Skenario Operasi Militer AS-Israel atas Iran
Perundingan nuklir Iran sampai saat ini masih buntu dan dinilai menjadi biang aksi AS menunjukkan kekuatan militer dengan menerbangkan pesawat pengebom supersonik B-1B Lancer terbang di langit Timur Tengah.
Berbagai kantor berita merilis berita cukup mengejutkan tentang aksi unjuk kekuatan pesawat pengebom supersonik AS, B-1B Lancer, di langit Timur Tengah pekan lalu. Kemudian disusul berita tentang latihan militer bersama Amerika Serikat-Israel di wilayah Israel yang dimulai hari Selasa (2/11/2011).
Pesawat pengebom B-1B Lancer itu terbang menyisir langit Teluk Persia, Selat Hormuz, Selat Bab al-Mandeb, Terusan Suez, dan Teluk Oman.
Berita itu dianggap kejutan mengingat AS pada 31 Agustus lalu menarik pasukannya dari Afghanistan dan saat ini sedang menghadapi tekanan untuk menarik sisa pasukannya di Irak.
Pengalaman pahit di Afghanistan membuat AS tetap tidak jera, yakni justru seperti mau mengobarkan perang lagi—minimal membuat ketegangan lagi—di kawasan lain di Timur Tengah. Apalagi Israel selama ini cukup semangat ingin terlibat dalam operasi militer melawan Iran jika AS kelak memilih opsi militer untuk melumpuhkan instalasi nuklir Iran.
Israel dilansir telah membagi pengalamannya kepada AS tentang aksi menghancurkan instalasi nuklir Irak di Osirak pada tahun 1981 lewat gempuran dengan beberapa pesawat tempur pengebom saat itu. Bahkan, menurut analis politik dan militer Israel, seperti dikutip harian Israel, Yedioth Ahrooth edisi 7 Oktober lalu, Israel juga meletakkan negeri Azerbaijan sebagai opsi titik telak serangan Israel atas Iran.
Israel ingin memanfaatkan krisis hubungan Iran-Azerbaijan terakhir ini untuk membujuk Azerbaijan bersedia wilayahnya dijadikan titik tolak serangan atas Iran. Perbatasan Iran-Azerbaijan memanjang sejauh 900 kilometer. Hubungan Israel-Azerbaijan dikenal sangat kuat, baik ekonomi, politik, militer, maupun intelijen.
Perundingan nuklir Iran yang sampai saat ini masih buntu dan terhenti sejak bulan Juni lalu dinilai menjadi biang aksi AS menunjukkan kekuatan militer dengan menerbangkan pesawat pengebom supersonik B-1B Lancer terbang di atas langit Timur Tengah itu. AS tampaknya ingin menyampaikan pesan kepada Iran lewat penerbangan pesawat pengebom canggih B-1B Lancer itu bahwa opsi militer tetap terbuka jika perundingan nuklir Iran terus mengalami kebuntuan.
AS dan Iran telah menggelar enam tahap perundingan nuklir di Vienna, Austria, tetapi gagal mencapai kesepakatan. AS bersikeras memasukkan isu ekspansi pengaruh Iran di Timur Tengah dan industri rudal balistik Iran dalam agenda perundingan nuklir Iran.
Namun, Iran menolak keras mengaitkan isu nuklir dengan isu-isu lain dalam satu agenda perundingan. Iran bersedia membahas isu peran regionalnya dengan negara-negara tetangga regionalnya yang terpisah sama sekali dengan isu nuklir. AS pun ingin Iran memberi konsesi signifikan dengan mengubah sikapnya tersebut dalam perundingan nuklir yang dijadwalkan akan dimulai lagi pada akhir November ini.
Inilah yang membuat AS mengerahkan pesawat pengebom strategis B-1B Lancer dalam upaya menekan Iran bersedia memberi konsesi tersebut. Pesawat pengebom B-1B Lancer mampu membawa jenis bom yang bisa menembus bungker-bungker bawah tanah di Iran yang diduga kuat menjadi pusat instalasi nuklir Iran.
Bersamaan dengan itu, satuan elite Marinir AS, Task Force 51, mulai hari Selasa lalu menggelar latihan bersama dengan satuan elite Israel di wilayah Israel untuk menghadapi kemungkinan meletus perang terbuka dengan Iran. Satuan elite Marinir AS yang berada di kapal-kapal perang fregat AS di Laut Merah diangkut dengan helikopter menuju Gurun Negev, Israel Selatan, dan kota pelabuhan Eila, Israel Selatan, tempat latihan militer bersama AS-Israel itu.
Latihan militer bersama AS-Israel itu diskenariokan khusus menghadapi kemungkinan militer Iran dan loyalisnya mencoba menduduki kantor konsulat atau Kedubes AS di negara-negara Timur Tengah, serta menguasai kapal-kapal perang AS di kawasan itu.
Kota pelabuhan Eilat di Israel Selatan dipilih menjadi pusat latihan militer bersama AS-Israel untuk membuat skenario satuan elite Marinir AS melindungi kantor-kantor Kedubes dan Konsulat AS yang sebagian besar berada tidak jauh dari pantai, seperti di Kuwait, Bahrain, Doha (Qatar), Abu Dhabi (Uni Emirat Arab), Dubai (UEA), Dhahran (Arab Saudi), Jeddah (Arab Saudi), dan Muskat (Oman). Kapal-kapal perang AS juga sering bersandar di pelabuhan kota-kota negara Arab Teluk tersebut.
Israel juga menggelar latihan militer mulai pekan ini untuk kemungkinan menghadapi Hamas di Jalur Gaza dan Hezbollah di Lebanon dalam waktu yang bersamaan jika kelak meletus perang terbuka dengan Iran. Hamas dan Hezbollah dikenal loyalis Iran yang kemungkinan besar ikut terlibat bersama Iran dalam perang besar Iran versus AS dan mitra-mitranya di Timur Tengah.
Hamas dan Hezbollah diduga kuat memiliki ribuan rudal balistik jarak pendek dan menengah yang hampir pasti ditembakkan ke berbagai sasaran di Israel. Hamas dan Israel terlibat perang terbuka cukup sengit pada Mei lalu. Hamas mampu menembakkan 400 rudal ke berbagai sasaran di Israel setiap harinya pada perang Mei lalu. Adapun Hezbollah terlibat perang besar secara terbuka terakhir dengan Israel pada 2006.
Israel dalam beberapa tahun terakhir ini intensif melancarkan serangan udara atas berbagai sasaran Iran di Suriah dalam upaya menghancurkan kekuatan militer Iran di Suriah dan memutus jalur pasokan bantuan militer Iran ke Hezbollah di Lebanon. Israel pada Rabu (3/11/2021) dini hari seperti diberitakan kantor berita Suriah, SANA, melancarkan serangan atas sasaran Iran dekat kota Damaskus. Adapun Iran hari Rabu mengklaim telah berhasil menggagalkan upaya AS menguasai kapal tanker Iran di laut Oman.
Stasiun televisi Iran mengklaim, satuan elite garda revolusi Iran berhasil menyelamatkan kapal tanker Iran dan membawanya ke teritorial laut Iran. Stasiun televisi Iran itu mengungkapkan, sempat terjadi bentrok antara satuan garda revolusi Iran dan satuan Marinir AS terkait kapal tanker itu.
Sebaliknya, stasiun televisi Al Arabiya yang berbasis di Dubai menyebut, satuan Marinir AS berhasil memaksa kapal tanker Iran yang hendak mengekspor minyak Iran kembali ke teritorial laut Iran. Ketegangan Iran dengan AS-Israel itu diperkeruh oleh krisis politik di Lebanon dan Irak saat ini yang melibatkan loyalis Iran di dua negara Arab tersebut.
Krisis Lebanon dipicu oleh pernyataan Menteri Penerangan Lebanon George Kordahi dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Lebanon yang mengecam serangan militer Arab Saudi ke Yaman dan menyebut kelompok al-Houthi di Yaman membela diri dari agresi militer Arab Saudi. Wawancara tersebut direkam pada Agustus lalu dan disiarkan pada Senin (25/10/2021).
Arab Saudi langsung menarik dubesnya dari Lebanon dan meminta Dubes Lebanon untuk Arab Saudi meninggalkan Riyadh dalam kurun waktu 24 jam. Reaksi cukup keras Arab Saudi tersebut langsung disusul oleh UEA, Kuwait, dan Bahrain yang juga menarik dubesnya dari Lebanon dan meminta Dubes Lebanon di UEA, Kuwait, dan Bahrain segera meninggalkan negara-negara Arab kaya Teluk itu. Arab Saudi lebih melihat kasus Kordahi sebagai bagian dari perang proksinya dengan Iran di Lebanon.
Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhat dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Arabiya, Sabtu (30/10/2021), secara jelas mengatakan, krisis hubungan Arab Saudi-Lebanon saat ini akibat dari hegemoni loyalis Iran di pentas politik Lebanon.
Krisis politik serupa juga terjadi di Irak saat ini menyusul koalisi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Ameri yang dikenal sangat pro-Iran sampai sekarang masih menolak hasil pemilu parlemen Irak pada 10 Oktober lalu yang membuat meletup krisis politik di Irak saat ini.
Pasalnya, koalisi Al-Fatah mengalami kerugian besar dengan hanya memperoleh sekitar 15 kursi. Padahal, pada pemilu parlemen tahun 2018, koalisi Al-Fatah menduduki posisi kedua dengan mendapat 48 kursi. Ini yang membuat Iran dan loyalisnya di Lebanon dan Irak bersitegang dengan lawan-lawan politiknya yang anti-Iran dan pro-Arab Saudi.