Mencari Makna di Balik Ketidakhadiran Xi Jinping di COP 26
Ada teori yang menyebut Xi tak mau lagi bepergian ke luar negeri karena enggan menghadapi kritik global soal isu HAM di China, Taiwan, Hong Kong, Laut China Selatan, dan asal-usul Covid-19. Beijing menepis teori itu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Presiden China Xi Jinping sudah 21 bulan tidak meninggalkan tanah airnya. Menurut keterangan resmi Pemerintah China, Beijing sengaja mengurangi perjalanan dinas kepala negara ataupun para pejabat teras ke luar negeri guna menghindari risiko penularan Covid-19. Akan tetapi, keputusan ini menuai berbagai tanggapan dari sejumlah pihak.
Xi melakukan kunjungan luar negeri terakhir kali pada Januari 2020 ke Myanmar. Setelah itu, pandemi Covid-19 merebak per Maret 2020 dan presiden berusia 68 tahun tersebut tidak pernah lagi bepergian keluar batas geografis China. Sebelumnya, rata-rata Xi melakukan kunjungan ke 14 negara setiap tahun.
Ketidakhadiran Xi di Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26), yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November tahun ini, disindir oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Sebelumnya, delegasi China menyampaikan bahwa pemimpin mereka harus menghadiri rapat besar Partai Komunis China yang berlangsung 8-11 November. Meskipun begitu, Xi berjanji mengikuti jalannya COP 26 secara daring.
”Dunia menanyakan ketulusan komitmen China sekarang. Apa nilai tambah yang bisa mereka berikan jika pemimpinnya saja tidak mau datang?” kata Biden di Glasgow, Rabu (3/11/2021).
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memberikan tanggapan yang lebih diplomatis. Menurut dia, hanya karena seorang kepala negara tidak hadir secara fisik, bukan berarti ia tidak peduli dan teguh menjalankan komitmen terhadap mitigasi krisis iklim. Selain Xi, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga mengikuti COP 26 secara daring.
Balas menyindir
Perkataan Biden itu segera ditanggapi oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, salah seorang ”pendekar serigala” atau diplomat agresif andalan Pemerintah China. Ia balas menyindir AS yang berusaha mendiskreditkan China di COP 26, padahal memiliki rekam jejak buruk terkait mitigasi krisis iklim.
Presiden AS periode 2017-2021 Donald Trump dulu mundur dari Kesepakatan Paris 2015 dengan alasan mengutamakan perekonomian AS. Di masa pemerintahan Trump, penurunan emisi tidak menjadi prioritas AS. Pemerintahan Biden telah mengutarakan permintaan maaf atas pernyataan pendahulunya.
”Saya benar-benar meminta maaf atas fakta bahwa AS, dalam pemerintahan terakhir, menarik diri dari Kesepakatan Paris,” kata Biden, Senin (1/11/2021).
”Jangan melihat hanya dari kehadiran, tetapi dari janji dan penerapannya,” kata Wang. Xi memberi sambutan kepada para kepala negara di COP 26 yang disampaikan oleh delegasi China. Meskipun demikian, ia tidak memerinci tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai target dekarbonisasi di China per tahun 2060.
Dalam tajuk rencana surat kabar nasional China, Global Times, disebutkan bahwa ada empat komitmen China terhadap mitigasi krisis iklim. Pertama, memastikan China mencapai puncak emisi pada tahun 2025; setelah itu, secara bertahap China mengurangi pemakaian batubara sejak tahun 2026; pada tahun 2030 China berjanji meningkatkan kapasitas listrik bersih dari tenaga matahari dan angin menjadi 1.200 gigawatt; dan target akhirnya ialah dekarbonisasi pada tahun 2060.
Wang juga mengeluhkan kelakuan AS yang selalu mendesak China bertransisi ke energi bersih, tetapi memboikot penjualan panel surya buatan China. Ia merujuk keputusan AS menghentikan impor panel surya dari China karena dibuat di Provinsi Xinjiang. AS menuduh perusahaan-perusahaan China di Xinjiang menggunakan tenaga paksa dari warga kelompok etnis Uighur.
Ini yang kemudian melahirkan teori bahwa Xi tidak mau lagi bepergian ke luar negeri karena enggan menghadapi kritik publik global terkait berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di China dan permasalahan di Taiwan, Hong Kong, Laut China Selatan, dan tuduhan asal-usul Covid-19. Akan tetapi, teori ini ditepis oleh para akademisi dan peneliti isu China. Menurut mereka, Xi sudah terbiasa menghadapi terpaan kritik internasional sehingga kritik mengenai HAM dan lingkungan bukan hal baru bagi dia ataupun Pemerintah China.
”Xi tengah mendapat dukungan yang kuat dari dalam negeri terkait berbagai kebijakan yang dinilai sebagai pembenahan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Ini yang membuat Xi dan Pemerintah China secara umum tidak menganggap penting mencari muka di forum-forum internasional,” kata Neil Thomas, peneliti isu China dari Eurasia Group, kepada surat kabar AS, The New York Times.
Walaupun demikian, China tetap gencar menjaga hubungan dengan negara-negara berkembang. Kantor berita nasional, Xinhua, selalu melaporkan bahwa Xi rutin mengadakan pertemuan daring ataupun pembicaraan melalui telepon dengan para kepala negara berkembang. Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI) China juga terus berlangsung, demikian juga dengan berbagai investasi membangun bendungan di luar negeri.
Thomas menjelaskan, kontak Xi dengan kepala negara dari sejumlah negara berkembang ini tidak hanya satu atau dua kali. Ia rutin berbicara dengan mereka sehingga isu yang dibahas terus berkembang. Sebaliknya, presiden-presiden AS jarang sekali membuka komunikasi intensif dengan negara berkembang di luar jawatan formal. (AFP)