PBB Tunjuk Sosiolog Singapura sebagai Utusan Khusus untuk Myanmar
PBB menunjuk sosiolog Singapura, Noeleen Heyzer, sebagai Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, menggantikan Christine Schraner Burgener. Penunjukan ini diharapkan membantu memberi titik terang penyelesaian krisis di Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, SELASA — Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, di New York, Amerika Serikat, Senin (25/10/2021) waktu setempat atau Selasa dini hari WIB, mengumumkan penunjukan Noeleen Heyzer dari Singapura sebagai Utusan Khusus PBB yang baru untuk Myanmar. Ia menggantikan diplomat asal Swiss, Christine Schraner Burgener.
Berlatar belakang sebagai seorang sosiolog, Heyzer adalah mantan Wakil Sekjen PBB yang pernah bekerja erat dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Pemerintah Myanmar, dan PBB dalam upaya pemulihan pascabencana topan Nargis. Ia juga memimpin dialog dengan para tokoh Myanmar tentang pembangunan dan pengurangan kemiskinan di negara itu.
Schraner Burgener, utusan khusus PBB sebelumnya, mengakhiri masa tugasnya pada Minggu (24/10/2021). Ia memegang tanggung jawab sebagai Utusan Khusus PBB untuk Myanmar selama tiga tahun terakhir. Bersamaan dengan masa tugas Burgener, demokrasi Myanmar mengalami kemunduran hingga berpuncak pada terjadinya kudeta militer terhadap pemerintahan sipil di negara itu.
Burgener dalam pesannya mendorong masyarakat internasional agar jangan sampai tunduk pada junta Myanmar. Menurut dia, penggantinya tidak membutuhkan nasihat khusus dari dirinya. ”Saya pikir Sekjen (PBB) pasti membuat keputusan yang tepat untuk memilih seseorang yang mengetahui kawasan itu, sosok yang tahu bagaimana menangani secara diplomatis,” kata Burgener.
Heyzer adalah anggota Dewan Penasihat Tingkat Tinggi Sekjen PBB untuk Mediasi. Dibentuk oleh Sekjen PBB pada 13 September 2017, dewan itu diharapkan mendorong peran diplomasi untuk perdamaian di dunia. Anggota dewan itu terdiri atas 18 orang, terbagi masing-masing 9 anggota perempuan dan 9 anggota laki-laki. Dewan itu diharapkan memungkinkan PBB untuk bekerja lebih efektif dengan organisasi regional, kelompok non-pemerintah, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam mediasi di seluruh dunia.
Ketidakmampuan kita untuk merespons secara memadai terhadap konflik yang kompleks dan berlarut-larut di seluruh dunia telah menyebabkan orang telantar dalam jumlah terbesar sejak Perang Dunia II.
Dalam laman resmi PBB, Heyzer menyatakan bahwa penekanan Sekjen PBB pada diplomasi preventif melalui penguatan mediasi merupakan hal yang sangat mendesak dan tepat waktu. ”Ketidakmampuan kita untuk merespons secara memadai terhadap konflik yang kompleks dan berlarut-larut di seluruh dunia telah menyebabkan orang telantar dalam jumlah terbesar sejak Perang Dunia II,” kata Heyzer.
”Komunitas internasional harus menemukan cara yang lebih baik untuk memanfaatkan jaringan diplomatik yang efektif, bekerja sama untuk mencegah perang, serta membangun masyarakat yang lebih adil dan lebih kohesif.”
Heyzer adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik dari 2007-2014. Di bawah kepemimpinannya, komisi itu berfokus pada kerja sama regional untuk Asia-Pasifik yang lebih tangguh, yang didasarkan pada kemakmuran bersama, kesetaraan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Pada 2013-2015, Heyzer mengampu jabatan sebagai Penasihat Khusus Sekjen PBB untuk Timor Leste, bekerja untuk mendukung pembangunan perdamaian, pembangunan negara, dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai Direktur Eksekutif Badan Dana Pembangunan PBB untuk Perempuan (UNIFEM) pada 1994-2007, Heyzer memainkan peran penting dalam perumusan dan implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Dia melakukan misi ekstensif ke negara-negara yang terkena dampak konflik di seluruh dunia. Misi itu melibatkan perempuan dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, pemuda, dan organisasi berbasis agama.
Penunjukan Heyzer diharapkan dapat membantu memberikan titik terang dan terobosan diplomatik di Myanmar. Militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu dengan dalih bahwa pemilihan umum yang dimenangi partai Suu Kyi pada November 2020 secara telak dirusak oleh kecurangan yang luas selama pemungutan suara. Hingga kini, militer tidak pernah mengajukan bukti-bukti atas klaim tersebut.
Kudeta militer itu pun memicu protes, pembangkangan sipil di seluruh wilayah Myanmar, hingga pemberontakan di sejumlah wilayah. Burgener menyebut serangan balik oleh junta terhadap aktivis dan warga sipil telah mengakibatkan tewasnya lebih dari 1.100 warga sipil Myanmar.
ASEAN telah menyerukan diakhirinya kekerasan, digelarnya dialog, dan dibukanya akses kunjungan bagi utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Namun, pemimpin junta menolak untuk mengizinkan pertemuan utusan khusus ASEAN dengan Suu Kyi sehingga kunjungan itu pun dibatalkan.
Dalam teguran paling keras terhadap pemimpin junta Myanmar, menteri-menteri luar negeri ASEAN tidak mengundang pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, ke pertemuan puncak ASEAN yang akan digelar 26-28 Oktober ini. (AP/AFP)