Terjemahan ”Anak Muda dan Kemarahan terhadap Krisis Iklim” ke dalam bahasa Helong, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Berbicara mengenai gerakan anak muda mendesak masyarakat global melakukan aksi drastis untuk mitigasi perubahan iklim, mungkin yang tebersit pertama kali di pikiran adalah wajah Greta Thunberg (18). Ia remaja Swedia pegiat lingkungan hidup yang terkenal membentak para pemimpin dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di New York, AS, 23 September 2019.
Tindakan dia, umumnya oleh orang dewasa yang konservatif, dianggap kurang ajar karena tidak menghormati bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat. Greta tak sendirian. Anak- anak muda global telah bangkit dan menagih komitmen kita semua untuk menyelamatkan Bumi dari kehancuran.
Pada tanggal 30 Oktober-12 November, KTT ke-26 mengenai perubahan iklim atau COP 26 akan dilangsungkan di Glasgow, Skotlandia. Topiknya penting, yaitu mencari cara menurunkan suhu Bumi sebanyak 2 derajat celsius. Alasannya karena apabila suhu Bumi naik 1,5 derajat celcius saja dalam lima tahun, dunia yang kita kenal akan mengalami kerusakan permanen yang tidak akan bisa diperbaiki.
Kutub-kutub es dan gletser akan mencair akibat pemanasan global. Dampak berantainya adalah tenggelamnya pulau-pulau dan kota-kota pesisir, meningkatnya suhu air laut yang memunahkan biota bahari, kekeringan lahan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan, serta gagal panen. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam analisanya memperkirakan pada tahun 2050 akan ada 255 juta penduduk Bumi terpaksa bermigrasi akibat tempat tinggal mereka tidak lagi layak huni karena terkena berbagai bencana alam dan tidak menghasilkan pangan.
Jika kita berbicara 30 tahun ke depan, mereka yang berada di pusaran adalah orang-orang yang pada tahun 2021 masih berusia anak dan remaja. Melihat masa depan yang begitu suram, bahkan mengerikan ini, wajar saja generasi muda marah. Mereka frustrasi kepada pemerintah, korporasi, dan komunitas tentang tidak maksimalnya upaya menangani krisis iklim. Masalahnya memang berkelindan, mulai dari soal pengurangan emisi hingga pengelolaan sampah. Tanpa ada upaya yang masif, generasi muda melihat hidup mereka di masa depan akan terdiri dari rentetan bencana.
Hari Minggu (24/10/2021), Youtube Original menayangkan perdana program Dear Earth. Isinya adalah pesohor-pesohor muda, antara lain Jaden Smith, Billie Eilish, Tinashe, dan Blackpink. Grup musik dari Korea Selatan ini juga didapuk sebagai Duta COP 26. Bersama-sama, mereka mengutarakan pesan untuk selalu menjaga Bumi dan memperbaiki keadaan agar tidak memburuk lebih lanjut.
Namun, aksi nyata ada di lapangan. Anak-anak muda angkat bicara dan kian berani menuntut hak mereka atas masa depan yang aman dari ancaman bencana maupun konflik. Protes-protes dilakukan di berbagai penjuru dunia. Pesertanya bukan hanya mahasiswa, melainkan pelajar SMP dan SMA. Simpul terbesar yang harus diurai adalah permasalahan krisis iklim.
“Saya ingin pemerintah tegas mengatasi krisis iklim. Sekarang anak muda bangkit dan kami akan memakai kekuatan suara dan hak pilih untuk memilih atau melengserkan pejabat yang duduk di tampuk kekuasaan tetapi tidak mau melakukan apapun. Masa depan kami dipertaruhkan,” kata Suzhong Wu (14) kepada The Sydney Morning Herald.
Pelajar itu adalah koordinator gerakan anak muda dari Melbourne, Australia, yang mengikuti unjuk rasa virtual School Strike 4 Climate. Isinya adalah 10.000 pelajar dan mahasiswa Australia yang menggelar protes kepada pemerintah dan industri pada pertengahan Oktober ini. Pada tahun 2019, gerakan yang sama juga berunjuk rasa di Sydney. Tidak tanggung-tanggung, 80.000 pelajar turun.
Frustrasi
Pekan lalu, Universitas Bath di Inggris merilis hasil survei terhadap 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun dari 10 negara. Makalah itu dimuat dalam jurnal ilmiah Lancet yang mengungkapkan bahwa anak-anak muda, terutama dari negara berkembang, frustrasi dengan krisis iklim yang mereka alami secara langsung.
Responden dari Brasil, Filipina, Nigeria, India, dan Australia mengatakan, mereka pernah mengalami bencana alam seperti banjir, kemarau parah, dan kebakaran hutan serta lahan. Selain trauma, rentetan bencana ini juga menurunkan kualitas hidup mereka karena mengakibatkan kemiskinan.
Demikian pula dengan hasil survei Program Pembangunan PBB (UNDP) terhadap 689.000 responden dari 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G-20. Setengah dari responden berusia di bawah 18 tahun. Mereka berpendapat, krisis iklim adalah kekhawatiran terbesar mereka. Jangankan bersekolah dan mengejar cita-cita. Hal itu tidak akan bisa dilakukan apabila tempat tinggal mereka terus dilanda bencana.
Dari survei itu pula terungkap bahwa anak-anak muda sangat perhatian terhadap isu rehabilitasi lingkungan, misalnya reboisasi, deforestasi, dan berbagai inisiatif hijau. Salah satu respons dari opini anak muda ini adalah gerakan Clothing4Climate di Kanada.
Mereka melakukan gerakan berbasis data bahwa 8-10 persen emisi dihasilkan oleh industri pakaian. Oleh sebab itu, anak-anak muda mulai memperhatikan asal-usul pakaian yang mereka pakai, apakah merek dan pabrik pembuatnya menerapkan mitigasi lingkungan serta keadilan terhadap pekerjanya. Selain itu, anak-anak muda juga diajak agar tidak konsumtif terhadap pakaian sehingga tidak berakhir di pembuangan sampah.
“Harus ada tindakan drastis mulai dari skala internasional hingga daerah masing-masing. Kami tidak mau miskin akibat bencana alam. Sektor pertanian dan industri harus segera beradaptasi dengan metode yang ramah lingkungan,” kata Dorothy Kazombo Mwale, Perwakilan Pemuda Advokasi Keadilan Malawi, kepada harian The Maravi Post. Pemuda di Malawi melakukan unjuk rasa mengingatkan komitmen negara-negara maju untuk mengucurkan hibah mitigasi krisis iklim sebesar 100 miliar dollar AS.
Generasi muda di setiap zaman akan terus melawan. Setiap aturan yang keluar akan selalu disambut dengan berbagai reaksi kritis dan skeptis. Di zaman ini, generasi muda global bersatu melawan musuh yang sama dan mutlak, yaitu bencana akibat ketiadaan mitigasi perubahan iklim.