Harga Batubara Mulai Terdampak Rencana Pengendalian China
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) China mengumumkan rencana intervensi harga batubara untuk membuat harga batubara lebih masuk akal. NDRC menegaskan, semua ketidakwajaran di pasar akan diberangus.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Harga batubara di China mulai menurun setelah Beijing mengumumkan rencana intervensi. Walakin, sebagian pihak ragu harga akan terus terkendali.
Dalam perdagangan, Kamis (21/10/2021), kontrak batubara di bursa berjangka China turun 11 persen. Penurunan pada Kamis ini sedikit lebih baik dibandingkan penurunan pada Rabu yang mencapai 20 persen. Kini, harga rata-rata batubara di China mencapai 248 dollar AS per metrik ton. Pekan lalu, harga rata-rata batubara di China mendekati 300 dollar AS per metrik ton.
Meski turun, harga batubara di China sekarang tetap tinggi dibanding pada awal 2021. Pada Januari 2021, harga batubara rata-rata 80 dollar AS per metrik ton.
Penurunan harga batubara di China mulai terjadi selepas Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) China mengumumkan rencana intervensi harga batubara. NDRC menyatakan akan melakukan berbagai langkah yang diperlukan untuk membuat harga batubara lebih masuk akal.
NDRC menyebut, hukum China memungkinkan kabinet atau Dewan Negara dan pemerintah daerah melakukan langkah itu. NDRC menegaskan, semua ketidakwajaran di pasar akan diberangus.
NDRC juga mengumumkan akan memastikan produksi harian mencapai 12 juta metrik ton. Sejauh ini, China Energy Group (CEG) telah menaikkan produksi menjadi rata-rata 2,2 juta metrik ton. CEG merupakan BUMN produsen batubara sekaligus penghasil listrik terbesar di China.
Harga batubara mulai merangkak sejak Juli 2021. Sebagai negara yang hampir 70 persen listriknya dipasok dari PLTU batubara, China sangat terdampak kenaikan harga batubara itu.
Kenaikan harga batubara dipicu berbagai faktor. Di China dan sejumlah negara, banyak tambang tidak bisa beroperasi gara-gara kebanjiran. Permintaan batubara juga melonjak karena konsumsi energi melejit selepas pandemi mulai mereda.
Saat harga melejit, banyak PLTU batubara memilih memangkas produksi. Sebab, tarif listrik di China diatur pemerintah. Sementara harga batubara dan aneka bahan bakar lain tidak dikendalikan negara. Semakin besar produksi listrik, semakin membengkak pula kerugian pengelola PLTU batubara. Karena itu, banyak PLTU batubara mengurangi pasokan listrik. Hal itu membuat 20 dari 31 provinsi di China mengalami pemadaman massal.
Pemadaman listrik mengancam upaya China memulihkan diri dari dampak pandemi. Banyak pabrik terpaksa berhenti beroperasi karena tidak ada pasokan listrik.
Dengan rencana pengendalian harga batubara, sepanjang tahun ini China sudah beberapa kali berusaha mengendalikan harga komoditas. Sebagian upaya itu gagal.
China pernah mencoba mengendalikan harga tembaga. Saat rencana itu diumumkan, harga kontrak tembaga di bursa berjangka memang turun dari 76.930 yuan per metrik ton menjadi 66.570 yuan per metrik ton. Kini, harga tembaga sudah kembali ke 73.650 yuan per metrik ton.
Pada batubara pun, upaya itu terlihat belum sepenuhnya berhasil. Di Qinhuangdao, harga batubara masih di atas 300 dollar AS per metrik ton. Harga tinggi juga masih dilaporkan di sejumlah provinsi lain di China
Pengendalian
Kenaikan harga batubara saat ini terjadi di tengah upaya global mengendalikan dampak dan penyebab perubahan iklim. Emisi energi fosil, termasuk batubara, merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim.
Pekan depan, ada dua forum global untuk mengendalikan konsumsi energi fosil. Ada pertemuan G-20 di Roma, Italia, dan Konferensi Iklim COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Sejumlah diplomat dan menteri negara anggota G-20 menyebut, sejauh ini kelompok 20 negara pengendali 85 persen kekayaan Bumi itu belum sepakat soal pengendalian emisi.
Dalam pertemuan di Napoli, Italia, para menteri energi dan lingkungan G-20 gagal menyepakati ambang pemanasan global. Mereka tidak bisa mencapai komitmen bersama. Mereka juga gagal bersepakat soal waktu penghentian subsidi energi fosil, pembiayaan proyek batubara, dan penghentian PLTU batubara. Mereka menyerahkan persoalan itu kepada para kepala negara yang akan bertemu pekan depan di Roma.
Sejauh ini, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak mengindikasikan akan hadir di Roma. China dan Rusia termasuk produsen besar batubara. China menjadi produsen, konsumen, dan importir terbesar batubara. Perdana Menteri India Narendra Modi juga belum jelas akan hadir atau tidak di Roma. Seperti China, India juga mengandalkan batubara sebagai sumber energi. Hampir 65 persen listrik India dipasok dari PLTU batubara.
India belum kunjung mengungkap kapan akan mencapai target emisi nol. Adapun China belum mau menyepakati ambang 1,5 derajat celsius kenaikan suhu permukaan bumi.
Kanselir Jerman Angela Merkel, Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Isu Iklim John Kerry, dan Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans telah mengungkap kekhawatiran peluang kebuntuan di COP 26. Banyak negara masih berbeda pendapat soal kewajiban masing-masing untuk mengendalikan dampak perubahan iklim.
Timmermans dan Kerry bertandang ke sejumlah negara untuk menggalang kesepakatan global. Timmermans mengajak Indonesia ikut mencari solusi demi menghindari kebuntuan di COP 26. (AFP/REUTERS)