ketika Taliban memperoleh kekuasaan, termasuk layanan untuk anak-anak. Terhitung satu dari dua warga Afghanistan akan menghadapi kelaparan jika tidak segera ditolong. Permasalahannya, semua bantuan dari luar negeri dibekukan. Sistem perbankan berjalan dengan sangat minimal. Satu orang hanya boleh mengambil maksimal 200 dollar AS (sekitar Rp 2,8 juta) setiap pekan. Gaji pegawai negeri sipil dibekukan sehingga banyak keluarga kelas menengah dalam waktu singkat jatuh miskin.
Adapun rumah-rumah sakit tidak memiliki persediaan obat dan alat kesehatan. Klinik-klinik di pelosok yang menjadi fasilitas kesehatan pratama berhenti beroperasi. Data Unicef mengungkapkan, dari 3.000 fasilitas kesehatan pratama di perdesaan, 2.000 unit terhenti dalam sepekan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan.
Sebulan kemudian, Taliban mengumumkan bahwa sekolah-sekolah dibuka kembali. Akan tetapi, khusus untuk anak perempuan, hanya siswa SD yang boleh bersekolah. Jenjang SMP ke atas belum diizinkan masuk kembali selama sekolah belum bisa menjamin bahwa siswa perempuan dan laki-laki dididik di ruangan terpisah. Masa depan pendidikan ini belum jelas karena belum ada data yang menyebutkan jumlah serta persebaran perempuan guru dan dosen yang bisa mengajar.
Permasalahan ini kemudian bermuara pada meningkatnya jumlah anak yang menjadi buruh atau mengemis di pinggir jalan. Bahkan, orangtua yang putus asa menghadapi kemiskinan terpaksa menjual anak perempuan mereka untuk dinikahkan. Ini disebut mekanisme beradaptasi secara negatif. Sebagai gambaran, pada 2001, hanya ada 1 juta anak Afghanistan yang mengenyam pendidikan. Pada 2020, ada 10 juta anak bersekolah dan 4 juta di antaranya adalah perempuan yang kini terancam masa depannya.
”Ditambah dengan fakta bahwa Covid-19 belum tertangani, ada kejadian luar biasa campak di beberapa daerah dan kekurangan gizi akut. Jika seluruh dunia tidak segera bertindak, segala upaya yang telah dilakukan di Afghanistan selama 20 tahun terakhir akan sia-sia,” kata Janabi.
Bangun komunikasi
Janabi menjelaskan, Unicef terus membangun komunikasi dengan Taliban. Salah satu hal positif yang lahir dari administrasi Taliban kali ini ialah Unicef mendapat akses ke desa-desa di bawah Taliban yang dulu tertutup. Berkat akses ini, program imunisasi polio kini bisa menjangkau 3 juta anak yang sebelumnya tidak tersentuh. Dulu, selain tidak ada akses, juga ada persoalan penyerangan, bahkan pembunuhan terhadap petugas vaksin keliling.
”Setelah membangun komunikasi, Taliban setuju untuk memulai kembali program imunisasi dari rumah ke rumah. Saat ini, kami mencatat di Afghanistan hanya ada satu kasus polio. Ini perkembangan menggembirakan,” ujar Janabi.
Meskipun demikian, imunisasi jemput bola ini masih kekurangan tenaga vaksinator. Sebab, petugas perempuan belum diperbolehkan bekerja oleh Taliban. Unicef terus mengupayakan dialog agar para vaksinator perempuan dan tenaga kesehatan yang bermitra dengan mereka diizinkan untuk melayani anak-anak dan perempuan, minimal di wilayah sekitar masing-masing. Unicef Afghanistan memiliki 400 anggota staf dan 3.500 mitra yang sangat penting untuk melayani publik di lapangan.
Selain imunisasi, Taliban juga menyetujui bantuan makanan, air bersih, obat-obatan, dan peralatan kebersihan yang disalurkan kembali oleh PBB ke masyarakat. Bantuan pangan dari Program Pangan Dunia (WFP) sudah bisa diakses 5 juta warga Afghanistan. Ini sangat penting untuk memastikan warga tidak kelaparan dan kedinginan selama musim dingin.
Terdapat pula program pendidikan berbasis masyarakat. Ini khusus menyasar anak-anak yang belum bisa mengakses sekolah formal karena faktor perempuan atau letak rumah terlalu jauh. Pendidikan ini seperti program Kejar Paket berbasis kurikulum nasional yang berlangsung setiap hari selama tiga jam dengan 30 siswa per kelas. Terhitung ada 500.000 siswa dalam program ini dan separuhnya perempuan.
Unicef Afghanistan sedang mengembangkan program bantuan sosial tunai kepada masyarakat. Ini mencontoh program yang dijalankan Unicef Yaman. Di sana, guru-guru digaji langsung oleh Unicef guna memastikan anak-anak Yaman tidak kehilangan hak atas pendidikan.
”Kami menyusun program bansos tunai ini agar setiap keluarga bisa memperoleh 80 dollar AS setiap bulan. Baru 700 keluarga yang telah menerimanya karena persoalan terbesar ialah sistem perbankan belum berjalan dan tidak ada uang tunai di Afghanistan,” kata Janabi.
Secara umum, ia menjelaskan bahwa Taliban tidak menentang program-program kesehatan, termasuk vaksinasi Covid-19. Afghanistan telah menerima sumbangan 5,2 juta dosis vaksin. Di 19 provinsi, sudah 400.000 penduduk berusia di atas 50 tahun yang menerima dosis pertama. Unicef melalui klinik berjalan juga memasukkan vaksinasi Covid-19 ke dalam jadwal imunisasi.
”Kami terus melakukan pendekatan, baik kepada Taliban maupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama di tingkat komunitas. Setidaknya untuk meyakinkan mereka bahwa bantuan kemanusiaan tidak boleh berhenti. Terlepas dari situasi politiknya, ini semua demi keselamatan warga,” ucapnya.