Prinsip non-intervensi membuat langkah ASEAN tidak efektif membantu penyelesaian krisis kemanusiaan di Myanmar. Muncullah gagasan untuk mengevaluasi prinsip tersebut.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, KAMIS —Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menyatakan, ASEAN harus mengevaluasi prinsip non-intervensi atau tidak mencampuri urusan domestik sesama negara anggota ASEAN. Gagasan ini dilontarkan mengingat krisis Myanmar yang terus memburuk.
Sejak kudeta junta militer terhadap pemerintahan hasil pemilihan umum di Myanmar per 1 Februari 2021, kekerasan dan krisis terus berlarut-larut di negara itu. Sedikitnya 1.200 warga sipil tewas dalam unjuk rasa dan perlawanan terhadap junta. Konsensus ASEAN yang disepakati di Jakarta per akhir April terbukti tak efektif.
”Saya mengingatkan pada pertemuan (Jumat pekan lalu) bahwa ASEAN terdiri atas sepuluh negara anggota. Meskipun masalah di Myanmar adalah lokal dan nasional, itu berdampak pada kawasan. Dan, kita juga harus akui adanya kekhawatiran dari sembilan negara anggota lainnya atas hal itu,” katanya dalam dialog virtual tentang hak asasi manusia di Myanmar, Kamis (21/10/2021).
Saifuddin menegaskan bahwa ASEAN tidak bisa menggunakan prinsip non-intervensi sebagai tameng untuk menghindari persoalan yang seharusnya bisa segera diselesaikan. Prinsip non-intervensi itu justru yang menyebabkan ASEAN lumpuh atau tidak mampu membuat keputusan dan tindakan efektif dalam waktu cepat. Untuk itu, ia mengusulkan sebuah langkah menuju kebijakan baru, yakni keterlibatan yang bersifat konstruktif atau kebijakan yang peduli.
Pada pertemuan darurat yang berlangsung virtual, Jumat (15/10/2021), para menteri luar negeri (menlu) ASEAN sepakat tidak mengundang pimpinan junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, 26-28 Oktober. Pertimbangannya, junta militer tidak melaksanakan konsensus ASEAN. ASEAN mengundang tokoh nonpolitik dari Myanmar sebagai gantinya.
Keputusan itu awalnya diusulkan oleh Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina. Langkah ini belum pernah dilakukan ASEAN sebelumnya. Selama ini, ASEAN lebih memilih konsensus dan tetap menjalin hubungan baik. ASEAN jarang mengambil langkah tegas atau mengkritik negara-negara anggotanya. Junta militer Myanmar menilai keputusan ASEAN untuk tidak mengundang Myanmar itu termasuk bentuk intervensi asing.
Direktur Senior untuk Asia Timur dan Oseania di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Edgard Kagan menilai langkah ASEAN itu sudah tepat. Namun, itu saja tidak cukup. Masih butuh banyak upaya lain untuk menyelesaikan krisis Myanmar.
”Ini langkah signifikan, tetapi tidak cukup karena rakyat Myanmar masih menderita akibat kudeta. Perlu upaya yang lebih efektif dan luas,” kata Kagan kepada lembaga kajian Pusat Strategi dan Studi Internasional di Washington, Amerika Serikat (AS).
Guna menyelesaikan persoalan Myanmar, Kagan melanjutkan, dibutuhkan kerja sama di antara negara-negara anggota ASEAN dan negara-negara mitra di luar ASEAN. ”Sudah jelas masalah Myanmar tidak akan bisa selesai dengan sendirinya. AS bersedia bekerja sama dengan ASEAN untuk menangani masalah ini,” ujarnya.
Konselor Departemen Luar Negeri AS yang juga penasihat senior Menlu AS Antony Blinken, Derek Chollet, seusai bertemu Wakil Direktur Pengelolaan Otoritas Moneter Singapura, Ho Hern Shin, mengatakan, kedua negara membahas cara untuk membatasi akses junta militer Myanmar terhadap aset-aset keuangan di luar negeri. Singapura memiliki kemampuan untuk menekan Myanmar pada sisi ini.
”Situasi di Myanmar kian parah, baik dari sisi kemanusiaan, keamanan, ekonomi, maupun politik,” katanya.
Chollet juga mengatakan, AS bisa membantu memperbaiki situasi dengan memberikan tekanan ekonomi dan politik. AS bersama Inggris dan Uni Eropa sudah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah petinggi junta militer dan beberapa perusahaan milik Pemerintah Myanmar yang dianggap bisa menjadi sumber pendapatan junta militer.
Namun, menurut Manny Maung, peneliti di Human Rights Watch, sanksi itu tidak termasuk menyasar perusahaan minyak dan gas AS serta Perancis yang masih beroperasi di Myanmar. Dengan penghasilan dari perusahaan-perusahaan ini, junta militer masih bisa membeli bahan bakar, persenjataan, obat-obatan, dan barang-barang impor lainnya. ”Ini yang membuat kejahatan di Myanmar terus berlanjut. Hubungan bisnis ini masih terjadi dan langsung ke junta,” kata Maung.
Sementara itu, Hlaing menyatakan negara-negara anggota ASEAN seharusnya ikut bertanggung jawab karena gagal membantu menangani gejolak kekerasan sejak Februari lalu. Ia menyalahkan kelompok-kelompok penentang kudeta militer yang justru rusuh terus. Padahal, pihaknya tengah mencoba memulihkan perdamaian dan stabilitas. ”Kami masih sibuk menangani ini sampai sekarang. Kami diminta untuk menyelesaikan ini dan ini yang kami lakukan. ASEAN harus berbuat sesuatu soal ini,” kata Hlaing.
Kelompok penentang junta militer awalnya protes damai. Namun, kemudian protes berubah menjadi rusuh sampai melibatkan perlawanan bersenjata setelah aparat keamanan menggunakan cara-cara kekerasan untuk membubarkan massa.
Hlaing juga menyalahkan Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw yang dianggapnya justru memicu gejolak kekerasan. Komite perwakilan itu terdiri dari anggota-anggota parlemen yang dilarang militer bekerja dan Pemerintah Persatuan Nasional, organisasi bawah tanah yang mengklaim sebagai penguasa Myanmar yang sah.
Hlaing pun menuding kelompok minoritas bersenjata melawan pemerintah karena menghendaki otonomi yang lebih luas. Ia menganggap kelompok ini pula yang mendukung pemerintah bayangan.
Pada April lalu, ASEAN mencapai konsensus berisi lima poin yang disetujui oleh junta Myanmar. Isinya mencakup penghentian kekerasan, dialog pihak-pihak terkait, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan melalui jalur ASEAN, dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan semua pihak terkait. ASEAN, Agustus lalu, menunjuk Brunei Darussalam sebagai utusan khusus. (REUTERS/AP)