Mardin, wilayah Turki tenggara, termasuk bagian dari kawasan bersejarah yang diyakini para arkeolog sebagai lokasi minuman anggur yang pertama kali diciptakan sekitar 2.700 tahun silam.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Bagi Yuhanna Aktas (44), warga Assyria, menanam buah anggur sekaligus memproduksi minuman anggur sama seperti menumbuhkan kembali kebudayaan kelompok minoritas Kristen Assyria, yang mulai hilang di Provinsi Mardin, Turki tenggara, dekat perbatasan Suriah.
Perjalanan usaha Aktas memproduksi minuman anggur tak mulus. Ia menghadapi penolakan masyarakat Turki yang menilai anggur termasuk minuman beralkohol yang dilarang Islam.
”Menanam anggur dan menumbuhkan budaya Assyria yang mulai hilang menjadi impian saya sejak kecil,” kata Aktas. Di tempat usahanya, terlihat tong-tong minuman anggur yang difermentasi dari buah anggur hijau di Midyat, kota yang berjarak 50 kilometer dari perbatasan Suriah.
Warga Assyria merupakan komunitas yang dulu di bawah salah satu imperium tertua di dunia di wilayah utara Mesopotamia—kini berada di wilayah Irak, Iran, Kuwait, Suriah, dan Turki.
Warga Assyria di wilayah Mardin tak banyak. Hanya tersisa sekitar 3.000 orang. Tak semuanya memiliki kebun anggur dan memproduksi minuman anggur. Mardin termasuk bagian dari kawasan bersejarah yang diyakini para arkeolog sebagai lokasi minuman anggur yang pertama kali diciptakan sekitar 2.700 tahun silam.
Jumlah warga Assyria semasa Kerajaan Ottoman pernah mencapai sekitar 700.000 orang. Namun, kini tersisa 15.000 orang di seluruh wilayah Turki. Banyak dari mereka berpindah ke negara lain di Barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, karena kerap jadi korban diskriminasi dan kekerasan di kampung mereka.
Semakin banyaknya warga Assyria yang meninggalkan Mardin menjadi pukulan telak bagi tradisi penanaman dan produksi anggur di Mardin. Perjalanan hidup Aktas tidak mudah. Ia kerap diancam dibunuh ketika pertama kali memulai produksi anggur pada 2009.
”Waktu itu tidak ada yang mau bekerja dengan saya dan tidak ada yang mau menjual buah anggurnya kepada saya,” kata Aktas.
Meski jalan tak mulus, Aktas tetap bisa memproduksi minuman anggur. Ia saat ini menjual 110.000 botol anggur setiap tahun ke seluruh wilayah di Turki.
Minuman anggur produksinya, kata Aktas, berbeda dari minuman anggur lainnya. Minuman anggur produksi Aktas memakai buah anggur lokal varietas Mazrona yang beraroma kuat, seperti anggur Gewurztraminer yang biasa digunakan pada anggur putih Alsatia, Jerman.
Selain itu, buah anggur Aktas dibudidayakan secara organik dan difermentasi secara alami tanpa ragi atau sulfit, zat yang bisa memperpanjang pengawetan.
”Anggur ini bermanfaat untuk kesehatan. Kalau anggur lain bisa menyebabkan sakit kepala karena sulfitnya. Tetapi, anggur produksi kami tidak akan begitu,” kata Aktas.
Berhasil membangun usaha anggurnya di Mardin, kini Aktas membangun perkebunan dan pengolahan minuman anggur yang kedua di kampung halamannya di Beth Kustan, sekitar 30 kilometer dari kebun anggur Midyat. Di kampung halamannya pun tak banyak warga Assyria yang tersisa karena sudah pindah ke negara-negara lain.
Keinginan diaspora Assyria
Warga Assyria di luar negeri itu sebenarnya ingin kembali ke Turki. Sekitar 10 tahun lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kala itu masih menjabat perdana menteri) berjanji membantu keluarga-keluarga Assyria mendapatkan kembali tanahnya. Namun, janji itu tinggallah janji.
”Pada waktu itu banyak (warga Assyria) yang berencana kembali ke Turki dan mau merenovasi rumah mereka yang hancur. Namun, ternyata banyak tanah mereka sudah disita negara atau diambil orang lain,” kata Ayhan Gurkan, Presiden Asosiasi Budaya Assyria.
Penderitaan warga Assyria mulai terjadi secara bertahap pada 1915 atau saat terjadi genosida warga Armenia oleh Turki Ottoman selama Perang Dunia I. Mereka yang selamat lalu meninggalkan Turki. Eksodus kembali terjadi ketika ada bentrokan kelompok Kurdi dan tentara Turki di wilayah perbatasan Turki dengan Suriah dan Irak pada 1980-an.
Tekanan pemerintah terhadap Kurdi setelah upaya kudeta gagal terhadap Erdogan pada 2016 semakin memperuncing ketegangan. Baru-baru ini, situasi panas muncul lagi dengan hilangnya pasangan Assyria di dekat perbatasan Irak yang diduga membantu organisasi teroris. ”Orang (Assyria) jadi enggan kembali ke Turki,”kata Aktas.
Usaha minuman anggur sempat tertekan ketika penjualan lokal dibatasi dan pajak alkohol naik tiga kali lipat sejak partai AKP pimpinan Erdogan mulai berkuasa pada 2002. Pada Mei lalu, Pemerintah Turki juga melarang penjualan minuman beralkohol saat mengeluarkan kebijakan pembatasan Covid-19 selama 17 hari.
Meski demikian, kata Aktas, berbagai upaya untuk membatasi atau melarang perdagangan minuman anggur sebenarnya justru mendongkrak penjualannya. ”Kini minuman alkohol tengah memasuki masa keemasan di Turki. Larangan pemerintah malah membuat penjualannya naik,” kata Aktas. (AFP)