Janji Iklim China yang Minim Detail Menjelang COP26
Komitmen iklim China dinilai sejumlah pihak lebih penting daripada komitmen negara-negara lain. Sebab, China adalah salah satu negara pencemar terbesar di dunia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Beberapa hari menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim ke-26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021, China telah mengajukan rencana pengurangan emisi baru. Namun, rencana itu dinilai gagal memasukkan komitmen baru yang substansial untuk secara drastis mengurangi emisi karbon dalam waktu dekat.
Sebagai bagian dari Kesepakatan Paris 2015, semua negara sepakat memangkas emisi untuk membatasi kenaikan suhu Bumi. Negara-negara juga mengajukan rencana ambisius untuk memotong lebih lanjut tingkat emisi karbon setiap lima tahun. Beijing kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajukan rencana pengurangan emisi hingga mencapai netral karbon sebelum tahun 2060 dan memangkas intensitas emisi per unit dari total ekonomi yang dihasilkan hingga lebih dari 65 persen.
China berjanji untuk mencapai puncak emisi sebelum tahun 2030. Namun, negara itu tidak mengungkapkan ukuran puncak atau menetapkan batas absolut emisi. Menurut sejumlah pihak, itu diartikan secara mendasar China dapat terus meningkatkan emisinya hingga 2030.
Beijing menyatakan, pada 2030 pangsa bahan bakar nonfosil dalam konsumsi energi primer di China akan menjadi sekitar 25 persen. Ada juga komitmen baru untuk meningkatkan kapasitas tenaga angin dan tenaga surya. Namun, detail atas komitmen-komitmen itu masih minim—untuk tidak menyatakannya tidak ada—tentang bagaimana China akan mencapai tujuan iklimnya.
Komitmen baru China atas perubahan iklim itu hampir tidak berubah dari janji sebelumnya. Para pemerhati lingkungan mengatakan, China tidak cukup membatasi kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat celsius, sebagaimana diatur dalam Kesepakatan Paris. Banyak yang berharap agar China mengurangi emisi batubara dan puncak emisinya lebih awal dari tahun 2030.
Komitmen baru China atas perubahan iklim itu hampir tidak berubah dari janji sebelumnya.
Beijing diharapkan juga dapat mengurangi polusi dari industri berat, seperti semen, baja, dan aluminium selama lima tahun ke depan. ”Banyak penolakan dalam sistem (di China) untuk mencapai ambisi yang lebih tinggi sejalan dengan ambisi internasional,” kata Li Shuo, peneliti dari Greenpeace Asia. ”Jika kita menunggu hingga 2030, kurva (pengurangan emisi) antara 2030 dan 2060 sangat curam sehingga beberapa orang berpikir ini semacam fiksi ilmiah.”
Komitmen dari China dinilai sejumlah pihak lebih penting daripada komitmen negara-negara lain. Hal itu mengingat China sebagai negara pencemar terbesar di dunia. China dinilai bertanggung jawab atas lebih dari seperempat emisi gas rumah kaca dunia yang terkait pemanasan global. Saat ini, China mengoperasikan 1.058 pembangkit listrik tenaga batubara, lebih dari setengah kapasitas dunia. Ironisnya, pembangkit listrik batubara terus dibangun di China.
Utusan AS untuk Urusan Iklim, John Kerry memperingatkan pada kunjungan baru-baru ini ke China soal berlanjutnya pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara. Di mata Kerry, satu-satunya sumber polusi karbon terbesar itu dapat membatalkan peluang pemenuhan target lingkungan secara global. China harus benar-benar memeras keringat untuk melepaskan diri dari batubara, sumber energi yang menopang hampir 60 persen ekonominya.
Sejauh ini, target 80 persen ekonomi China ditopang sumber energi terbarukan pada 2060 dihadang sejumlah tantangan. Masalah transmisi dan penyimpanan serta berkurangnya pasokan bahan baku untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya memperlambat investasi energi terbarukan. Penggunaan nuklir sebagai sumber energi listrik juga menjadi perdebatan karena terkait isu keamanannya.
Dua sumber di China menyebutkan, Pemerintah China menunda pengajuan janji iklim mereka. Langkah itu terpaksa dilakukan setelah krisis listrik parah yang menyebabkan produksi batubara meningkat di negara itu, kondisi yang terjadi juga di beberapa negara lain. ”Mereka menyimpan (rencana itu) hingga menit terakhir sehingga dapat mempertimbangkan prioritas domestik China tanpa mengikis citra internasionalnya,” kata Li dari Greenpeace.
Beijing telah berkomitmen menghentikan pendanaan proyek batubara di luar negeri. China juga akan mulai memangkas produksi batubara di dalam negeri pada 2026. Merujuk dokumen PBB, China pun berencana memperluas cakupan hutan menjadi 6 miliar meter kubik sebagai penyerap karbon, naik dari 4,5 miliar meter kubik. Namun, menurut ahli konservasi, Zhou Jinfeng, hutan buatan yang ditanam dengan tergesa-gesa untuk memenuhi target resmi itu dapat mengikis keanekaragaman hayati China.
Utusan China untuk UIrusan Iklim China, Xie Zhenhua, pada pekan ini mengatakan, China sengaja menunggu perkembangan terbaru, termasuk janji-janji dari negara-negara besar lain, sebelum mengumumkan rencana iklimnya. Beijing telah memperingatkan Washington bahwa kerja sama dalam masalah iklim bisa saja terdampak penurunan hubungan kedua negara. Beijing juga mengkritik negara-negara kaya karena memberikan dana yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang agar beradaptasi dengan perubahan iklim. Presiden Xi Jinping pun kemungkinan besar memilih tidak hadir di Glasgow. (AFP)