Moderna Jual Vaksin Covid-19 ke Uni Afrika di Tengah Kritik Kesenjangan Distribusi
Amerika Serikat relakan jatah pembelian vaksin Covid-19 produksi Moderna untuk dibeli Uni Afrika. Langkah itu diambil agar terjadi pemerataan akses terhadap vaksin.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
(PHOTO BY PHILL MAGAKOE / AFP)
Seorang warga Johannesburg, Afrika Selatan, menerima suntikan vaksin Covid-19 merek Johnson and Johnson di posko vaksin Transvaco pada Sabtu (25/8/2021).
WASHINGTON, SELASA — Perusahaan farmasi dari Amerika Serikat yang juga pembuat salah satu vaksin Covid-19, Moderna, menjual 110 juta dosis vaksin kepada Uni Afrika. Di luar penjualan ini, Moderna masih harus menunaikan janji mereka menyumbangkan 3 persen dari produksi vaksin untuk Covax, skema pembagian vaksin untuk negara-negara miskin dan berkembang yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akad jual beli itu dilakukan secara virtual pada Senin (25/10/2021) waktu AS atau Selasa (26/10) dini hari waktu Indonesia. Gedung Putih bertindak sebagai makelar transaksi ini. Sejatinya, dosis yang dibeli Uni Afrika ini merupakan jatah untuk AS. Akan tetapi, AS merelakan jatah itu untuk diberikan kepada negara-negara di Afrika. Harga yang dipatok oleh Moderna dalam transaksi itu juga setara dengan yang mereka berikan kepada Covax, yaitu termurah walaupun tidak ada bocoran jumlah persisnya.
”AS memberikan 33 juta dosis jatah untuk suntikan penguat (booster) demi memastikan saudara-saudara kita di Benua Afrika memperoleh vaksin Covid-19,” kata Wakil Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Gedung Putih Natalie Quillian.
Dari Uni Afrika, hadir Utusan Khusus Penanganan Covid-19 Strive Masiyiwa. Ia mengungkapkan, pembelian vaksin Moderna ini adalah kali kedua Uni Afrika melakukan transaksi untuk pengadaan vaksin Covid-19. Pada Maret 2021, Uni Afrika memesan 400 juta dosis vaksin dari Johnson and Johnson.
Masiyiwa memaparkan kesulitan Uni Afrika mencari vaksin. Pihaknya berusaha mengontak berbagai produsen vaksin Covid-19, tetapi umumnya enggan menjual kepada negara-negara di Benua Afrika. Padahal, di benua ini ada 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular Covid-19 dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dengan warga di negara-negara maju.
”Terima kasih AS mau merelakan jatahnya untuk Uni Afrika. Semoga ini menjadi teladan bagi negara-negara lain,” tutur Masiyiwa.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), baru 5 persen penduduk Benua Afrika menerima vaksin Covid-19 lengkap. Ketersediaan vaksin dan alat-alat kesehatan merupakan kendala utama karena di benua ini 95 persen obat-obatan dan peralatan medis diimpor.
Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus mengatakan, setiap bulan ada 1,5 miliar dosis vaksin Covid-19 yang diproduksi di seluruh dunia. ”Jadi, kesenjangan akses vaksin ini murni karena distribusi dan alokasi. Bukan karena produksi yang rendah atau terhambat,” ujarnya.
Permasalahan berikutnya ialah karena perusahaan-perusahaan farmasi pembuat vaksin Covid-19 banyak yang tidak mau menangguhkan hak paten. WHO terus meminta agar Moderna, Pfizer-BioNTech, AstraZeneca, Johnson and Johnson, dan lain-lain mau sementara mengesampingkan paten rumus serta teknologi pembuatan vaksin. Hal ini demi perusahaan-perusahaan farmasi di negara-negara berkembang bisa memakai rumus tersebut untuk memproduksi vaksin. Harapannya, ketersediaan vaksin di setiap negara tidak lagi mengandalkan impor.
Pelit
AP PHOTO/BIRAN INGANGA
Warga antre untuk menerima vaksin Covid-19 menggunakan vaksin AstraZeneca yang disumbangkan oleh Pemerintah Inggris di Makongeni Estate di Nairobi, Kenya, Sabtu (14/10/2021).
Organisasi nirlaba internasional, The People’s Vaccine, menerbitkan laporan pada September 2021 mengenai distribusi vaksin Covid-19 global. Kajian mereka mengungkapkan bahwa 49 persen vaksin buatan AstraZeneca, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Johnson and Johnson dijual ke negara-negara maju yang jumlah penduduknya hanya 16 persen dari penduduk global. Total dosis yang dibeli oleh negara-negara maju ini 15 kali lebih banyak daripada yang dibeli oleh Uni Afrika.
Lebih rinci, sembilan dari sepuluh vaksin buatan Moderna dijual ke negara-negara maju. Demikian juga dengan Pfizer, yakni delapan dari sepuluh vaksin Covid-19 produksi mereka. Mengingat negara-negara maju telah memvaksinasi lebih dari 60 persen penduduk mereka. Vaksin-vaksin ini digunakan sebagai dosis penguat.
Raksasa-raksasa farmasi ini juga dikategorikan pelit terkait komitmen hibah vaksin kepada Covax. Moderna hanya menjanjikan 3 persen produksinya atau 34 juta dosis untuk Covax dan belum satu dosis pun mereka sumbangkan. Sementara itu, Johnson and Johnson menjanjikan 25 persen produksi, dan AstraZeneca 19 persen.
Demikian pula dengan tujuh negara terkaya atau G-7 dan Uni Eropa. Mereka menjanjikan Covax menyumbang 1,8 miliar dosis vaksin. Sejauh ini, baru 14 persen dari dosis yang disepakati ini telah diberikan kepada Covax. The People’s Vaccine menghitung, di pertengahan tahun 2022 akan ada 800 juta dosis vaksin Covid-19 yang kedaluwarsa di negara-negara G-7. Jika vaksin ini tidak segera disumbangkan ke negara yang membutuhkan, akan menjadi mubazir.
”Kita harus menargetkan memvaksinasi lengkap 70 persen penduduk dunia pada pertengahan 2022. Jangan egois dan menumpuk vaksin,” kata Gebreyesus. (AP/REUTERS)