Berat nian Irak menghadirkan stabilitas dan perdamaian. Upaya pembunuhan atas PM Mustafa al-Kadhimi mengoyak rintisan lembaran baru di negara itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
AFP/IRAQI PRIME MINISTER'S PRESS OFFICE
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi (tengah) memimpin sidang kabinet, beberapa jam setelah rumah kediamannya diserang pesawat tanpa awak di Baghdad, Irak, Minggu (7/11/2021).
Hampir dua dekade terakhir ini Irak terus-menerus dilanda konflik berdarah tanpa jeda. Invasi, terorisme, kuatnya milisi sipil bersenjata, dan instabilitas terus menggoyang Irak. Pemimpin datang silih berganti, termasuk pergantian latar belakang spektrum politik, tetapi stabilitas dan perdamaian di Irak tampak seperti benang basah yang coba ditegakkan.
Terbaru, guncangan dramatis melanda Irak dengan adanya upaya pembunuhan terhadap Perdana Menteri (PM) Mustafa al-Kadhimi. Seperti diberitakan laman harian ini, pada Minggu (7/11/2021) dini hari kediaman Kadhimi di area Zona Hijau, Baghdad, dihantam pesawat tanpa awak penuh muatan bahan peledak. Kadhimi selamat dari percobaan pembunuhan itu. Namun, beberapa pengawalnya mengalami luka-luka.
Insiden tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik di negara itu, yang belum lama ini menggelar pemilu parlemen. Pada 10 Oktober, Irak menggelar pemilu parlemen sebagai pelaksanaan aspirasi rakyat dalam berbagai unjuk rasa besar- besaran, Oktober 2019. Unjuk rasa rakyat kala itu memaksa PM Adel Abdul Mahdi mundur. Ia digantikan oleh Kadhimi.
KOMPAS
Minggu (10/10/2021), Irak menggelar pemilu kelima parlemen sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Pada pemilu kali ini, sekitar 25 juta penduduk Irak berhak mencoblos untuk menentukan 329 anggota parlemen.
Pemilu 10 Oktober berjalan sukses, disebut paling damai dan bebas dari kekerasan serta tanpa kendala teknis. Hanya satu catatan negatif: angka partisipasi warga hanya sekitar 41 persen, terendah dalam sejarah pemilu parlemen sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein pada 2003. Hasil pemilu itu memenangkan kubu Moqtada al-Sadr. Ia ulama Syiah terkemuka yang menentang campur tangan asing di Irak. Mereka meraup kursi terbanyak di parlemen, 73 dari 329 kursi.
Namun, hasil pemilu tersebut ditolak oleh koalisi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Amiri yang dikenal pro-Iran. Koalisi ini hanya meraih sekitar 15 kursi, anjlok dari perolehan pemilu tahun 2018 (48 kursi). Koalisi itu memiliki sayap militer, Hashid al-Shaabi, yang kerap disebut kekuatan militer terbesar kedua di negara itu setelah angkatan bersenjata Irak. Milisi-milisi pro-Iran menolak hasil pemilu 10 Oktober dan mendirikan tenda-tenda di luar Zona Hijau. Jumat lalu, terjadi bentrokan dengan aparat, menewaskan seorang dari mereka.
AP PHOTO/HADI MIZBAN
Aparat keamanan menghadang para pengunjuk rasa yang ingin memasuki area Zona Hijau di Baghdad, Irak, Sabtu (6/11/2021). Para pengunjuk rasa menolak hasil pemilu parlemen bulan lalu, yang menyebabkan milisi-milisi pro-Iran menelan kekalahan.
Seperti Sadr, PM Kadhimi dikenal berupaya melepaskan Irak dari jerat pengaruh asing. Atau setidaknya ia ingin menjaga keseimbangan pengaruh dan tarikan kepentingan luar, Iran dan Amerika Serikat. Sepanjang tahun ini Kadhimi memediasi pertemuan dua rival bebuyutan, Arab Saudi dan Iran. Ia tidak disukai kubu pro-Iran karena gencar mengusung isu korupsi yang melibatkan banyak pejabat dari kubu itu.
Realitas di negara itu memperlihatkan, sulit untuk menemukan jalan tersebut saat ini. Keberadaan milisi-milisi bersenjata di belakang kekuatan politik tertentu termasuk yang mempersulit jalan itu. Saat kepentingan kubu politik mereka tidak terakomodasi melalui mekanisme demokrasi, seperti pemilu, kekerasan dan senjata yang berbicara.
