Salju Lebat Turun di China di Tengah Krisis Energi
Badai salju terjadi di Beijing dan di sejumlah provinsi, seperti Mongolia Dalam, Hebei, Shanxi, dan Chongqing. Musim dingin kali ini bisa jadi kian berbahaya karena sejak Mei lalu China tengah dirundung krisis energi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
AP PHOTO/NG HAN GUAN
Seorang pekerja jasa layanan antar melintas melewati sebuah mobil yang tertutup salju. Mobil itu diparkir di sebuah jalan di Beijing pada Minggu (7/11/2021).
BEIJING, MINGGU — Badai salju melanda wilayah utara China lebih cepat daripada perkiraan. Pemerintah mengumumkan situasi Siaga Oranye, atau darurat tingkat dua. Krisis energi juga masih berlangsung sehingga pemerintah dan warga diwanti-wanti untuk menjaga diri.
Badai salju terjadi di Beijing dan di sejumlah provinsi, seperti Mongolia Dalam, Hebei, Shanxi, dan Chongqing. Per Minggu (7/11/2021) siang, tumpukan salju mencapai 30 sentimeter. Pemerintah mengumumkan, tumpukan yang berada di area yang tengah menjalani karantina mikro tidak akan dibersihkan. Ada 20 kota yang di dalamnya menjalani karantina mikro guna mencegah penularan Covid-19.
Di Beijing, 160 jalur bus dihentikan dan mayoritas jalan ditutup. Di Shanghai, jalur kereta cepat menuju Tianjin juga dihentikan. Sejumlah bandara juga mengurangi jadwal penerbangan, bahkan ada yang jadwalnya tersisa 30 persen dari sebelumnya.
Menurut Wakil Kepala Badan Meteorologi China Jia Xialong dalam wawancara dengan harian nasional Economic Daily, badai salju terjadi akibat fenomena cuaca La Nina. ”Di wilayah Pasifik terjadi penumpukan udara dengan suhu berbrda-beda. Hawa panas kemudian bertiup ke arah barat yang mengakibatkan salju turun lebih awal,” ujarnya.
AP PHOTO/ANDY WONG
Seorang perempuan dengan menggunakan jaket musim dingin saat berjalan melintas di sebuah jalan di Beijing, Minggu (7/11/2021).
Jia mengingatkan agar pemerintah memastikan tidak ada warga yang kedinginan. Cuaca dingin bisa mengakibatkan kejadian ekstrem, seperti penyakit mendadak ataupun kematian akibat membeku. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, terkena penyakit pilek dan batuk bisa berisiko tertular Covid-19 juga. Listrik untuk penghangat ruangan dan air panas harus terus tersedia.
Krisis energi
China tengah mengalami krisis energi sejak bulan Mei lalu. Dulu, mayoritas batubara yang dipakai China untuk menghasilkan energi diimpor dari Australia. Pada tahun 2020, China menghentikan pembelian batubara dari ”Benua Kanguru” ini gara-gara Pemerintah Australia meminta China membuka fakta mengenai asal-usul Covid-19. Akibatnya, Pemerintah China marah.
Kekurangan batubara ini membuat China kepayahan memproduksi listrik yang menopang industri mereka. Apalagi, setelah selama satu tahun lebih memberlakukan karantina ketat, China menargetkan industri bisa beroperasi secara normal seperti sebelum pandemi. Kenyataannya, hampir di akhir tahun 2021 industri belum bisa bangkit sepenuhnya.
Hal ini mengakibatkan penurunan produksi dan rantai pasok. Jurnal perkapalan Inggris, Lloyd\'s List, mengungkapkan bahwa sejak krisis energi terjadi di China, hanya 34 persen komoditas tiba di Inggris tepat waktu.
CHINATOPIX VIA AP
Uap mengepul keluar dari menara pendingin di pembangkit listrik tenaga batubara di Nanjing, di Provinsi Jiangsu, China, pada Senin (27/9/2021).
”Semua komoditas, mulai dari pakaian, mainan, hingga elektronik, terlambat datang dan diperkirakan terus begini hingga pertengahan tahun 2022,” kata peneliti dari Pusat Kajian China Universitas Oxford, George Magnus, kepada majalah Business Matters.
China berusaha mencari suplai batubara dari luar Australia. Data bea dan cukai negara itu mengungkapkan, Rusia dan Indonesia menjadi pengekspor batubara terbesar ke China sekarang. China mengimpor 37 juta ton batubara dari Rusia dan 3 juta ton dari Indonesia per September 2021. Jumlah ini naik 230 persen dari impor batubara Rusia tahun 2020 dan 89 persen dari impor batubara Indonesia tahun 2020.
Selain itu, China juga mencari sumber-sumber energi lain, seperti minyak dan gas dari Rusia, Tajikistan, dan Kazakhstan. Jalur pipa Siberia menjadi tumpuan. Saat ini juga tengah dibicarakan kemungkinan membangun jalur pipa migas kedua. Bahkan, migas sekarang merupakan 60 persen ekspor Rusia ke China.
PHOTO BY - / CNS / AFP
Foto udara yang diambil pada 26 Juni 2021 ini memperlihatkan bendungan Baihetan di Zhaotong, di Provinsi Yunan, China.
”Krisis energi diperkirakan terus berlangsung sampai dengan tahun 2022. Ini karena meskipun China membeli batubara dari Rusia dan Indonesia, mereka juga akan mengurangi pemakaian batubara. Selama transisi ke energi bersih, akan selalu ada kekurangan energi,” kata Vita Spivak, analis dari firma Control Risks kepada radio Free Europe.
Presiden China Xi Jinping pada bulan lalu mengumumkan bahwa China akan dekarbonisasi di tahun 2060. Menurut dia, negara itu akan mencapai puncak emisi pada tahun 2025 dan di tahun 2026 secara bertahap beralih ke energi bersih. (AP/REUTERS)