Pemberitaan yang disajikan oleh media, dengan ruang redaksi berisi orang-orang yang kredibel, bisa membantu menciptakan sebuah negara yang demokratis dan berujung pada terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi semua.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Saat Maria Ressa baru saja ditelepon oleh Komite Nobel Norwegia yang memberi tahu bahwa dirinya dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian 2021 bersama Dmitry Muratov, jurnalis Rusia, Jumat (8/10/ 2021), ratusan jurnalis Asia Tenggara yang tengah berkumpul di ruang virtual kontan memberikan ucapan selamat. Saat bersamaan, kebetulan Ressa bersama jurnalis senior dari Malaysia, Filipina, dan Indonesia, tengah berdiskusi, berbincang soal jurnalis serta media yang kini tengah dalam tekanan.
Ressa belum menyiapkan pidato atau rangkaian kata dan kalimat yang biasanya disampaikan pada malam resepsi penghargaan nanti. Secara spontan, Ressa menyampaikan hal ini: ”Kita bersama tengah melalui masa kegelapan, sebuah masa yang sulit. Tapi, saya berharap kita tetap bertahan, tetap teguh.”
”Kita harus menyadari, apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang ada di hadapan kita, apa yang terjadi di masa depan. Dan, hal itu membuat kita mendapatkan kekuatan yang lebih untuk mengatakan bahwa yang kita kerjakan telah berada pada jalur yang tepat.”
Demokrasi di Asia Tenggara tidak dalam kondisi baik-baik saja. Terjadi pembusukan di dalam institusi yang dikembangkan dan dibangun untuk menjamin prinsip checks and balances. Oposisi, yang juga menjadi penyeimbang, bak macan ompong, tak layak juga untuk mewakili suara rakyat.
Media, yang sering disandingkan dengan institusi demokrasi lainnya, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga tidak dalam kondisi baik-baik saja. Selain masalah kepercayaan yang menurun, disrupsi digital menjadi tantangan baru yang harus dihadapi. Kini, media harus bersaing dengan banjirnya informasi melalui media sosial, yang masuk ke kantong-kantong para pengguna gawai.
Banjir informasi di media sosial itu sering kali tidak dibarengi dengan verifikasi yang ketat. Berbeda dengan media, pers, yang harus menjalankan dan memegang teguh kode etik dan disiplin verifikasi. Terlebih lagi, dibawa ke ruang redaksi yang lebih luas, permintaan verifikasi atas fakta yang disajikan akan jauh lebih ketat.
Tak jarang, pengelola media yang mengutamakan masalah keterbacaan, karena berhubungan dengan algoritma dan jumlah klik, yang berujung pada cuan iklan dari Google, memilih judul yang bombastis ketimbang substansi yang jelas. Ujungnya, publik diberikan informasi yang tidak tepat, cenderung salah dan bisa berakhir pada keterbelahan.
Pengguna media sosial juga tidak dibekali dengan cara berpikir kritis untuk memahami fenomena dan substansi yang berkembang. Akhirnya, kalaupun warganet ramai berkomentar, komentar mereka bukan pada substansinya, melainkan lebih pada tampilan luar. Hasilnya adalah komentar kosong, asal bunyi, dan tidak jarang berupa caci maki.
Yang menjadi masalah adalah berita yang disajikan media, yang dikenal memiliki disiplin verifikasi ketat, seperti The New York Times, The Washington Post, atau ProPublica di Amerika Serikat, MalaysiaKini di negeri jiran, Rappler di Filipina, tidak jarang dicap sebagai berita bohong, fake news, karena dianggap menyerang penguasa.
Donald Trump pernah melakukan hal itu. Amplifikasi pernyataan-pernyataan Trump membuat para jurnalis mendapat kekerasan fisik saat melakukan kerja jurnalistiknya.
Sementara itu, Rodrigo Duterte bahkan secara terang-terangan mengancam untuk membunuh jurnalis di Filipina. Dalam laporan International Center for Journalist (ICFJ), laman Facebook Ressa merekam 90 pesan kebencian dalam satu jam. Laporan itu juga menyebut pelecehan dan ancaman dipicu oleh pernyataan publik Duterte yang mengecam Ressa dan Rappler sebagai penjahat.
Pelaku bukan hanya para pendukung penguasa, dalam hal di atas adalah Trump dan Duterte. Di banyak kejadian di banyak negara, aparat, termasuk yang memegang bedil, menjadi lembaga yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Tidak hanya fisik, tetapi juga verbal. Bahkan, di luar kapasitasnya, mereka melabeli berita yang sudah melalui disiplin verifikasi yang ketat dengan stempel hoaks dan kemudian dipajang di laman resminya.
Di Myanmar, para jurnalis tidak bisa menjalankan tugas membuat laporan situasi yang berkembang di negara itu, mengabarkan pada dunia luar kondisi terkini warga pascakudeta. Ratusan jurnalis ditahan. Di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, peraturan perundangan yang seharusnya melindungi kerja jurnalis berbalik menjadi ancaman.
Model bisnis media yang terus berkembang tidak bisa dan tidak boleh meninggalkan disiplin verifikasi yang ketat serta memegang teguh kode etik jurnalistik. Berita yang dihasilkan jurnalis-jurnalis dengan standar kualitas yang tinggi seharusnya dipandang sebagai bagian dari upaya checks and balances yang gagal dilakukan institusi demokrasi lainnya.
Pemberitaan yang disajikan oleh media, dengan ruang redaksi berisi orang-orang yang kredibel, bisa membantu penciptaan sebuah negara yang demokratis dan berujung pada terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Jika para jurnalis, para pengirim pesan dan media, atau lebih luas para aktivis prodemokrasi, dikriminalisasi karena bersikap kritis, mimpi mencapai sebuah negara demokrasi dan berkeadilan sosial lenyap dalam seketika.
”Kebebasan pers, kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak sebuah masyarakat yang demokratis. Tidak ada masyarakat yang demokratis tanpa kebebasan berekspresi,” kata Ketua Komite Nobel Norwegia Beritt Reis-Andersen.