Arab Saudi Target Dekarbonisasi Tahun 2060 Sambil Genjot Produksi Minyak
Saat mencanangkan target dekarbonisasi tahun 2060, Arab Saudi juga menyatakan tidak akan langsung menghentikan produksi dan pemakaian bahan bakar fosil. Negara itu akan menerapkan sejumlah teknologi pengurangan emisi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
RIYADH, MINGGU — Negara eksportir minyak terbesar di dunia, Arab Saudi, menyatakan hendak mencapai target nihil emisi karbon pada tahun 2060. Target ini lebih lama dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang hendak mencapai dekarbonisasi per 2050. Selain itu, Riyadh juga mengatakan tidak akan langsung menghentikan produksi dan pemakaian bahan bakar fosil, tetapi akan menerapkan sejumlah teknologi pengurangan emisi.
”Dalam prosesnya, kita tetap harus menjaga keseimbangan dan kestabilan pasar minyak global. Jadi, target dekarbonisasi ini dilakukan bertahap. Target pertama ialah mengurangi emisi per 2030 sebanyak dua kali lipat dari target yang kami nyatakan sebelumnya,” kata Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman di Riyadh, Sabtu (23/10/2021).
Arab Saudi memiliki 17 persen cadangan minyak dunia dan merupakan pemasok 10 persen minyak global. Pada tahun 2016 negara itu meluncurkan Visi Arab Saudi 2030 yang di dalamnya mencakup ketahanan energi dengan mengembangkan energi hijau yang ramah lingkungan.
Dalam wawancara dengan media Al Arabiya, Pangeran Mohammed mengatakan bahwa dulu Saudi menargetkan bisa mengurangi 130 juta ton karbon dioksida (CO2) setiap tahun per 2030. Sekarang target barunya adalah mengurangi 278 juta ton CO2 per tahun. Program ini masuk ke dalam Inisiatif Saudi Hijau (SGI).
”Selain itu, kami juga akan menanam 450 juta pohon, merehabilitasi 8 juta hektar lahan, dan menambah cakupan wilayah lindung menjadi 20 persen dari total area Arab Saudi,” tutur Putra Mahkota, yang juga populer dengan panggilan MBS.
Pangeran Mohammed mengungkapkan, Pemerintah Arab Saudi akan mengucurkan investasi sebesar 186,7 miliar dollar AS untuk upaya pengurangan emisi. Ia mematok capaian pada tahun 2030, setidaknya 30 persen kendaraan bermotor di wilayah kerajaannya harus berbasis listrik.
Akan ada investasi sebesar 5 miliar dollar AS untuk pembangunan turbin angin dan pembangkit listrik bertenaga hidrogen sebagai pemasok energi untuk masyarakat. Di samping itu, Saudi berniat membangun pusat kajian terpadu teknologi iklim untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengutarakan bahwa negaranya tidak akan langsung memotong produksi minyak dan gas bumi. Bahkan, Arab Saudi menargetkan menggenjot produksi sebelum mulai menguranginya per tahun 2030.
”Kami memercayai dengan teknologi penangkapan CO2 dan pengembangan energi hidrogen bisa menjaga produksi tetap stabil sambil menjaga emisi yang dilepas ke alam ditekan semaksimal mungkin,” ucapnya.
Ucapan itu didukung oleh Direktur Utama Aramco Amen Nasser. Aramco adalah badan usaha milik Kerajaan Arab Saudi dan penghasil pendapatan utama negara tersebut. Nasser mengatakan, tidak ada gunanya menempatkan bahan bakar fosil sebagai unsur jahat dalam penanganan krisis iklim.
”Ini justru diskriminatif dan kontraproduktif karena bagi sebagian besar masyarakat dunia, bahan bakar fosil adalah energi yang paling mudah mereka akses. Harus ada investasi global untuk menjamin ketersediaan minyak mentah bagi masyarakat sekaligus mengembangkan alternatif energi terbarukan,” ujar Nasser.
Pengumuman Arab Saudi ini disambut baik oleh sejumlah pihak, seperti Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Pada akhir November akan diselenggarakan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 26) di Glasgow, Skotlandia.
Paradoks
Inisiatif pengurangan emisi ini dinilai belum cukup oleh Climate Action Tracker, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang mitigasi perubahan iklim. Bumi sudah makin memanas dan jika bertambah 1,5 derajat celsius saja akan terjadi kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki.
Pemanasan global akan mengakibatkan banjir besar. Di berbagai belahan Bumi akan terjadi kekeringan masif. Gagal panen, punahnya biota laut, serta habisnya keanekaragaman hayati akan menimbulkan bencana kelaparan besar.
Berdasarkan perhitungan PBB, pada tahun 2050, jika masalah perubahan iklim tidak segera ditangani, sebanyak 255 juta penduduk Bumi akan menjadi migran akibat tempat tinggal mereka tidak layak huni. Oleh sebab itu, butuh langkah drastis dalam pengurangan emisi karbon.
Negara-negara maju menyepakati dekarbonisasi per 2050. Akan tetapi, negara-negara berkembang, seperti China, India, dan Indonesia, mengutarakan keberatan dengan target tersebut. Negara berkembang meminta target yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing, umumnya merencanakan dekarbonisasi per 2060 atau di atasnya. Sebelum 2060, negara berkembang berniat mengoptimalkan produksi energinya.
Sejumlah pihak mengatakan, harus ada jaminan agar negara berkembang mau mengembangkan teknologi hijau. PBB menyebutkan, baru 10 persen dari total energi dunia yang dihasilkan oleh tenaga matahari maupun angin.
Bagi negara berkembang, konsep energi hijau ini masih menuai pro dan kontra karena teknologi yang diperlukan untuk membangunnya jarang tersedia dan mahal. Di Indonesia, pemerintah meminta guna mempercepat dekarbonisasi, negara-negara maju hendaknya membeli karbon yang telah diserap melalui berbagai program reboisasi.
Bahkan, di Uni Eropa sendiri ada kecenderungan kembali beralih kepada energi batubara. Hal ini karena berbagai persoalan geopolitik membuat jalur pipa gas alam ataupun energi terbarukan sukar dikembangkan secara cepat dan masif. (AP/REUTERS)