Kerja sama dengan Indonesia memungkinkan AS menjalankan agendanya di kawasan. Keinginan AS memasok persenjataan ke Indonesia adalah cara mendukung kepemimpinan Indonesia di kawasan.
Oleh
kris mada, luki aulia, fx laksana as
·4 menit baca
Kehadiran misi diplomatik Amerika Serikat di Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia, tepat 200 tahun pada November 2021. Diwarnai pasang surut, hubungan kedua negara terus berkembang pada berbagai sektor.
”Saya baru melewati tahun pertama sebagai duta besar untuk Indonesia. Saya pikir ini waktu tepat untuk merenungkan apa saja yang sudah dilalui dan mungkin dikembangkan,” kata Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Yong Kim pada pertengahan Oktober 2021.
Salah satu yang merisaukan Sung adalah volume perdagangan barang Indonesia-AS tidak sampai 30 miliar dollar AS per tahun. Padahal, produk domestik bruto kedua (PDB) negara hampir 23 triliun dollar AS. ”Nilai ini tidak mencerminkan ukuran dan potensi ekonomi kedua negara,” katanya.
Kerisauan Sung wajar terutama bila mengingat status Indonesia sebagai pemilik PDB terbesar di Asia Tenggara. Sementara volume perdagangan AS dengan beberapa negara Asia Tenggara jauh di atas Indonesia.
Volume perdagangan AS dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura berturut-turut 52,3 miliar dollar AS, 52,4 miliar dollar AS, 92 miliar dollar AS, dan 93,7 miliar dollar AS. Sementara dengan Indonesia, nilainya hanya 27,6 miliar dollar AS. Jika ditambah transaksi jasa, nilainya hanya 31,5 miliar dollar AS. Nilai itu tidak sampai 0,5 persen dari akumulasi PDB kedua negara.
Karena itu, salah satu fokus Sung adalah mendorong peningkatan investasi dan perdagangan AS-Indonesia. ”Malaysia, Vietnam menarik investasi (AS). Saya tidak melihat alasan investasi itu tidak bisa ke Indonesia. Saya ingin bekerja sama dengan teman-teman di Indonesia (untuk) menghadirkan iklim investasi yang ramah yang membuat perusahaan AS mempertimbangkan investasi di sini,” katanya.
Kini, hubungan ekonomi Indonesia-AS berada dalam koridor Kesepakatan Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) yang diteken pada 1996. Indonesia juga mendapat pembebasan bea masuk impor melalui fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Pada November 2020, Washington setuju memperpanjang GSP bagi Indonesia.
Bagi perusahaan AS, menurut Sung, tantangan berbisnis di Indonesia adalah soal transparansi dan inkonsistensi peraturan. Bagi pebisnis, konsistensi amat penting agar potensi risiko investasi dapat dihitung secara cermat.
Sung menyebut, Kepala Kebijakan Perdagangan AS Katherine Tai dan Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi akan segera berunding. Mereka dijadwalkan membahas perjanjian dagang dan investasi baru Indonesia-AS. Sejak 2020, Jakarta memang sudah menyodorkan perluasan perjanjian dagang Indonesia-AS.
Mitra penting
Sung tidak menampik, ada keraguan soal komitmen AS kepada Indonesia. ”Saya menjamin, posisi Indonesia dalam kebijakan luar negeri AS sangat penting,” ujarnya.
Dasar keyakinan itu, antara lain, karena ia terlibat dalam penyusunan kebijakan luar negeri AS. Ia ditugasi memimpin bagian yang menyusun kebijakan AS di Pasifik. Selain menjadi Dubes AS untuk Indonesia, Sung pernah menjadi Asisten Menteri Luar Negeri AS bidang Asia Timur dan Pasifik. Ia juga ditugasi sebagai Utusan Khusus AS untuk Korea Utara.
Sejak masa pemerintahan Donald Trump dan berlanjut ke Joe Biden, ada kerisauan sejumlah pihak atas komitmen AS pada Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah Wakil Presiden AS Kamala Harris hanya melawat ke Singapura dan Vietnam pada Agustus 2021. ”Alasan pejabat tinggi tidak berkunjung karena Indonesia saat itu sedang di puncak pandemi,” kata Kim.
Pada Juli-Agustus 2021, kasus Covid-19 di Indonesia sedang melonjak tajam. Menurut Sung, sangat tidak patut jika rombongan besar Harris datang ke Indonesia yang tengah repot oleh urusan pandemi. Rombongan presiden dan wakil presiden AS memang sangat besar. Kala Wapres AS Mike Pence bertandang pada 2017, AS mengirimkan total 2 pesawat angkut berat C-17 Globemaster, satu pesawat Airforce Two, dan anggota rombongan lebih dari 200 orang.
Sung mengatakan, mustahil bagi AS tidak bermitra dengan Indonesia. Sebab, Indonesia adalah pemimpin faktual ASEAN. Kerja sama dengan Indonesia memungkinkan AS menjalankan agendanya di kawasan. Agenda itu, antara lain, mendorong kebebasan berlayar, penghormatan pada hukum dan nilai dasar internasional.
”AS sangat menyakini Indonesia sebagai pemimpin kawasan. Hal yang rasional bagi kami (adalah) bekerja sama dengan Indonesia untuk tujuan bersama di kawasan,” ujarnya.
Washington menyadari, Indonesia membutuhkan penguatan untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin kawasan. Karena itu, militer Indonesia-AS rutin berlatih bersama hingga ratusan kali setiap tahun.
AS juga ingin mendukung upaya Indonesia memodernisasi persenjataan. Jakarta-Washington masih terus berunding soal persenjataan yang akan dibeli Indonesia dari AS. Sung menolak menjelaskan perkembangan perundingan. Menurut dia, proses yang sedang berlangsung tidak patut untuk dikomentari atau diduga arahnya.
Ia hanya menyebut, keinginan AS memasok persenjataan ke Indonesia adalah cara mendukung kepemimpinan Indonesia di kawasan. ”Kami ingin mendukung Indonesia lebih kuat secara militer,” katanya.
Selain modernisasi persenjataan Indonesia, menurut Sung, dukungan AS pada kestabilan dan kedamaian kawasan diwujudkan, antara lain, lewat pembentukan AUKUS. Aliansi militer AS dengan Australia dan Inggris itu disebut sebagai solusi yang menguntungkan semua pihak. AUKUS juga disebut tidak akan menggantikan kerja sama dengan ASEAN, Indonesia, atau pihak lain di kawasan.