Menyigi Perempuan Teroris sebagai Agen Pelaku atau Korban
Teror yang mengambil nyawa masyarakat sipil terus terjadi. Ketika perempuan terlibat, pertanyaan yang muncul adalah mengapa perempuan menjadi pelaku.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Pelaksana tugas menteri dalam negeri pemerintahan Taliban di Afghanistan, Sirajuddin Haqqani, memuji para pelaku bom bunuh diri dalam acara di Hotel Intercontinental di Kabul, Selasa (19/10/2021). Dia menyebut mereka sebagai pahlawan melawan pemerintahan Afghanistan dukungan Amerika Serikat dan sekutunya.
Bom bunuh diri menjadi taktik militer Taliban berperang. Salah satunya di tengah Kabul, ibu kota Afghanistan, 31 Mei 2017. Bom itu membunuh 150 orang, kebanyakan warga sipil, meskipun Taliban menyebut sasaran mereka militer. Pernyataan resmi Haqqani memberi hadiah pakaian, uang 100.000 afgani (sekitar Rp 1,5 juta), dan janji memberi tanah memunculkan kekhawatiran diprofesionalkannya tindakan bom bunuh diri sebagai senjata mengalahkan lawan tanpa memandang siapa menjadi korban.
Taliban yang mengambil alih pemerintahan di Kabul pada Agustus 2021 kini menghadapi ancaman teror bom dari Negara Islam Khorasan (ISIS-K). Bom bunuh diri pertama meledak di dekat bandara Kabul akhir Agustus 2021 saat proses evakuasi ke luar Afghanistan. Bom kedua terjadi di masjid di Kandahar saat shalat Jumat (15/10/2021), menewaskan setidaknya 40 jemaah shalat.
Stereotipe
Pandemi tidak menyurutkan tindak terorisme, terlihat dari laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 Februari 2021. Kelompok-kelompok kekerasan ekstrem terus bergerak melalui jaringan internasional, termasuk di Indonesia dan Filipina. Sejumlah penangkapan dilakukan di Indonesia sepanjang 2020 dan 2021.
Berbeda dari pandangan umum penggagas tindak kekerasan ekstrem, termasuk bom bunuh diri, adalah laki-laki, perempuan termasuk menjadi pelaku. Dalam laporan Dewan Keamanan PBB disebutkan, pelaku bom bunuh diri terpisah di Jolo di selatan Filipina pada 24 Agustus 2020 adalah dua perempuan yang kewarganegaraannya tidak teridentifikasi. Diduga mereka janda pimpinan kelompok Abu Sayyaf yang tewas Juli 2020 di Filipina.
Pada Oktober 2020 pihak keamanan Filipina menangkap putri pasangan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Jolo dan juga istri pelaku kekerasan ekstrem warga Indonesia yang tewas di Sulu, Agustus 2020. Saat ditangkap, dia memiliki peralatan bom bunuh diri dan diduga ingin membalas kematian suaminya. Para pelaku tersebut diselundupkan masuk ke Filipina sehingga tidak tercatat dalam daftar kunjungan resmi ke Filipina.
Mia Bloom, anggota jaringan peneliti terorisme di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTED) dan penulis buku Bombshell: Women and Terror (2011) dan Small Arms: Children and Terror (2019), mencatat antara 1985 dan 2008 perempuan melakukan lebih dari 230 serangan, seperempat dari total bom bunuh diri. Mereka melakukan teror di Chechnya, Kolombia, Jerman, Indonesia, Inggris Raya, Irak, Irlandia, Israel, Italia, Lebanon, Palestina, Somalia, Sri Lanka, Siria, Turki, dan Amerika Serikat.
Bloom berargumen, meskipun perempuan dapat melakukan kekerasan mematikan seperti laki-laki teroris, motifnya lebih rumit dan berlapis. Beberapa pelaku secara sadar memilih menjadi martir, tetapi lebih banyak disebabkan tekanan dengan ancaman fisik atau melalui kontrol sosial.
Dete Alliah, peneliti terorisme pada SeRVE Indonesia, menemukan perempuan Indonesia pelaku tindakan kekerasan ekstrem lebih banyak dikarenakan eksploitasi daripada untuk eksistensi diri. Dalam webinar oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Convey, 15 Oktober 2021, Dete menyebut, alasan perempuan melakukan kekerasan ekstrem, berlapis dan tidak sederhana.
Ada yang dikarenakan alasan ideologi setelah terpapar indoktrinasi: pemerintah thogut, mendukung khilafah, janji mati syahid dan mendapat surge, solidaritas Islam, tinggal di negara berhukum Islam. Motif lain karena balas dendam setelah suami tewas oleh aparat keamanan, jalan tobat, korban kekerasan oleh suami dan memilih mati syahid untuk masuk surga daripada kembali pada suami, kesetiaan pada suami, dan ada yang ingin mencari jodoh.
Dete mengaku sejak 2015 menemui setidaknya 75 perempuan di lapas atau dirumahnya, dari jaringan Jemaah Islamiyah, Jemaah Ansharut Tauhid, Jemaah Anshorut Syariah, Ring Banten, Mujahidin Indonesia Timur, dan kemudian ISIS. Di antara mereka ada pekerja migran yang tertangkap saat akan ke Siria dan ada yang kembali dari Siria yang menjadi basis ISI sebelum diporakporandakan.
Keterlibatan perempuan dapat karena direkrut kelompok radikal dan teroris melalui internet atau langsung, direkrut orangtua sendiri, pasangan, teman, dan karena keinginan sendiri setelah terpapar ajaran radikal. Para perekrut juga ada perempuan sehingga peran perempuan dalam tindakan ekstrem dan teror tidak sederhana.
Perekrutan perempuan, menurut Dete, antara lain, untuk mempermalukan laki-laki, karena kekurangan tenaga, perempuan tidak dicurigai, sulit merekrut anggota di luar keluarga, menjaga kerahasiaan gerakan, dan perempuan dianggap lebih mudah dipengaruhi dan memiliki militansi tinggi.
Pencegahan
Dete berkesimpulan, perempuan sebagai pelaku kekerasan teror saat ini lebih banyak sebagai pseudo agen, bukan agen murni. Pada beberapa kasus keinginan dan ajakan melakukan kekerasan datang dari perempuan setelah terpapar indoktrinasi imam laki-laki. Mereka tidak selalu berani bertindak sendiri. Ini menjelaskan mengapa pada sejumlah kasus bom bunuh diri pelakunya pasangan suami-istri, seperti di gereja di Makassar (28/3/2021) dan gereja di Pulau Jolo, Filipina (27/1/2019, pelaku berasal dari Makassar) dan di gereja di Surabaya (13/5/2018).
Semakin banyak perempuan Indonesia terpapar paham radikalisme, terlihat dari penelitian terhadap siswa SMA dan mahasiswa yang dilakukan beberapa lembaga. Di situs-situs kelompok radikal, banyak perempuan menjadi penulis dan berusaha meyakinkan audiens bahwa khilafah sistem yang tepat. Kelompok radikal menggunakan situs-situs itu sebagai jala yang ditebar untuk merekrut calon anggota kelompok.
Laporan Dewan Keamanan PBB pada suami-isti pelaku kekerasan ekstrem di Jolo dan Sulu serta pelaku bom bunuh diri gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 memperlihatkan bagaimana radikalisasi terjadi di dalam keluarga. Pelaku bom bunuh diri di gereja di Surabaya terdiri dari suami-istri dan empat anak mereka, dua di antaranya berusia 12 tahun dan 9 tahun yang diajak ibunya saat melakukan bom bunuh diri.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 yang berlaku 7 Januari 2021 sudah menyusun langkah mencegah ekstremisme berbasis kekerasan dan mengenali permasalahan utama, yaitu belum terkoordinasinya data dan analisisnya.
Pada tingkat masyarakat, upaya pencegahan dapat digalang dengan melibatkan organisasi masyarakat dan komunitas. Ketua Tim Convey Indonesia Prof Jamhari berharap perempuan Muslim yang memiliki pemahaman keagamaan yang baik dan toleran dapat bersuara, membuka perjumpaan dengan mereka yang berpandangan berbeda. Paguyuban, seperti Kongres Ulama Perempuan sebagai intelektual dan pemikir, dapat terus melahirkan buku-buku dan pandangan tentang perempuan dan Islam.
Alih-alih menekankan peran perempuan sebagai pelaku kekerasan ekstrem dan teror, sebagai agen atau korban eksploitasi, akan lebih bermanfaat membangun kapasitas perempuan sebagai agen perdamaian di tingkat komunitas dan keluarga.