Joko Widodo Hadiri KTT G-20, Mitigasi Iklim dan Vaksinasi Jadi Prioritas
Presiden Joko Widodo menghadiri KTT G-20 di Roma. Percepatan pembangunan ekonomi, pemerataan akses vaksin, dan mitigasi krisis iklim merupakan agenda prioritas G-20.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo Jumat malam (29/10/2021) atau Jumat sore waktu Italia, tiba di Roma. Presiden akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-20, yaitu kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Indonesia juga akan menjabat sebagai ketua G-20 untuk periode 1 November 2021 hingga 30 November 2022. Percepatan pembangunan ekonomi, pemerataan akses vaksin, dan mitigasi krisis iklim merupakan agenda prioritas kelompok ini.
Agenda G-20 ini juga erat dengan KTT Perubahan Iklim ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, pada awal November, yang juga akan dihadiri oleh Presiden Jokowi. Kepemimpinan Indonesia pada G-20 menghadapi tantangan cukup berat karena terjadi ”perang dingin” antara beberapa anggotanya, yaitu Amerika Serikat, China, dan Rusia. Bahkan, Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memilih menghadiri KTT G-20 secara daring.
Berdasarkan keterangan resmi yang ditandatangani para kepala negara anggota G-20, agenda yang telah pasti ialah mempercepat produksi dan distribusi vaksin Covid-19. G-20 menginginkan waktu pembuatan dan pengujian vaksin yang biasanya berlangsung selama 300 hari bisa dikurangi menjadi 100 hari.
Oleh sebab itu, saling berbagi data dan penangguhan hak paten dari setiap merek vaksin mendesak dilakukan. Apalagi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan kajian bahwa percepatan ekonomi hanya bisa terjadi apabila penduduk dunia sudah divaksin. G-20 secara resmi menyatakan dukungan kepada target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa di pertengahan tahun 2022 sebanyak 70 persen penduduk bumi sudah harus menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap.
”G-20 memiliki sejarah pengelolaan yang buruk, terutama dengan konflik antara AS dengan China dan Rusia. Di sini kepemimpinan Indonesia diuji. Perlu diperhatikan bahwa Indonesia memiliki kekuatan budaya musyawarah mufakat yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mendekati semua negara anggota G-20,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional Singapura Kishore Mahbubani ketika menjadi narasumber di webinar Golkar Institute.
Indonesia juga memiliki kelebihan sebagai negara yang dekat dengan AS sekaligus China. Pola komunikasi Indonesia, menurut Mahbubani, tenang dan tidak konfrontatif. Ini penting untuk dijadikan metode persuasif, baik kepada negara-negara adidaya maupun negara maju, karena Indonesia semestinya memiliki sikap berkepala dingin.
Krisis iklim
Di sisi lain, Indonesia juga mewakili negara-negara berkembang dalam pembahasan mengenai mitigasi krisis iklim. Negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa, dan Inggris, didesak oleh warga mereka untuk segera menurunkan emisi menjadi nol per 2050. Krisis iklim diambang pintu dan tidak akan bisa ditangani apabila suhu bumi naik 1,5 derajat celsius. Target ini menjadi bermasalah ketika diturunkan kepada negara-negara berkembang yang masih berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama dengan bergantung pada energi fosil.
Negara berkembang belum mampu membangun listrik dari energi ramah karena keterbatasan akses terhadap teknologi. Di sisi lain, negara-negara penghasil energi fosil, seperti Rusia dan Arab Saudi, juga akan mengalami krisis ekonomi apabila dunia terlalu cepat beralih ke energi bersih. Negara-negara G-20 merupakan penghasil 80 persen karbon global.
”Pada pertemuan G-20 ini, negara-negara maju juga dalam posisi agak sulit karena mereka banyak menghasilkan energi fosil yang dijual kepada negara berkembang atau memiliki pabrik di negara berkembang yang menghasilkan emisi tinggi,” kata ekonomi Bank Berenberg, Holger Schmieding.
Para pakar energi dan ekonomi meragukan apabila G-20 akan bisa menekan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Awal pekan ini, Arab Saudi, kartel minyak terbesar di OPEC sekaligus anggota G-20, mengumumkan target dekarbonisasi di tahun 2060. Selama 39 yang akan datang, mereka akan meningkatkan produksi minyak dan menggunakan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon untuk mengurangi emisi.
Pakar Ilmu Lingkungan dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, mengatakan, apabila ditelisik lebih mendalam, 55 persen karbon global berasal dari AS, China, Uni Eropa, dan India. ”Indonesia sebagai ketua G-20 bisa memprioritaskan mendekati AS dan UE karena mereka negara serta kawasan maju yang telah memiliki teknologi mumpuni untuk mengurangi karbon, terutama emisi per kapita,” tuturnya.
Pada saat yang sama, Indonesia juga harus mendekati China dan membangun kepercayaan. Bagaimanapun China juga merupakan negara berkembang. Presiden Xi Jinping, bulan September lalu, mengumumkan bahwa China menargetkan dekarbonisasi di tahun 2060. Mereka akan mencapai puncak emisi pada tahun 2025 dengan mengoptimalkan listrik serta energi dari batubara.
Menurut Mahawan, Indonesia bisa menggunakan contoh rencana jangka panjang yang telah diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Target ini berbeda dengan yang dikemukakan Indonesia di Kontribusi Determinasi Nasional (NDC) pasca Kesepakatan Paris 2015.
Di NDC, Indonesia berjanji menurunkan 29 persen emisi dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional per tahun 2030. Dalam rencana jangka panjang yang diserahkan kepada UNFCCC, Indonesia berjanji dekarbonisasi paling lambat di tahun 2060. Artinya, Indonesia tetap mengusahakan bisa mencapai nihil karbon sebelum tahun 2060.
”Puncak emisi Indonesia adalah tahun 2030 meskipun begitu di sektor kehutanan dan penggunaan lahan sudah minus menghasilkan karbon di tahun ini karena berbagai upaya rehabilitasi lahan,” kata Mahawan.
Ia menjelaskan, di negara-negara berkembang, sumber emisi adalah pembangkit listrik, transportasi, industri, dan sampah. Sambil mengembangkan metode dan teknologi untuk sektor-sektor itu, Indonesia bisa mengajukan kebijakan rehabilitasi lahan karena tanaman merupakan penyerap karbon yang paling efektif. (AFP/Reuters)