Pemerintah Amerika Serikat secara terbuka menentang keputusan Pemerintah Israel melanjutkan pembangunan permukiman warga Yahudi di wilayah pendudukan. Rencana Israel itu dikhawatirkan membuat situasi memanas kembali.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Amerika Serikat menentang dan mengkritik keras rencana Pemerintah Israel melanjutkan pembangunan permukiman warga Yahudi di daerah pendudukan. Berlanjutnya rencana pembangunan 1.355 unit rumah yang bisa berkembang menjadi sekitar 3.000 unit rumah itu tidak sejalan dengan upaya meredakan ketegangan antara Israel-Palestina dan lebih luas lagi kawasan Timur Tengah.
Departemen Luar Negeri AS, di bawah Presiden Joe Biden, telah berulang kali memperingatkan risiko yang akan muncul jika Pemerintah Israel tetap melanjutkan pembangunan permukiman warga Yahudi di wilayah pendudukan.
”Kami sangat prihatin dengan rencana Pemerintah Israel untuk melanjutkan pembangunan ribuan unit permukiman. Kami sangat menentang perluasan permukiman yang sama sekali tidak konsisten dengan upaya untuk menurunkan ketegangan dan untuk memastikan ketenangan. Dan itu merusak prospek solusi dua negara,” kata Juru Bicara Deplu AS Ned Price, Selasa (26/10/2021) waktu setempat atau Rabu (27/10/2021) dini hari WIB.
Price juga menyatakan, Pemerintah AS memandang legalisasi pos-pos keamanan terdepan militer Israel di Judea dan Samaria tidak dapat diterima. Menurut Price, keputusan Pemerintah Israel untuk melanjutkan kembali pembangunan permukiman membahayakan hubungan AS dengan Israel. Mengutip laman Jerussalem Post, kuasa usaha Pemerintah AS di Israel, Michael Ratney, tengah membicarakan hal ini dengan penasihat PM Israel, Shimrit Meir.
Rencana pembangunan permukiman warga Yahudi diumumkan Minggu (24/10/2021). Kementerian Permukiman Israel memulai proses lelang proyek pembangunan 1.355 unit rumah baru di wilayah Tepi Barat, yang bisa berkembang jumlahnya menjadi sekitar 3.000 unit. Wilayah pendudukan yang akan menjadi lokasi pengembangan di antaranya Ariel, Beit El, hingga Beitar Ilit, dan Hebron.
Sikap Pemerintah AS terhadap Israel berbeda antara Biden dan Donald Trump. Di bawah pemerintahan Trump dan mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, AS memberi lampu hijau semua aktivitas Israel di wilayah pendudukan. Mereka memandang pembangunan dan pengembangan permukiman di wilayah pendudukan bukan sebagai hal yang ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional.
Sementara sikap pemerintahan Biden cenderung lebih tegas terhadap Israel. Ini juga didukung oleh puluhan anggota parlemen yang berasal dari Partai Demokrat. Di Juni lalu, puluhan anggota Demokrat di parlemen mengirim surat terbuka ke Biden dan mendesaknya untuk secara konsisten dan proaktif mengeluarkan kecaman publik yang tegas terhadap setiap tindakan yang membahayakan proses perdamaian.
Aktivitas permukiman Israel adalah sumber perselisihan antara Israel dan Washington, selain pilihan kebijakan AS untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) yang dihentikan sepihak oleh Trump. Tindakan warga Israel yang dibantu oleh militernya merebut rumah penduduk Palestina di Sheikh Jarrah juga dipandang sebagai sumber api baru dalam konflik Palestina-Israel dan lebih luas di Timur Tengah.
Sejak Presiden Joe Biden menjabat pada Januari 2021, para pejabat AS telah menekankan bahwa mereka menentang perluasan lebih lanjut permukiman Yahudi. Seorang pejabat senior pemerintahan Biden mengatakan, Israel menyadari pandangan Pemerintah AS tentang perlunya menahan diri dari tindakan dinilai bisa mengganggu pencapaian solusi dua negara.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menunda mengumumkan pembangunan permukiman baru sejak menjabat pada Juni. Ia berusaha meredakan ketegangan dengan Washington.
Memanasnya kembali situasi juga tidak terlepas dari keputusan pemerintahan PM Bennet memasukkan enam organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) Palestina sebagai kelompok teroris. Enam organisasi itu adalah Al-Haq, Adameer, lembaga Defense for Children International-Palestine, The Bisan Center for Research and Development, The Union of Palestinian Women’s Committees, dan The Union of Agricultural Work Committees. Keenam organisasi itu dituding ikut mendanai organisasi Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP).
Keputusan Pemerintah Israel memasukkan enam organisasi kemanusiaan dan HAM sebagai organisasi teroris itu membuat marah komunitas aktivis di Israel. Dalam sebuah pernyataan bersama, Senin (25/10/2021), lebih dari 20 organisasi kemanusiaan dan HAM di Israel mengecam langkah itu dan menyebutnya sebagai kriminalisasi pada para pekerja HAM yang kritis.
Israel selama bertahun-tahun menuduh kelompok-kelompok itu memiliki hubungan dengan kelompok militan Palestina. Namun, saat Israel di bawah kendali Benjamin Netanyahu yang dipandang memiliki kebijakan keras terhadap Palestina justru tidak ada labelisasi kelompok teroris terhadap organisasi kemanusiaan dan para pekerja HAM Palestina.
Deklarasi itu membuka jalan bagi Pemerintah Israel untuk menyerbu kantor para aktivis, serta menyita aset dan menahan para pegawainya. Pemerintah Israel sewaktu-waktu bisa mengkriminalisasi setiap ekspresi publik yang mendukung kerja-kerja kemanusiaan.
Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, menyatakan, keputusan Pemerintah Israel melabeli kelompok pegiat HAM itu didasarkan pada alasan yang sangat kabur dan tidak berdasar. Bantuan kemanusiaan dan kerja-kerja para pegiat HAM bukanlah sebuah tindakan teror. Bantuan dan kerja yang dimaksud, misalnya, memberikan bantuan hukum pada warga Palestina yang ditahan dan mengorganisasi kegiatan untuk kelompok perempuan di Tepi Barat.
”Mengklaim hak di hadapan PBB atau badan internasional lainnya bukanlah tindakan terorisme. Mengadvokasi hak-hak perempuan di wilayah Palestina yang diduduki bukanlah terorisme. Dan memberikan bantuan hukum kepada warga Palestina yang ditahan bukanlah terorisme,” kata Bachelet, dikutip dari laman Kantor Komisi Tinggi HAM PBB. (AP/AFP/REUTERS)