Mimpi Samira dan Senja Kala Panti Asuhan di Afghanistan
Sejak Taliban berkuasa, berbagai donatur menghentikan bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan. Akibatnya, semua panti asuhan yang selama ini mengandalkan dana bantuan untuk menopang operasionalnya kesulitan keuangan.
Oleh
Mahdi Muhamad
·4 menit baca
Ahmad Khalil Mayan, direktur program pada sebuah panti asuhan besar di Kabul, terpaksa mengurangi asupan buah dan daging kepada anak yatim piatu di tempat yang dikelolanya karena dana operasional telah habis. Dia telah mencoba menelepon dan mengirim surat elektronik kepada para donor, asing dan lokal, yang selama ini mendukungnya. Hasilnya, nihil.
Selama dua bulan terakhir, sejak Taliban kembali berkuasa, bantuan yang nilainya jutaan dollar Amerika Serikat untuk masyarakat miskin Afghanistan mandek. Panti asuhan yang diasuh Mayan adalah salah satu target bantuan yang terdampak.
”Sayangnya, kebanyakan dari mereka telah meninggalkan negara ini, donor Afghanistan, donor asing, kedutaan. Ketika saya menelepon mereka atau mengirim surat elektronik kepada mereka, tidak ada yang menjawab. Kami sekarang mencoba menjalankan tempat itu dengan sedikit uang dan dengan sedikit makanan,” kata Mayan (40), pengelola panti asuhan Perkampungan Anak-anak Shamsa itu.
Sekitar 130 anak bernaung di Perkampungan Anak-anak Shamsa. Usianya bervariasi mulai dari tiga tahun. Panti asuhan yang telah berusia lebih dari satu dekade ini tidak hanya menjadi tempat berlindung bagi anak-anak yang kehilangan kedua oranguanya. Tempat itu juga menjadi rujukan bagi anak dari orangtua tunggal yang kesulitan mengasuh, membesarkan, dan memberi pendidikan bagi buah hatinya.
Salah satunya adalah Samira yang baru berusia sembilan tahun. Samira berasal dari Badakhshan, sebuah provinsi di timur laut Afghanistan. Dia masuk ke panti tersebut dua tahun setelah ayahnya meninggal. Sementara sang ibu tidak sanggup membiayai hidup Samira serta beberapa saudara kandungnya.
Saat ditemui, Samira tengah bermain di taman bermain. Udara Kabul yang sejuk membuat dia menikmati aktivitasnya, termasuk saat dia bermain ayunan. ”Saya ingin mengabdi pada tanah air saya, menyelamatkan orang lain dari penyakit. Dan, saya ingin agar anak perempuan lainnya bisa belajar seperti saya agar mereka bisa menjadi dokter, seperti saya, di masa yang akan datang,” katanya, dengan senyum malu-malu.
Panti asuhan seperti yang dikelola Mayan memberikan kontribusi besar untuk pembangunan Afghanistan. Perang selama lebih dari 40 tahun yang menewaskan puluhan ribu warga sipil telah meninggalkan anak-anak tanpa belai kasih sayang orangtua.
Namun, mandeknya bantuan dari para donatur sejak pertengahan Agustus lalu membuat panti asuhan kesulitan melanjutkan layanannya. Sejumlah kebijakan sulit terpaksa dilakukan pengelola.
Misalnya, dengan mengirim beberapa anak kembali ke kerabat yang relatif mampu. Cara ini ditempuh untuk mengurangi pengeluaran untuk penyediaan makanan. Pengelola juga terpaksa mengurangi menu dan porsi makanan. ”Sebelumnya kami memberi mereka buah dua kali seminggu dan daging dua kali seminggu, tetapi kami memotong barang-barang itu menjadi hanya sekali seminggu atau mungkin tidak (sebanyak itu),” kata Mayan.
Situasi makin sulit karena penarikan uang tunai hanya dibatasi maksimal 200 dollar AS per pekan atau sekitar Rp 2,8 juta. Artinya, akses dana terbatas ini semakin membuat sulit keuangan panti asuhan untuk menjalankan layanannya, termasuk menggaji para pegawai panti asuhan.
Jika situasi berlanjut, Mayan khawatir, panti asuhan tidak akan bisa berfungsi lebih lama lagi. Ini akan menghancurkan kehidupan anak-anak panti asuhan yang menerima pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan komputer serta pendidikan jasmani. Mereka juga mendapatkan asupan makanan dan tempat tinggal.
Sementara itu, menghadapi kemungkinan krisis jelang musim dingin, kelompok Taliban mendesak beberapa negara Barat untuk melanjutkan bantuan kemanusiaan. Pemerintahan Abdul Ghani Baradar juga meminta Pemerintah Amerika Serikat mencabut pemblokiran dana cadangan Bank Sentral Afghanistan senilai lebih dari 9 miliar dollar AS yang disimpan di luar negeri.
Banyak negara menolak mengakui Taliban sebagai pemerintahan Afghanistan. Mereka menilai Taliban adalah kelompok garis keras yang memerangi pasukan asing dan sekutu saat masih berada di Afghanistan.
Beberapa pemerintah menuntut agar kelompok tersebut menjamin kebebasan sipil dasar, termasuk mengizinkan anak perempuan untuk bersekolah di sekolah menengah dan perempuan untuk bekerja. Taliban, yang melarang pendidikan semua anak perempuan ketika memerintah pada 1996-2001, mengatakan mereka sedang menangani masalah ini.
Samira, calon dokter, masih bisa bersekolah di luar panti asuhan karena usianya. Dia juga ikut sejumlah kelas tambahan di sore hari untuk mendukung cita-citanya. Kesulitan tidak meruntuhkan mimpinya. Namun, dia juga menyadari bahwa untuk mencapai tujuannya, dia mungkin harus pergi ke luar negeri untuk belajar. ”Saya tidak diizinkan untuk belajar di sini,” ujarnya. (REUTERS)