Siswa perempuan Afghanistan di jenjang pendidikan menengah masih belum boleh kembali ke sekolah. Sampai sekarang, kelompok Taliban baru mengizinkan siswa perempuan di sekolah dasar dan mahasiswa untuk kembali belajar.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Amena, perempuan remaja Afghanistan, pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri puluhan temannya terbunuh ketika sekolahnya diserang bom oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Mei lalu. Pengalaman itu mengerikan dan meninggalkan trauma padanya. Meski demikian, Amena tetap mau sekolah sampai selesai.
Hanya saja, seperti para siswa perempuan di sekolah perempuan lainnya di Afghanistan, Amena tidak boleh sekolah sama sekali. Pada bulan lalu, kelompok Taliban melarang anak perempuan kembali belajar di sekolah, terutama untuk mereka yang duduk di bangku SMP dan SMA.
”Saya masih ingin belajar, ketemu teman-teman dan punya masa depan. Sekarang (saya) tidak boleh ke sekolah. Ini membuat saya kesal. Sejak Taliban datang, saya sedih dan marah terus,” kata Amena (16) yang tinggal di daerah Kabul barat, ibu kota Afghanistan.
Pada 18 September lalu, kelompok Taliban memerintahkan guru-guru laki-laki dan anak-anak laki-laki berusia 13 tahun ke atas untuk kembali ke sekolah setelah sempat terputus gara-gara gejolak kekerasan dan pandemi Covid-19. Namun, kelompok Taliban tidak menyinggung soal guru perempuan atau siswa perempuan.
Kelompok Taliban kemudian menyatakan, siswa perempuan boleh kembali ke SMP atau SMA, tetapi ruang kelas dibagi dua karena siswa perempuan dan laki-laki harus dipisah.
Ada beberapa sekolah SMP dan SMA, seperti di Provinsi Kunduz, yang kini sudah memperbolehkan siswa perempuan masuk. Kelompok Taliban pernah berjanji kepada Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) akan segera mengumumkan keputusan dan pengaturan terkait siswa perempuan.
Namun, sampai sekarang sebagian besar siswa perempuan berusia SMP dan SMA masih belum boleh sekolah. Berbeda dengan jenjang pendidikan SMP dan SMA, jenjang sekolah dasar sudah kembali dibuka untuk semua anak. Begitu pula dengan perguruan tinggi. Hanya saja, ketentuan mengenai peraturan busana dan pergerakan mahasiswa perempuan tetap saja ketat.
Amena sebenarnya tinggal sangat dekat dengan sekolahnya, SMA Sayed Al-Shuhada. Sekolah itu pernah terkenal karena pada Mei lalu terdapat 85 orang—mayoritas anak perempuan—tewas terkena serangan bom. ”Banyak anak tak bersalah tewas hari itu. Tetapi, saya tetap mau sekolah di situ,” kata Amena sambil menangis.
Amena yang suka dengan pelajaran Biologi itu seharusnya sudah kelas X dan setiap hari pasti sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kini, ia masih bisa belajar dengan banyak buku pelajaran, tetapi ia merasa tidak ada yang menarik.
Amena selalu bercita-cita ingin menjadi wartawan. Namun, kini rasanya semua sia-sia dan tidak ada gunanya karena tidak ada harapan di Afghanistan. Supaya bisa tetap belajar rutin di rumah, Amena dibantu saudara-saudaranya di rumah. Ia sesekali dibantu belajar oleh seorang psikolog yang membantu menyembuhkan adiknya yang masih trauma dengan serangan bom itu.
”Kata mereka, harus tetap belajar meski tidak bisa ke sekolah. Tetap belajar di rumah supaya nanti bisa sukses di masa depan. Saudara-saudara saya membawa pulang buku pelajarannya, jadi saya bisa ikut belajar,” kata Amena.
Amena mengaku setiap hari menonton berita di televisi. Ia tetap saja tidak bisa memahami, mengapa anak laki-laki boleh sekolah lagi, sementara anak perempuan tak boleh.
”Masyarakat Afghanistan, kan, separuh perempuan dan separuhnya lagi laki-laki. Tidak ada bedanya. Kenapa kami tidak boleh sekolah? Kami ini bagian dari masyarakat atau bukan? Kenapa hanya laki-laki yang boleh punya masa depan,” ujarnya.
Kondisi pendidikan anak perempuan di Afghanistan memang buruk semasa kelompok Taliban dulu berkuasa. Setelah pasukan keamanan pimpinan Amerika Serikat menggulingkan kekuasaan kelompok Taliban pada 2001, kondisi pendidikan perempuan Afghanistan membaik. Jumlah sekolah naik tiga kali lipat dan literasi perempuan naik dua kali lipat menjadi 30 persen. Namun, kondisi ini memang masih sebatas di wilayah perkotaan.
”Perempuan Afghanistan berhasil meraih banyak hal selama 20 tahun terakhir ini. Tetapi, karena situasi sekarang berbeda, semangat kami dan siswa menurun. Tidak jelas alasan Taliban. Sepanjang yang saya tahu, agama Islam tidak pernah menghalangi pendidikan dan pekerjaan perempuan,” kata Nasrin Hasani (21), guru di sebuah SMP di Kabul yang mengaku tidak pernah menerima ancaman dari kelompok Taliban itu.
Namun, Amnesty International melaporkan, ada seorang guru SMA yang menerima ancaman mati dan dituntut karena dulu pernah mengajar pendidikan olahraga bersama. Meski situasinya kian tak menentu, Hasani masih berharap kelompok Taliban akan ”sedikit berubah” ketimbang saat berkuasa dengan represif tahun 1996-2001. Dulu, perempuan bahkan tak boleh keluar rumah tanpa ada yang mendampingi.
Berbeda dengan Amena, Zainab (12) yang lahir setelah tahun 2001 tak memiliki ingatan akan masa kekuasaan Taliban dulu. Ia akan tetap sabar menunggu kelompok Taliban memperbolehkannya sekolah. Meski demikian, ia tetap merasa sedih ketika melihat anak laki-laki kembali ke sekolah. ”Setiap hari makin parah kondisi di Afghanistan,” ujar Zainab.
Kakak Zainab, Malalay (16), menangis karena merasa takut dan putus asa. Karena belum sekolah lagi, setiap hari Malalay menghabiskan waktunya dengan membantu bersih-bersih rumah serta mencuci piring dan baju. Padahal, Malalay bercita-cita akan memperjuangkan hak-hak perempuan dan berani melawan laki-laki yang merampas hak-hak perempuan.
”Saya berusaha tidak menangis di depan ibu saya karena ibu saya juga tertekan. Saya punya hak untuk belajar di sekolah dan perguruan tinggi. Semua rencana dan impian saya sekarang kandas,” ujarnya. (AFP)