Penyambung Hidup Rakyat India Itu Bernama Batubara
Posisi sumber energi batubara dilematis bagi masyarakat India yang mengandalkan batubara sebagai sumber pendapatan. Tantangan seperti ini yang harus dihadapi pertemuan perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Setiap hari Raju harus membawa enam karung batubara yang dicuri dari tambang dengan naik sepeda. Padahal, beratnya bisa sampai 200 kilogram. Itu pun dilakukan sering kali saat malam supaya tidak panas dan, yang lebih penting, tidak ditangkap polisi. Ia harus membawa karung-karung batubara itu hingga sejauh 16 kilometer dengan upah 2 dollar AS (sekitar Rp 28.500). Raju tak sendiri. Ribuan orang di daerah Dhanbad, Negara Bagian Jharkhand, India timur, juga melakukan hal serupa.
Raju sudah menjalani pekerjaan ini sejak pindah ke Dhanbad tahun 2016 gara-gara kampung halamannya dilanda banjir bandang hingga merusak lahan-lahan pertanian. Kini, hanya batubara yang menjadi tumpuan Raju mendapatkan uang untuk bisa bertahan hidup sehari-hari. Masalahnya, inilah yang sedang dilawan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Skotlandia. Demi menyelamatkan bumi, penggunaan batubara harus dihentikan karena merupakan sumber gas rumah kaca terbesar.
Penghentian penggunaan batubara harus dilakukan untuk menghindari bencana akibat perubahan iklim, termasuk banjir bandang yang merusak lahan pertanian di India. Masalahnya, banyak orang masih bergantung pada batubara yang masih merupakan sumber bahan bakar terbesar di dunia untuk pembangkit tenaga listrik. Bagi Raju, batubara juga penyelamat hidupnya. ”Orang miskin menderita terus dan penyelamatnya batubara,” kata Raju.
Presiden COP 26 Alok Sharma berharap penggunaan batubara bisa dikurangi bahkan dihentikan. Itu mungkin saja bisa dilakukan oleh sebagian negara maju. Namun, tidak akan mudah bagi negara berkembang dan negara miskin. Bagi negara berkembang dan miskin, peran batubara penting karena lebih murah. Batubara banyak digunakan untuk membuat baja dan pembangkit tenaga listrik. Jika dihitung, rata-rata orang di Amerika Serikat menggunakan listrik 12 kali lebih banyak ketimbang orang di India. Bahkan, sedikitnya 27 juta orang di India tidak memiliki jaringan listrik sama sekali.
Kebutuhan listrik di India diperkirakan akan tumbuh lebih cepat ketimbang negara lain di dunia selama 20 tahun ke depan. Ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kebutuhan akan mesin pendingin karena cuaca panas yang kian ekstrem. Tingginya kebutuhan listrik dari energi batubara di India selama ini dipenuhi oleh Coal India, petambang batubara terbesar di dunia. Mereka hendak meningkatkan produksi hingga lebih dari 1 miliar ton per tahun pada 2024.
Sekretaris Pusat Persatuan Perdagangan India D.D. Ramanandan mengatakan, perbincangan tentang rencana meninggalkan batubara sebagai sumber energi hanya terjadi di Perancis, Skotlandia, dan India. Sementara penggunaan batubara diperkirakan masih akan lama, setidaknya sampai 100 tahun ke depan. Jika batubara dikurangi, bahkan tidak digunakan lagi, akan ada konsekuensinya bagi daerah setempat dan dunia. Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menilai, jika dunia tidak mengurangi emisi gas rumah kaca dengan drastis, bumi akan terdampak gelombang panas ekstrem.
Pada tahun 2021, studi Pemerintah India menemukan, Jharkhand termasuk daerah termiskin di India sekaligus wilayah yang memiliki simpanan batubara terbesar di India. Sandeep Pai, yang mempelajari studi keamanan energi dan perubahan iklim di Pusat Strategi dan Studi Internasional di Washington, AS, mengatakan, terdapat sedikitnya 300.000 orang yang bekerja di tambang batubara milik pemerintah. Mereka mendapatkan gaji dan keuntungan lainnya. Selain itu, terdapat hampir 4 juta jiwa di India yang kehidupannya secara langsung dan tidak langsung terkait dengan batubara.
Industri di India dipenuhi oleh perusahaan yang membutuhkan batubara, seperti pembuatan baja dan batu bata. Jawatan kereta api India juga mendapatkan setengah pendapatan mereka dengan mengangkut batubara hingga bisa memberikan subsidi pada biaya tiket penumpang. ”Batubara ini bisa dikatakan sudah seperti ekosistem,” kata Pai.
Naresh Chauhan (50) dan istrinya, Rina Devi (45), semakin bergantung pada batubara. Apalagi mereka tinggal di dekat tambang batu bara Jhariq. Meski tinggal di dekat tambang batubara membahayakan kesehatan, mereka tetap bertahan. Asap keluar dari rekahan tanah dekat rumah mereka. Dari hasil menjual batubara ke pedagang ataupun pengepul, keduanya bisa memperoleh 3 dollar AS (sekitar Rp 42.700) setiap hari. Keluarga-keluarga yang tinggal di tambang batubara selama bertahun-tahun mayoritas tak memiliki lahan sendiri yang bisa ditanami sehingga tidak memiliki pilihan lain.
Naresh berharap anaknya bisa belajar menyetir dan menjadi sopir taksi supaya ada tambahan penghasilan. Namun, itu pun sepertinya tak akan cukup karena layanan taksi kini tak banyak pelanggan. ”Hanya ada batubara, batu, dan api. Tidak ada lainnya,” ujarnya.
Jika dunia meninggalkan batubara, kehidupan rakyat Dhanbad akan semakin berat. Kenyataan ini semakin dekat karena sumber energi yang terbarukan semakin murah dan batubara menjadi semakin tidak menguntungkan. India dan negara-negara lain yang bergantung pada batubara, kata Pai, harus mendiversifikasikan perekonomiannya serta melindungi kehidupan pekerja dan membantu mempercepat transisi dari batubara. Harus dibuka peluang-peluang baru.
Jika tidak, akan lebih banyak orang yang bernasib seperti Murti Devi (32), ibu empat anak yang kehilangan pekerjaan ketika tambang tempatnya bekerja tutup empat tahun lalu. Devi tidak mendapatkan pesangon seperti yang dijanjikan sehingga mau tak mau harus mencari uang dari batubara. Terkadang ia bisa mendapat uang, terkadang pula tak ada uang masuk. Ia hanya bisa berharap dari bantuan tetangga. ”Kalau ada batubara, kami masih bisa hidup. Kalau tak ada batubara, tidak tahu apa yang akan terjadi,” ujarnya. (AP)