Jangan Cuma Joget-joget di Tiktok
Strategi penjualan produk kian unik dan tak perlu lewat media ”mainstream”. Cukup cerita pengalaman di media sosial, seperti Tiktok saja, barang yang kita ceritakan bisa viral dan terjual laris.
Pernah iseng-iseng merekam video soal barang yang baru dibeli atau sekadar dicoba, lalu diunggah ke media sosial? Pernah memperhatikan respons orang lain pada unggahanmu itu? Biasanya, pasti akan ada satu atau dua teman atau orang yang menanyakan soal barang yang diceritakan itu. Kalau video atau barangnya menarik, bisa jadi video itu akan menjadi viral atau ditonton banyak orang dan barangnya bisa mendadak banyak yang tertarik mau beli. Ini yang juga terjadi pada permen jeli berbentuk buah yang menjadi viral di aplikasi media sosial Tiktok.
Baca juga : Pahami Konsumen agar Pemasaran Digital Tepat Sasaran
Saking viralnya video permen jeli itu di Tiktok, banyak toko permen di New York, Amerika Serikat, yang memajang permen jeli itu di rak terdepan. Video permen jeli yang mulai beredar tahun lalu itu memang menarik perhatian karena terlihat segar dengan aneka warna buah. Di toko permen It’Sugar, karyawan buru-buru menambah stok karena permen jeli buah itu laris manis berkat video di Tiktok.
Video itulah yang dimanfaatkan toko-toko permen sebagai bagian dari strategi penjualan produk. Kini, di semua toko cabang It’Sugar terpasang logo TikTok karena ini jelas menguntungkan. Bayangkan saja, produk yang viral di Tiktok bisa menghasilkan keuntungan 5-10 persen per minggu. ”Jumlah itu sudah luar biasa,” kata Asisten Wakil Presiden Produk di It’Sugar Chris Lindstedt.
Tiktok yang memiliki jumlah pengguna hingga 1 miliar di seluruh dunia itu kini juga menjadi tempat untuk belanja meski sebagian besar isinya masih video orang sedang joget-joget. Banyak toko di AS yang memiliki jaringan nasional mencoba menangkap pasar pengikut Tiktok yang mayoritas berusia muda. Ada toko-toko yang sampai menyiapkan seksi atau bagian khusus produk-produk dari Tiktok, seperti produk-produk ”As Seen On TV” yang menjual produk yang dipasarkan melalui TV.
Baca juga : TikTok: Setelah Viral, Lalu Mau Apa?
Di toko buku Barnes & Noble juga terlihat di meja-meja terpasang tulisan #BookTok, tagar rekomendasi buku di Tiktok yang ternyata berhasil mendorong penjualan buku. Amazon juga membuat bagian khusus di dalam situsnya yang diberi label ”Internet Famous”. Isinya berupa segala macam produk yang pasti sudah dikenal oleh siapa saja yang sering membuka Tiktok.
Promosi produk melalui Tiktok rupanya efektif. Seperti tagar #TikTokMadeMeBuyIt yang mendapatkan lebih dari 5 miliar views di Tiktok. Tak diduga, banyak produk laris terjual. Mulai dari dompet, legging, cairan pembersih, hingga keju feta. Video-video memasak dengan resep yang menggunakan pasta feta dipanggang juga sontak membuat keju putih asin laris manis terjual supermarket pada awal tahun ini.
Sampai sekarang susah untuk mengetahui atau memprediksi produk atau video apa yang akan menjadi sensasi di Tiktok selanjutnya. Cara dan strategi Tiktok untuk memutuskan siapa yang bisa melihat apa itu masih menjadi misteri. Perusahaan sebuah produk sering kali lengah atau cenderung bereaksi setelah produk mereka ”dipromosikan”. Setelah viral, barulah perusahaan-perusahaan tergopoh-gopoh memberikan produk-produk gratis untuk para pembuat kontennya. Bahkan, ada yang dipekerjakan untuk tampil di iklan atau mereka membeli iklan di Tiktok.
”Awalnya susah,” kata Kepala Pemasaran Produk Kate Spade Jenny Campbell. Ia ingat betapa dulu banyak orang mencari kata kunci ”hati” di situs Kate Spade awal tahun ini. Ini terjadi awalnya gara-gara ada video klip berdurasi 60 detik di Tiktok yang diunggah Nathalie Covarrubias (22).
Baca juga : Evolusi TikTok yang ”Naik Kelas”
Pada waktu itu, Covarrubias merekam dirinya sendiri di dalam mobil dan menceritakan tentang dompet berbentuk hati produk Kate Spade yang baru dia beli. Rupanya, banyak yang kemudian mengunggah lagi video itu ke akun masing-masing. Bahkan, ada yang membuat video juga yang menunjukkan mereka sedang membeli dompet tas itu atau sekadar mencobanya di Tiktok. Hasilnya, dompet tas pink berbentuk hati seharga 300 dollar AS itu pun ludes.
”Saya tidak percaya itu bisa terjadi karena saya, kan, tidak sedang membuat iklan tas itu. Saya hanya senang saja dengan tas itu karena unik,” kata Covarrubias, perias dari Salinas, California, itu.
Ia tidak dibayar untuk membuat ataupun mengunggah video dompet tas Kate Spade itu, tetapi pihak Kate Spade kemudian mengirimi Covarrubias banyak produk gratis sebagai ucapan terima kasih dan diharapkan ia mau membuat video dan mengunggahnya lagi di Tiktok. Video yang baru kemudian diberi label iklan. Kate Spade menjadi untung banyak karena sedianya dompet tas itu dijual hanya pada saat Hari Valentine saja. Namun, yang terjadi malah produk itu dijual terus sepanjang tahun dengan warna dan bahan yang beragam, termasuk bulu palsu.
Menurut pendiri Gen Z Planet, Hana Ben Shabat, produk yang diceritakan di Tiktok bisa mendorong orang membeli, terutama generasi Z, karena pembuat kontennya orang biasa dan gambarnya otentik. Ini berbeda dengan media sosial instagram yang sebagian besar isinya berupa unggahan foto dengan bentuk atau pose yang terbaik. ”Konsumen percaya pada rekomendasi mereka di Tiktok karena riil dan seperti sedang menceritakan kisah nyata,” ujarnya.
Selama ini Instagram, Youtube, dan platform lain juga sudah menghubungkan orang dengan teman-teman atau mengunggah video-video lucu. Sama seperti Tiktok. Namun, bagian pemasaran mereka tidak menyadari potensi penjualan produk di platform itu. Sementara bagi Tiktok, menyadari hal itu. Namun, Tiktok tak mau menjadi seperti platform lain yang seakan kehilangan orisinalitasnya karena terlalu banyak iklan dan cara berbelanja yang membanjiri aplikasi-aplikasi itu. Tiktok menganggap hal itu bisa berisiko. ”Kalau iklannya terlalu mencolok atau aneh, bisa jadi masalah,” kata Colin Campbell, asisten profesor pemasaran di University of San Diego.
Orang-orang yang menjadi influencers atau orang yang mendapat bayaran untuk mempromosikan produk tertentu juga sering mengatakan, meskipun mereka dibayar, mereka tetap hanya akan merekomendasikan produk yang benar-benar mereka sukai. ”Rasanya mereka seperti teman kita, padahal bukan,” kata Campbell.
Channah Myers (21), warga Goodyear, Arizona, yang berprofesi sebagai barista, membeli sepasang legging Aerie seharga 50 dollar AS gara-gara menonton beberapa video di Tiktok. Video-video di Tiktok mengklaim legging itu bisa membuat mereka tampak langsing. ”Selama ini saya sering belanja di Aerie, tetapi saya tidak tahu ada legging itu sampai setelah saya nonton video di Tiktok,” kata Myers.
Setelah legging Aerie menjadi viral di Tiktok pada 2020, perusahaan ritel remaja itu kemudian memperluas desain yang sama untuk beragam produk, seperti celana pendek pesepeda, rok petenis, dan bikini. Semua produk ini bisa ditemukan di situs Aerie dengan kata kunci Tiktok.
Tiktok, bersama dengan perusahaan teknologi lain, seperti Snapchat, juga sedang berpacu dengan Facebook untuk menjadi pusat belanja di media sosial. Belanja di situs-situs media sosial merupakan pasar yang besar dan bisa mencapai 37 miliar dollar AS di AS. Jumlah ini sebagian besar datang dari instagram dan Facebook. Pada akhir tahun 2025, jumlah ini diharapkan akan bisa bertambah dua kali lipat menjadi setidaknya 80 miliar dollar AS.
Pada bulan lalu, Tiktok mulai menguji cara supaya perusahaan produk tertentu bisa membuka toko di dalam aplikasi itu dan mengirim pengguna untuk melihat situs mereka. Namun, Tiktok mengisyaratkan akan ada lebih banyak terobosan baru. Pada akhirnya mungkin akan lebih mirip Douyin, aplikasi mirip Tiktok di China. Produk dapat dibeli dan dijual tanpa harus meninggalkan atau keluar dari aplikasi, seperti yang bisa dilakukan di Facebook dan instagram.
”Selama setahun terakhir, ada pengalaman belanja baru yang mulai tren yang didorong komunitas Tiktok. Ini mendongkrak penjualan produk sekaligus iklan. Kami akan terus memenuhi keinginan komunitas dan mencarikan solusi yang bisa membantu mencari, melibatkan, dan membeli produk-produk yang diinginkan,” kata General Manager Tiktok Sandie Hawkins.
Ini termasuk The Pink Stuff, produk pembersih Inggris yang tidak tersedia di AS tahun lalu. Semua kemudian berubah setelah beredar video-video orang yang menggunakan pembersih itu untuk membersihkan panci-panci yang berkarat dan peralatan dapur yang berminyak. Video-video ini menjadi viral di Tiktok. Akhirnya produk itu bisa sampai di AS melalui Amazon, Januari lalu. Jumlah yang laku terjual sampai 1,3 juta per bulan. ”Banyak permintaan dari toko-toko besar dan ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Kepala Operasional The Pink Stuff AS Sal Pesce. (AP)