Alexandria, kota yang dibangun di era Alexander Agung, telah berkembang menjadi kosmopolitan dengan aneka rupa corak arsitektur. Kota pantai yang berada di tepi Laut Tengah itu menjadi salah satu ikon pariwisata di Mesir
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Alexandria, Mesir
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISCA ROMANA NINIK
Pemandangan kota Alexandria, Mesir, di tepi Laut Mediterania. Foto diambil pada, 16 Februari 2010.
Menyebut kota Alexandria (sekitar 220 kilometer ke arah barat laut kota Kairo), ingatan langsung terpatri pada sebuah kota pantai yang cantik dengan pemandangan Laut Tengah. Kota itu memang identik dengan kota pantai.Kota Alexandria bukanlah sekadar kota pantai. Alexandria adalah kota yang sangat kaya dengan peninggalan sejarah dan beragam bangunan dengan corak arsitektur yang khas. Jejak panjang sejarah kota Alexandria mengantarkannya sebagai mercusuar keberagaman dan pencerahan. Alexandria adalah kosmopolitan dengan beragam budaya yang jejaknya masih terlihat sampai saat ini.
Pada Minggu (10/10/2021), ketika berkesempatan mengunjungi kota eksotis itu, sejumlah ikon Alexandria menghantar ingatan menerawang jauh hingga 2.000 tahun lalu. Ikon kota Alexandria itu di antaranya adalah gedung perpustakaan Alexandria, gedung-gedung di distrik Ramleh dan Manshiya yang berada di pusat kota, Masjid Morsi Abul-Abbas, serta taman rekreasi Montazah.
Kota Alexandria didirikan oleh Alexander Agung pada 332 SM yang kemudian menjadi ibu kota dinasti Helinistik di Mesir. Dinasti itu berada di Mesir selama sekitar 1.000 tahun. Warga Yunani mulai berdatangan ke negeri Mesir pada tahun 332 SM, bersamaan dengan invasi Alexander Agung ke negeri itu pada tahun itu pula. Seiring dengan itu, Alexander Agung mendirikan kota Alexandria yang kemudian dideklarasikan sebagai ibu kota Mesir.
Komunitas Yunani dalam jumlah cukup besar mendiami kota Alexandria pada tahun 323 SM, yakni saat wafatnya Alexander Agung. Sepeninggal Alexander Agung, Alexandria dipimpin oleh Raja Ptolemaic.
Di era Ptolemaic, Dinasti Helinistik disebut-sebut mememasuki era keemasan. Salah satu peninggalan monumental era keemasan Helinistik di Mesir adalah perpustakaan Alexandria yang didirikan pada 285-246 SM.
KOMPAS/FRANSISCA ROMANA NINIK
Pemandangan di luar gedung Bibliotheca Alexandrina di kota Alexandria, Mesir. Foto diambil pada 15 Februari 2010.
Kehadiran perpustakaan itu membuat Alexandira berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Bangunan perpustakaan Alexandria yang ada saat ini adalah hasil restorasi yang disponsori oleh Perancis, UNESCO, dan Pemerintah Mesir. Restorasi itu rampung pada tahun 2002. Kini perpustakaan Alexandria dibuka untuk umum, mulai pukul 09.30 sampai 15.30. Pada hari Jumat, perpustakaan tutup.
Pada abad ke-18 dan ke-19, komunitas Yunani di Mesir mencapai 400.000 orang. Sebanyak 200.000 di antaranya tinggal di kota Alexandria.
Pada tahun 1843, asosiasi komunitas Yunani dibentuk di kota Alexandria dengan misi memberi pelayanan kepada komunitas Yunani di kota tersebut dan kota lain di Mesir, serta memberi kontribusi pada pembangunan di Mesir.
Asosiasi komunitas Yunani tersebut berandil dalam membangun rumah sakit Yunani dan sekolah-sekolah Yunani di kota Alexandria. Hingga saat ini layanan itu menjadi idola warga kota Alexandria.
Di kancah seni, banyak artis berdarah Yunani cukup populer di Mesir, seperti Jani Christou, Jean Desses, Maria Giatra Lemau, Nelly Mazloum, dan Nikos Tsiforos. Ada pula pelukis berdarah Yunani yang terkenal di Mesir, seperti Konstantinos Parthenis, dan penulis terkenal berdarah Yunani, seperti Penelope Deltam.
Banyak juga warga Yunani yang berprofesi sebagai pengusaha. Mereka ikut andil mendirikan Bank of Alexandria pada tahun 1877 yang merupakan bank terbesar di kota Alexandria sampai saat ini. Warga Yunani menjadi salah satu orang terkaya di kota Alexandria, yaitu keluarga Emmanuel Zervudachi.
Hotel The San Giovanni yang merupakan salah satu hotel populer di kota Alexandria dibangun oleh pengusaha berdarah Yunani, San Giovanni, pada tahun 1939.
Pada era modern ini, kota Alexandria menjelma menjadi kota kosmopolitan seiring dengan kehadiran warga asing, selain warga Yunani. Mereka yang berminat tinggal di kota Alexandria itu datang dari Italia, Inggris, Perancis, Turki, dan warga Yahudi.
Andil warga asal Italia dalam pembangunan kota Alexandria merupakan yang terbesar kedua setelah warga Yunani. Bahkan, ada yang menyebut, kota modern Alexandria dibangun oleh warga Italia. Hal itu ditandai dengan dominasi arsitektur khas Italia pada gedung-gedung di Alexandria.
Diundang
Warga Italia berdatangan ke kota Alexandria mulai awal abad ke-19 atas undangan penguasa Mesir saat itu, Mohammed Ali Pasha (1805-1848). Ali Pasha dikenal sebagai bapak modern Mesir.
KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Pemandangan distrik Ramleh yang merupakan pusat bisnis di kota Alexandria pada hari Minggu 10 Oktober 2021. Distrik ini dibangun oleh arsitek Italia pada abad ke-19.
Warga Italia semakin banyak datang ke kota Alexandria untuk membangun kembali kota tersebut setelah hancur akibat dibombardir oleh Inggris pada tahun 1882. Tak heran jika kemudian arsitektur Italia mendominasi gedung-gedung di pusat kota Alexandriai. Gedung-gedung dengan arsitektur Italia itu banyak ditemukan di distrik Manshiya dan Mahattah al-Ramleh yang menjadi pusat bisnis di kota Alexandria.
Beberapa masjid di kota Alexandria juga dibangun oleh arsitek Italia. Arsitek asal Italia, Mario Rossi (1897-1961), membangun Masjid Al-Morsi Abul-Abbas, Masjid Al-Qaed Ibrahim, dan Masjid Al-Shatbi di kota Alexandria.
Arsitek asal Italia, Ernesto Verucci Bey, membangun taman Montaza di mana terdapat istana Raja Fuad dan kini menjadi salah satu pusat rekreasi di kota Alexandria. Verucci Bey juga menjadi arsitek untuk renovasi istana Raja Fuad dan istana Ras al-Tin, di kota Alexandria.
Bangunan lain yang dibangun oleh arsitek Italia adalah Hotel The Cecil yang legendaris. Hotel di pusat kota Alexandria itu dibangun oleh Giacomo Alessandro Loria pada tahun 1929. Restoran The Santa Lucia yang dibangun pada tahun 1932 di kota Alexandria adalah milik warga Italia yang kemudian dijual kepada pengusaha Yunani, Benayuti, yang saat itu menjabat ketua asosiasi komunitas Yunani di kota Alexandria.
KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Pemandangan distrik Ramleh, pusat bisnis di kota Alexandria. Foto diambil pada Minggu (10/10/2021).
Setelah tahun 1952, saat Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menerapkan kebijakan nasionalisasi, kebijakan itu sangat berdampak pada komunitas Yunani dan warga asing di Mesir. Banyak perusahaan dan properti milik warga Yunani, Italia, dan asing lainnya diambil alih pemerintah.
Saat itu, setelah banyak aset mereka diambil alih, banyak warga Yunani terpaksa meninggalkan kota Alexandria. Mereka kembali ke Yunani atau berimigrasi ke negara lain. Saat ini hanya sisa sekitar 5.000 warga Yunani yang masih bertahan di Alexandria.
Meski demikian, nadi Alexandria tak pernah berhenti berdenyut. Pusat bisnis Manshiya kini selalu hiruk pikuk dengan aktivitas bisnis siangmalam dan menjadi distrik paling dibuka di kota Alexandria saat ini.
”Saya sangat senang Anda membeli dagangan saya hari ini,” ujar Walid (35), pedagang kaki lima di distrik bisnis Manshiya yang dibangun arsitek Italia pada abad ke-19. Ia antusias setelah beberapa kotak kertas tisu dibeli pengunjung. Harga lima kotak kertas tisu hanya 10 pound Mesir atau sekitar Rp 9.000.
”Saya bekerja sama dengan pabrik kertas tisu. Saya hanya menjualkan saja produk kertas tisu dari pabrik tersebut dengan sistem komisi kalau memenuhi target penjualan per harinya. Minimal saya harus bisa menjual 15 kotak kertas tisu per hari untuk bisa mendapat komisi,” tutur Walid.