Rangkaian unjuk rasa itu memprotes para pemimpin negara dan perusahaan yang menghadiri COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Hampir 62 persen emisi karbon global dilepaskan oleh AS, China, India, Jepang, Uni Eropa, dan Rusia.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
GLASGOW, JUMAT — Pemuda dari sejumlah negara berunjuk rasa di Glasgow, Skotlandia, yang tengah menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 Perubahan Iklim atau COP 26. Dari rencana tiga hari, unjuk rasa terbesar digelar pada Sabtu (6/11/2021) ini.
Pada Jumat (5/11/), hampir 10.000 pemuda bergabung di sejumlah jalan dan lapangan di Glasgow. Sementara pada Sabtu diharapkan ada 50.000 pengunjuk rasa bergabung. Pada Kamis, panitia unjuk rasa mengakui sebagian peserta positif terinfeksi Covid-19. Walakin, jumlah pastinya tidak diungkap.
Rangkaian unjuk rasa itu memprotes para pemimpin negara dan perusahaan yang menghadiri Konferensi Para Pihak (COP 26) tentang Iklim di Glasgow. Rangkaian unjuk rasa itu digalang oleh gerakan ”Fridays for Future”.
”Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa sekali lagi menunjukkan pemimpin hanya berjanji dan berkata kosong. Kami mendesak pemangkasan drastis emisi karbon dioksida, ganti rugi dari negara utara ke negara selatan atas kerusakan yang ditimbulkan negara utara, dan segera akhiri industri energi fosil,” kata peserta dari Filipina, Mitzi Jonelle Tan.
Para pengunjuk rasa menuding para pemimpin negara dan perusahaan di COP 26 mencoba menutupi kegagalan memangkas emisi gas rumah kaca. ”Kami mewakili masyarakat menyampaikan pesan kepada mereka,” kata peserta dari Brasil, Valentina Ruiz.
Sementara peserta dari Samoa, Brianna Fruean, mengingatkan bahwa negaranya termasuk yang paling terdampak perubahan iklim. Sebagai dataran rendah, negara di Pasifik Selatan itu rawan kehilangan sebagian daerahnya akibat kenaikan air laut yang dipicu perubahan iklim. ”Saya khawatir kehilangan negara saya,” ujarnya.
Pendanaan
Kritik terhadap para pemimpin negara dan perusahaan tidak hanya disampaikan para pemuda. Ilmuwan di banyak negara juga mengkritik, terutama karena tidak kunjung mewujudkan komitmen pendanaan untuk memitigasi penyebab dan dampak perubahan iklim.
Dalam KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, pada 2009 ada janji menyediakan 100 miliar dollar AS per tahun hingga 2020. Dana itu diharapkan disediakan negara maju untuk membantu negara berkembang dan negara miskin mengalihkan sumber energinya dari fosil ke energi terbarukan. Setelah 12 tahun, janji itu tidak pernah terwujud.
Di COP 26, kembali dibuat janji baru. Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) mengumumkan perusahaan dari sejumlah negara menjanjikan 130 triliun dollar AS dalam beberapa tahun ke depan untuk dekarbonisasi. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pernah menyebut, butuh paling tidak 2,4 triliun dollar AS per tahun sampai 2035 untuk peralihan energi demi mencapai target pembatasan kenaikan suhu permukaan bumi.
Meski GFANZ menjanjikan dana besar, tetap saja ada kritik. ”Kita menyaksikan privatisasi dari bagian terpenting dalam kebijakan iklim internasional,” kata peneliti Corporate Europe Observatory, Kenneth Haar.
Para perusahaan yang menjanjikan dana lewat GFANZ masih terlibat dalam berbagai proyek energi fosil. ”COP 26 adalah ajang pemutihan dosa terbesar dalam sejarah,” ujarnya.
Peneliti pada Transnational Institute, Brid Brennan, berpendapat senada. Para penghasil polusi dan lembaga keuangan yang mendanai proyek energi fosil mendapatkan kesempatan memutihkan kesalahan lewat COP 26. Mereka menjanjikan dana dekarbonisasi sembari terus terlibat dalam proyek energi fosil yang merupakan sumber terbesar emisi karbon penyebab perubahan iklim.
Salah satu indikasinya adalah penolakan Amerika Serikat, China, India, Jepang, hingga Australia untuk secara tegas menetapkan waktu berhenti menggunakan batubara. Negara-negara itu merupakan produsen dan konsumen terbesar batubara.
Menurut BP Energy Review, salah satu acuan utama produksi dan konsumsi energi global, China-India-Jepang mengonsumsi 85 persen dari kebutuhan batubara Asia sepanjang 2020. Sisanya dikonsumsi puluhan negara lain, termasuk Indonesia yang kerap dituding sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar. Padahal, kontribusi emisi karbon Indonesia tidak sampai 1,7 persen dari keseluruhan emisi karbon global.
Menurut World Resource Institute (WRI), hampir 62 persen emisi karbon global dilepaskan oleh AS, China, India, Jepang, Uni Eropa, dan Rusia. Mayoritas karbon dilepaskan pembangkit listrik atau mesin penghangat di AS, China, India, Jepang, dan Uni Eropa.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak negara-negara maju berhenti memakai batubara pada 2030. Sementara negara berkembang dan miskin diminta berhenti menggunakan batubara pada 2040. ”Mayoritas cadangan batubara harus tetap di bawah tanah,” ujarnya.
Sejumlah negara memang berjanji segera menghentikan penggunaan batubara untuk kebutuhan domestik. Walakin, mereka tetap mengekspor ke banyak negara. Hal itu, antara lain, dilakukan Kanada yang mengirimkan hampir 37 juta metrik ton dari 57 juta metrik ton batubaranya ke sejumlah negara. ”Kita mengurangi emisi di sini sambil tetap mengirimkan ke negara lain. Kita lepas tangan,” kata peneliti kebijakan iklim pada University of British Columbia, Kathryn Harrison. (AFP/REUTERS)