Sejumlah negara mulai berburu obat Covid-19 buatan Merck dan Pfizer-BioNTEch. Namun, sejumlah ahli kesehatan mengingatkan bahwa obat Covid-19 itu tidak dapat menggantikan vaksinasi untuk mengendalikan pandemi Covid-19.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Kehadiran obat Covid-19 produksi Merck & Co dan Pfizer-BioNTech, yang diklaim memiliki kemampuan signifikan mengurangi efek buruk infeksi, telah membuat sejumlah negara berbondong-bondong memesan obat tersebut. Namun, ahli kesehatan Amerika Serikat memperingatkan, kehadiran obat itu tidak bisa menggantikan peran vaksin dalam memberikan perlindungan di tengah pandemi Covid-19.
Para ahli mengeluarkan peringatan itu setelah laju vaksinasi terus melambat. Menggantikan peran vaksin dengan obat Covid-19 dinilai mengandung risiko sangat tinggi terhadap pemulihan dunia dari pandemi.
Perlambatan laju vaksinasi di AS terbaca melalui hasil studi dua lembaga, Yayasan Keluarga Kaiser dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Kota New York (CUNY). Data studi Yayasan Keluarga Kaiser menyatakan, baru 72 persen individu dewasa di AS mendapatkan satu dosis vaksin Covid-19. Kebijakan Presiden AS Joe Biden yang mewajibkan para pekerja, baik federal maupun swasta, untuk divaksin, membantu laju percepatan vaksinasi. Akan tetapi, di sisi lain, kebijakan itu menimbulkan kontroversi.
Sementara hasil studi CUNY terhadap 3.000 warga AS memperlihatkan bahwa satu dari setiap delapan responden menyatakan mereka lebih suka mengonsumsi obat Covid-19 dibandingkan dengan vaksinasi. ”Itu angka yang tinggi. Kemunculan obat Covid-19 bisa menghambat upaya membuat orang divaksinasi,” kata Scott Razan, yang memimpin studi CUNY.
Kekhawatiran itu menyusul pernyataan Pfizer yang menyatakan bahwa pil antivirus Paxlovid, obat Covid-19, mengurangi risiko rawat inap dan kematian hingga 89 persen pada orang dewasa dan berisiko tinggi. Pernyataan Pfizer disampaikan saat kabar bahwa obat produksi Merck dan mitranya, Ridgeback Biotherapeutics, telah mendapat persetujuan dari otoritas kesehatan Inggris untuk digunakan sebagai obat darurat Covid-19.
Kini, kedua perusahaan farmasi itu membutuhkan lampu hijau dari otoritas kesehatan di AS untuk bisa digunakan di Negeri Paman Sam. Namun, mereka menyatakan siap melepas obat itu ke pasaran pada Desember nanti.
Peter Hotez, ahli vaksin dan profesor virologi molekuler dan mikrobiologi pada Baylor College of Medicine, mengatakan bahwa mengandalkan obat Covid-19 untuk menangani pandemi adalah sebuah perjudian. ”Jelas hal ini akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun, ini berisiko tinggi untuk dilaksanakan,” katanya.
Enam ahli penyakit menular mengamini pernyataan Hotez. Mereka antusias dengan obat Covid-19, tetapi mereka juga sepakat obat itu bukan pengganti vaksin. Mereka menilai vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech memiliki efektivitas tinggi untuk mengurangi potensi individu dirawat di rumah sakit hingga 86,8 persen.
Sebuah studi yang dilakukan Pemerintah AS menyebutkan, orang-orang yang tidak divaksinasi mengandalkan antibodi monoklonal, obat-obatan yang diberikan melalui infus atau suntikan IV, sebagai benteng di dalam tubuh jika mereka terinfeksi. ”Berita Pfizer adalah berita yang luar biasa. Obat ini berjalan beriringan dengan vaksinasi, tidak bisa menggantikannya,” kata Dr Leana Wen, profesor kesehatan masyarakat pada Universitas George Washington.
Tantangan
Para ahli mengatakan, salah satu alasan utama untuk tidak menggantungkan kesembuhan dan berakhirnya pandemi Covid-19 pada obat Covid-19 adalah karena obat ini harus diberikan dalam waktu yang sangat sempit pada awal infeksi. Perlu diketahui, penyakit Covid-19 memiliki beberapa fase yang berbeda.
Dr Celine Gounder, pakar penyakit menular, menjelaskan bahwa pada fase pertama, virus dengan cepat bereplikasi di dalam tubuh. Efek buruk penyakit ini, kata Gounder, terjadi pada fase kedua yang timbul dari respons antibodi tubuh yang buruk atau bahkan rusak akibat replikasi virus di dalam tubuh.
”Ketika Anda mengalami sesak napas atau gejala lain yang membuat Anda dirawat di rumah sakit, Anda berada dalam fase kekebalan disfungsional. Antivirus benar-benar tidak akan memberikan banyak manfaat pada saat ini,” katanya.
Hotez sepakat dengan penjelasan Gounder. Dia mengatakan, mendapatkan perawatan secepat mungkin bisa menjadi tantangan karena waktu transisi dari fase pertama ke fase kedua adalah berbentuk cairan. ”Sering kali pasien merasa kondisi mereka baik-baik saja pada fase awal dan tidak sadar bahwa kadar oksigen mereka terus menurun, salah satu tanda bahwa inflamasi penyakit telah dimulai. Anda tidak sadar bahwa Anda sakit, sampai saatnya sudah terlambat,” kata Hotez.
Berburu obat
Sejumlah negara, termasuk di Uni Eropa, diketahui mulai berburu dua obat Covid-19. Pejabat Uni Eropa yang tidak mau disebut namanya mengatakan, kontak antara Uni Eropa dan dua perusahaan itu tengah berlangsung.
Sumber tersebut menyebutkan, blok perekonomian dengan 27 negara anggota itu ingin bergerak secepat mungkin untuk membeli obat tersebut. Akan tetapi, mereka menginginkan jaminan lebih lanjut tentang keamanan pasokan bagi negaranya masing-masing.
Meski baru diumumkan, Inggris telah membeli 480.000 obat Covid-19 buatan Merck dan 250.000 buatan Pfizer. Sementara Biden mengklaim bahwa mereka telah mengamankan jutaan pasokan dari Pfizer dan 1,7 juta dari Merck.
Negara lain, termasuk Indonesia, tengah mempertimbangkan membeli obat ini untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan, diperkirakan, Pemerintah Indonesia akan membeli 1 juta dosis obat itu pada bulan mendatang, sementara Thailand diperkirakan akan membeli sekitar 200.000 dari Pfizer.
Pfizer menargetkan bisa memproduksi 180.000 dosis obat ini pada akhir 2021. Sementara Merck menyatakan mampu memproduksi hingga 10 juta dan akan meningkatkan kapasitas produksinya pada 2022.
Juru bicara Komisi Eropa, yang mengoordinasikan pembicaraan dengan kedua produsen obat itu, menolak mengomentari negosiasi yang tengah berjalan. Kedua perusahaan itu juga menolak berkomentar. (REUTERS)