Berlari jarak jauh membutuhkan tenaga, stamina, dan mental yang kuat. Apalagi jika sampai menempuh hampir 5.000 kilometer. Kunci keberhasilan terletak pada capaian tubuh pada tahap meditatif.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Pernah membayangkan lari bolak-balik 3,5 kali dari Pantai Carita di Banten ke Banyuwangi di Jawa Timur? Kira-kira sejauh itulah rute lomba lari Sri Chinmoy Self-Transcendence di New York, Amerika Serikat, yang dimulai sejak 5 September lalu.
Jarak larinya bukan ”kaleng-kaleng”, 4.989 kilometer. Ini perlombaan lari tersertifikasi yang terpanjang di dunia. Namun, karena rutenya hanya mengelilingi sejumlah blok di kota New York, pelari harus mengitari blok-blok yang sama yang telah ditetapkan sebanyak 5.649 kali.
Ribuan orang pernah mendaki Gunung Everest. Namun, hanya segelintir orang, lebih tepatnya 49 orang, yang sudah menuntaskan Sri Chinmoy Self-Transcendence ini. Selama perlombaan, para pelari rata-rata menyelesaikan dua kali lari maraton setiap hari selama hampir dua bulan. Waktu untuk tidur pun terbatas, paling lama 5 jam setiap hari.
Mengingat rute yang dilewati sama, itu-itu saja, pemandangan yang dinikmati para pelari pun sama setiap hari. Rute yang dilewati hanya trotoar beton di sekitar sekolah menengah di daerah Jamaika, Queens. Supaya tetap termotivasi dan tidak bosan, mereka membalik rutenya setiap hari. Hari ini berjalan searah jarum jam dan hari berikutnya berlawanan arah jarum jam. Begitu setiap hari.
”Sangat monoton. Minggu pertama itu yang berat, terutama pikiran kita. Namun, setelah itu lama-lama jadi terbiasa. Kita harus bisa menerima setiap hari kondisinya akan sama begini terus,” kata Andrea Marcato, pemenang lomba lari tahun ini.
Para pelari memiliki waktu 52 hari untuk menyelesaikan rute sejauh 4.989 kilometer (km) itu. Artinya, mereka harus lari rata-rata 95 km per hari. Kalau lelah berlari, mereka kadang berjalan, bahkan berjalan pincang dari jam 6 pagi sampai tengah malam.
Mereka juga makan sambil jalan supaya tak habis waktu. Setiap sesi lari diperkirakan membakar 10.000 kalori. Sementara sisa waktu sekitar 6 jam digunakan untuk tidur, mandi, dan merawat kaki di akomodasi yang sudah disediakan.
Tak semua orang bisa ikut lomba lari ini. Hanya para veteran pelari ultramaraton yang sudah menyelesaikan kompetisi lari selama enam hari yang boleh ikut lomba. ”Ini ujian bagi stamina, kekuatan, tekad, dan bakat,” kata Direktur Sri Chinmoy Self-Transcendence Sahishnu Szczesiul.
Harita Davies (47), satu-satunya peserta perempuan tahun ini dari total tujuh peserta, mengatakan, perlombaan ini membutuhkan tenaga dan stamina yang kuat. Yang mengherankan baginya, seiring waktu, tubuh ternyata bisa beradaptasi dan menjadi semakin kuat.
Lomba lari maraton Sri Chinmoy Self-Transcendence diinisiasi oleh pemimpin spiritual asal India yang tinggal di New York, Sri Chinmoy, 1997. Pada waktu itu, ia mengadvokasi ”transendensi-diri”, menggunakan kekuatan spiritualitas untuk melampaui batas-batas kemampuan diri.
Tahun ini, lomba sudah memasuki edisi ke-25. Untuk bisa menyelesaikan lomba, pelari perlu mencapai tahapan meditatif. ”Kalau pikiran kita bisa fokus, tidak ada pikiran lain atau kekhawatiran atau keraguan, pasti bisa selesai,” kata Marcato (39).
Bermeditasi sambil menyusuri putaran rute sejauh 883 meter mengelilingi SMA Pendidikan Teknik dan Karier Thomas A Edison itu tidak mudah. Para pelari harus melewati jalan raya yang ramai dan padat serta lapangan basket dan bola tangan yang kerap ramai. Rute jalan yang mereka lewati tidak ditutup dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Dua kali dalam sehari, sekitar 2.000 anak sekolah membanjiri trotoar.
Untuk memotivasi diri sekaligus menghindari rasa bosan, Davies yang berasal dari Selandia Baru itu selalu mendengarkan musik, buku audio, dan rekaman-rekaman ceramah yang menginspirasi. ”Ketika pertama kali datang ke sini, saya khawatir karena ini seperti hutan beton. Namun, ini semua tetap indah karena kita bisa mencari keindahan di mana pun berada. Bisa lihat langit, pohon, burung, dan orang," ujarnya.
Para pelari berasal, antara lain, dari Jepang, Taiwan, Slowakia, Ukraina, dan Rusia. Selama lomba, mereka memiliki pos bantuan kecil yang siap sedia lengkap dengan dokter yang siap merawat lecet-lecet atau nyeri-nyeri di kaki.
Sukarelawan memberikan banyak makanan kepada peserta, mulai dari jus, donat, es krim, hingga makanan vegan yang sehat. Ada kalanya juga makanan China. Tersedia pula mobil van besar lengkap dengan tempat tidur bagi pelari yang membutuhkan tidur cepat. Ada papan skor peyot yang menunjukkan jumlah kilometer yang sudah diselesaikan setiap pelari.
Ada saja pendukung yang datang ikut bertepuk tangan dan warga setempat berteriak menyemangati meski tak semuanya tahu apa yang sedang terjadi. ”Saya besar di sini dan tidak tahu kalau mereka itu mengikuti perlombaan. Saya kira mereka lari biasa karena suka sekali dengan joging,” kata warga setempat, Julio Quezada (34).
Tahun ini, perlombaan kembali diadakan di New York setelah tahun lalu digelar di Austria karena pandemi Covid-19. Marcato yang berasal dari Italia itu berhasil menyelesaikan larinya pada Minggu malam. Ia menyelesaikan perlombaan itu kurang dari 43 hari dengan rata-rata jarak 72 mil per hari. Ia sampai harus ganti 16 pasang sepatu selama itu karena sepatunya rusak. Ia akan menerima piala, tetapi tidak ada hadiah uang.
”Ini capaian tertinggi. Ini impian saya dan saya berhasil. Di dua putaran terakhir, saya merasa total terlepas dari tubuh saya. Saya tidak merasa sakit apa pun. Ini sensasi yang luar biasa," kata Marcato yang menyukai ultramaraton dan bekerja pada perusahaan makanan berbasis tanaman itu.
Bagi Harris, peserta asal Selandia Baru yang menyelesaikan lomba sebelum batas waktu 26 Oktober, perlombaan tersebut merupakan kesempatan untuk mengeksplorasi batas-batas kemampuan dan potensi dirinya. Even itu juga menjadikan dirinya orang yang lebih baik. Ketika perlombaan berakhir, proses penyembuhan dimulai dan ini artinya harus banyak istirahat, tidur, makan, dan bersabar.
Namun, ada satu unsur pemulihan yang kemungkinan terberat. ”Membiasakan untuk kembali ke kehidupan sehari-hari itu yang susah. Perlombaan ini mempermudah hidup saya karena tidak perlu memikirkan hal lain selain lari saja,” kata Davies. (AFP/LUK)