Sejumlah pihak khawatir, keputusan Mahkamah Konstitusi Polandia soal proses pengangkatan hakim di negara itu bisa mengancam keutuhan UE. Sebab, selama ini kepatuhan pada hukum UE menjadi salah satu perekat kawasan itu.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
BRUSSELS, JUMAT — Pertemuan para kepala pemerintahan negara-negara anggota Uni Eropa di Brussels, Belgia, pada Kamis (21/10/2021) kembali diwarnai keterbelahan. Kali ini, salah satu masalahnya adalah Polandia.
Kekisruhan kali ini bermula dari keputusan Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki mengajukan permohonan fatwa kepada Mahkamah Konstitusi (MK) Polandia. Morawiecki memohon pendapat MK Polandia soal proses pengangkatan hakim di negara itu.
Menurut Mahkamah Eropa (ECJ), satu dari tujuh organ utama Uni Eropa, proses pemilihan hakim Polandia tidak sesuai dengan hukum UE. ECJ mengingatkan Warsawa bahwa hukum UE lebih tinggi dari hukum nasional anggotanya. Morawiecki menentang hal itu dan MK Polandia setuju dengan penolakan Morawiecki.
Dalam keputusan pada awal Oktober 2021, MK Polandia menyebut sejumlah pasal dari traktat pembentuk UE tidak sesuai dengan konstitusi Polandia. Karena itu, pasal-pasal tersebut tidak dapat dipakai di Polandia.
”Saya yakin Polandia sudah keterlaluan. Keputusan pengadilan Polandia sudah kelewatan dan tidak dapat disandingkan dengan keputusan mana pun yang pernah dibuat oleh pengadilan nasional negara anggota lainnya,” kata PM Irlandia Micheál Martin di sela-sela pertemuan di Brussels.
PM Belanda Mark Rutte malah berkomentar lebih keras. Ia mengingatkan status Polandia sebagai penerima subsidi terbesar UE. Brussels diminta menunda pencairan subsidi 36 miliar euro kepada Polandia. ”Kita harus keras,” katanya.
Sejak lama, Rutte mempertanyakan independensi sistem peradilan Polandia. Di MK Polandia kini ada sejumlah mantan politisi dan sebagian hakimnya pendukung pemerintah. ”Soal kebebasan peradilan Polandia harus dibahas dan diselesaikan. Ini masalah mendasar bagi demokrasi, tidak bisa dirundingkan,” ujarnya.
Sementara PM Luksemburg Xavier Bettel mengatakan, jangan sampai ada anggota UE merasa lebih tinggi dibandingkan dengan anggota lainnya. Sayangnya, keputusan MK Polandia bisa menciptakan kesan itu. Keputusan tersebut bisa menyebabkan ketidaksetaraan di antara warga UE.
Adapun PM Belgia Alexander de Croo lebih lunak dari Rutte. Ia mendorong masalah itu diselesaikan melalui dialog. ”Sangat disayangkan kita harus membahas masalah yang menguras energi itu. Padahal, seharusnya kita bisa membahas masalah lain,” ujarnya.
Meski demikian, ia sepakat dengan Rutte dan Bettel bahwa keputusan MK Polandia menyentuh masalah mendasar di UE. Keputusan MK Polandia, menurut De Croo, bisa menciptakan ketidaksetaraan di antara warga UE. Padahal, kesetaraan salah satu modal kesejahteraan yang kini dinikmati anggota UE, termasuk Polandia.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen juga mengindikasikan organisasi itu akan bersikap keras. ”Kami tegas soal kepatuhan pada hukum. Kita punya perangkat yang dapat digunakan. Meski demikian, kita harus berkomitmen pada dialog,” kata Michel.
Sikap lebih keras ditunjukkan Von der Leyen. Menjelang pertemuan Kamis, ia mengindasikan UE akan membekukan subsidi kepada Polandia. Di UE memang ada mekanisme sanksi anggaran bagi anggota yang dianggap tidak patuh pada aturan UE. ”Kita tidak bisa membiarkan prinsip bersama terancam,” kata Von der Leyen.
Sanksi anggaran seperti itu belum pernah dipakai UE. Jika jadi digunakan, prosesnya membutuhkan paling tidak sembilan bulan sebelum sanksi mulai diterapkan.
Sikap Warsawa
Morawiecki menuding ancaman tersebut sebagai pemaksaan dan pemerasan. Ia bertekad melawan tekanan itu. ”Polandia tidak akan terintimidasi,” katanya seraya mengatakan siap berdialog.
Pendukungnya antara lain PM Hongaria Viktor Orban. Seperti Polandia, Hongaria juga termasuk penerima subsidi besar dari UE. Sementara Belanda, Belgia, dan Luksemburg termasuk anggota UE yang iurannya lebih besar dibandingkan dengan subsidi.
Orban menyebut, Hongaria mendukung Polandia melawan tindakan melawan hukum yang ditunjukkan oleh UE. ”Tidak perlu ada sanksi,” katanya.
Orban menegaskan, seluruh traktat pembentukan UE tidak pernah menegaskan hukum UE di atas hukum negara anggotanya. Aturan UE hanya di atas hukum nasional pada masalah tertentu saja. ”Polandia punya hak,” ujarnya.
Sejumlah pihak khawatir, keputusan MK Polandia bisa mengancam keutuhan UE. Sebab, selama ini kepatuhan pada hukum UE menjadi salah satu perekat kawasan itu. Berbeda dari organisasi kawasan lain, UE bisa bertindak atas nama anggotanya. Aturan-aturan UE juga diterapkan kepada semua negara anggotanya. Anggota UE menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi kawasan itu.
Meski demikian, keputusan-keputusan UE harus dibuat berdasarkan kesepakatan seluruh 27 anggotanya. Keharusan itu menjadi penyebab UE berkali-kali terbelah. Rapat Dewan Eropa pada Juli 2020 menjadi rapat terpanjang karena lima anggota UE menolak mekanisme pembiayaan subsidi penanganan pandemi Covid-19. Sementara beberapa negara lain menekankan pentingnya talangan UE demi keutuhan organisasi itu. (AFP/REUTERS)