Kadar partikel mikro (PM 2,5) mencapai 999 mikrogram per meter kubik udara pada Jumat (5/11/2021) pagi di New Delhi, India. Menurut standar WHO, udara tergolong sehat jika kadar PM 2,5 maksimal 15 mg per meter kubik.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
AFP/PRAKASH SINGH
Kabut asap pekat terlihat di Ghaziabad, India, pada Jumat (5/11/2021). Bersama New Delhi, Ghaziabad menempati urutan teratas kota dengan polusi paling parah di Bumi. Dari 15 kota dengan polusi terparah di Bumi, 10 berada di India.
NEW DELHI, JUMAT — Beijing, China, dan New Delhi, India, dilaporkan mengalami polusi udara parah pada Jumat (5/11/2021). Perpaduan musim dingin, pembakaran batubara, dan festival keagamaan memicu kabut asap di kedua ibu kota negara dengan penduduk terbanyak di Bumi itu.
Di New Delhi, kadar partikel mikro (PM 2,5) mencapai 999 mikrogram per meter kubik udara pada Jumat pagi. Sementara pada Jumat malam, kadarnya masih bertahan di atas 350 mikrogram per meter kubik udara. Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), udara tergolong sehat jika kadar PM 2,5 maksimal 15 mikrogram per meter kubik udara.
Sejak 2019, New Delhi selalu menduduki peringkat pertama daftar kota terpolusi di Bumi. Peringkat kedua diduduki Ghaziabad yang juga berada di India. Ghaziabad merupakan kota terpadat di Negara Bagian Uttar Pradesh. Dari 15 kota dengan polusi terparah di Bumi, 10 kota berada di India.
Kabut asap di New Delhi disebabkan tiga faktor, yakni penggunaan batubara di pembangkit listrik, pembakaran jerami, dan pembakaran kembang api. India adalah pengguna batubara terbesar kedua di Asia setelah China. Hingga 68 persen listrik India dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
AFP/ALTAF QADRI
Kabut asap pekat terlihat di New Delhi, India, Jumat (5/11/2021). Dari 15 kota dengan polusi terparah di Bumi, 10 berada di India.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow, Skotlandia, India bergabung dengan Amerika Serikat dan China dalam barisan pihak yang menolak memastikan kapan akan menghentikan penggunaan batubara. Penolakan serupa disampaikan Australia dan Jepang.
China-India-Jepang adalah pemakai terbesar batubara di Asia. Menurut BP Energy Review, salah satu acuan utama produksi dan konsumsi energi global, trio itu mengonsumsi 85 persen dari kebutuhan batubara Asia sepanjang 2020.
Selain asap dari PLTU batubara, kabut asap di New Delhi dan sekitarnya terlihat sejak akhir Oktober 2021. Penyebabnya, para petani membakar jerami sisa panen. Pembakaran itu juga bagian dari persiapan lahan untuk musim tanam selanjutnya.
Kondisi semakin buruk karena sepanjang Kamis (4/11/2021), mayoritas warga India membakar kembang api untuk merayakan Festival Cahaya atau Diwali. Padahal, Pemerintah India sangat menganjurkan agar warga menghindari pembakaran kembang api. Bahkan, penjualan kembang api di New Delhi dan sekitarnya dilarang. Walakin, anjuran dan larangan itu terbukti tidak dipatuhi.
Tokoh Rashtriya Swayamsevak Sangh, S Gurumurthy, mengkritik pembangkangan itu. ”Mereka tidak akan berhenti sampai Diwali menjadi penyebab kematian. Ada orang-orang yang mencoba menggunakan Diwali untuk menghancurkan India,” kata tokoh ormas induk partai penguasa India, Bharatiya Janata Party (BJP), sebagaimana dikutip sejumlah media India, seperti NDTV dan Indian Express.
AFP/SAJJAD HUSSAIN
Kabut asap pekat terlihat di Jalan Rajpath dekat Gerbang India di New Delhi, India pada Kamis (4/11/2021). Pada Jumat (5/11/2021), kadar partikel mikro (PM 2.5) di New Delhi mencapai 999 mikrogram per meter kubik udara pada Jumat pagi, jauh lebih tinggi dari standar WHO.
Kritik Gurumurthy disanggah oleh tokoh Hindu, Jaggi Vasudev, yang juga dikenal sebagai Sadhguru. Ia mengatakan, anak-anak jangan dilarang menyalakan kembang api selama Diwali. ”Jangan memakai alasan lingkungan untuk melarang kegembiraan. Kalau memang peduli, berhentilah menggunakan mobil selama beberapa hari saja,” ujarnya.
Polusi di China
Sementara di Beijing, kabut asap membuat jarak pandang dilaporkan kurang dari 200 meter. Akibatnya, sejumlah jalan tol terpaksa ditutup demi alasan keamanan. Pemerintah Beijing dan sejumlah kota di sekitar Beijing juga melarang pelajar beraktivitas di luar ruangan selama sekolah. Selain di Beijing, perintah penutupan diberlakukan pula di Shanghai, Tianjin, dan Harbin.
Sejumlah papan pengukur kadar polusi udara di berbagai penjuru Beijing menunjukkan udara di aras berbahaya. Kandungan partikel mikro (PM 2,5) di Beijing mencapai 230 mikrogram per meter kubik udara.
Pemerintah China menyalahkan kondisi cuaca dan polusi di luar Beijing sebagai penyebab kabut asap. Otoritas meyakini kabut asap akan terurai pada Sabtu malam, seiring aliran udara dingin dari utara.
AFP/GREG BAKER
Kabut asap pekat di Beijing, China, pada Jumat (5/11/2021). Kandungan partikel mikro (PM 2,5) di Beijing mencapai 230 mikrogram per meter kubik udara. Kabut asap membuat jarak pandang dilaporkan kurang dari 200 meter.
Kabut asap melanda Beijing tepat sehari setelah otoritas memperingatkan tentang polusi berat pada Kamis. Peringatan diikuti dengan penghentian kegiatan pembangunan gedung, pengoperasian pabrik, dan kegiatan belajar di luar ruangan.
Dalam dua dekade terakhir, Beijing dan sekitarnya kerap diliputi kabut asap selama musim dingin. Kondisi itu dihasilkan dari penggunaan batubara besar-besaran untuk mesin penghangat dan angin yang nyaris tidak berembus dalam beberapa waktu selama musim dingin. Akibat angin yang terlalu lemah, asap dari pembakaran batubara bertahan di sekitar Beijing dan sekitarnya.
Pemerintah China sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kondisi itu. Salah satunya, dengan meningkatkan penggunaan mesin penghangat bertenaga gas dan listrik. Namun, kenaikan harga gas dan keterbatasan pasokan listrik sejak Agustus 2021 membuat upaya itu terhambat pada 2021. Akibatnya, penggunaan batubara untuk mesin penghangat kembali naik.
Penduduk Beijing mulai memprotes polusi parah sejak 2013. Mereka menyebutnya sebagai airpocalypse atau kiamat udara. Sebab, kadar PM 2,5 mencapai puluhan kali lipat dari standar aman menurut WHO.
AFP/JADE GAO
Kabut asap pekat di Beijing, China, pada Jumat (5/11/2021).
Manajer Kampanye Iklim Greenpeace Asia Timur Danqing Li mengatakan, penyebab kabut asap kali ini sama persis dengan tahun-tahun sebelumnya. Setelah beberapa waktu memangkas penggunaan batubara, otoritas Beijing dan sejumlah provinsi lain kembali mengizinkan peningkatan penggunaan bahan bakar itu. Keterbatasan pasokan listrik pada Agustus-Oktober menjadi penyebab utama lonjakan penggunaan batubara.
Sepanjang Oktober, produksi harian batubara China lebih tinggi 1,1 juta metrik ton dibandingkan produksi September. Pada awal November 2021, cadangan batubara siap pakai China mencapai 112 juta metrik ton. (AFP/REUTERS)