Baku Tembak Sengit di Beirut Bangkitkan Memori Kelam Perang Saudara di Lebanon
Situasi baku tembak sengit di Beirut itu berlangsung beberapa jam, mengingatkan suasana Lebanon saat perang saudara 1975-1990. Insiden itu mengingatkan masih ada luka-luka lama yang belum sembuh dari perang saudara.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
BEIRUT, JUMAT — Memori kelam perang saudara tahun 1975-1990 kembali menghantui Lebanon setelah peristiwa baku tembak terjadi di kota Beirut, Kamis (14/10/2021). Enam orang dilaporkan tewas dan puluhan orang lainnya luka-luka dalam sebuah pertempuran jalanan paling sengit di ibu kota Lebanon selama bertahun-tahun itu.
Baku tembak tersebut secara kebetulan memang terjadi di sepanjang bekas garis depan lokasi perang saudara selama 15 tahun itu. Kekerasan terbaru terjadi menjelang unjuk rasa yang digelar kelompok Hezbollah untuk menuntut pencopotan hakim yang memimpin penyelidikan kasus ledakan besar di pelabuhan Beirut pada tahun lalu.
Mobilisasi massa dari kelompok Pasukan Lebanon Kristen dan massa pro-Hezbollah di tengah dinamika aksi protes tersebut diduga menjadi pemicu baku tembak itu. ”Lebanon sedang mengalami fase sulit, tidak mudah. Kami seperti seorang pasien di depan ruang gawat darurat,” kata Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati dalam wawancara dengan kantor berita Reuters.
Situasi baku tembak itu berlangsung beberapa jam, mengingatkan suasana Lebanon saat dibelit perang saudara tahun 1970-an hingga 1980-an. Warga terlihat bersenjatakan pistol, senapan otomatis, dan granat berpeluncur roket. Para penembak runduk melepaskan peluru-peluru dari berbagai gedung. Peluru menembus jendela-jendela apartemen di sekitar lokasi.
Menteri Dalam Negeri Lebanon Bassam Mawlawi menuturkan, para penembak runduk menarget kepala orang. Seorang dokter di rumah sakit Sahel, Beirut, mengungkapkan kepada kantor berita AFP bahwa seorang perempuan berusia 24 tahun tewas setelah kepalanya terkena tembakan peluru yang menembus rumahnya.
Sekolah-sekolah harus ditutup tiba-tiba. Di salah satu sekolah, para guru memerintahkan murid-murid mereka untuk tiarap di lantai, menghindari kemungkinan peluru yang berseliweran di udara.
Penduduk dievakuasi ke tempat yang aman. Sirene ambulans meraung-raung mengevakuasi para korban. Kantor berita AFP melukiskan kota Beirut seperti zona perang.
Banyak kalangan menyerukan semua pihak menahan agar kekerasan itu tidak berlanjut. Dalam sebuah pernyataan, Perdana Menteri Najib Mikati mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan mendesak orang-orang ”untuk tidak terseret ke dalam pertikaian sipil”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta semua pihak untuk menghentikan kekerasan dan menahan diri dari tindakan provokatif atau retorika yang menghasut. ”Sekjen menegaskan kembali perlunya penyelidikan yang tidak memihak, menyeluruh, dan transparan terhadap ledakan di pelabuhan Beirut yang terjadi tahun lalu,” kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Penyelidikan ledakan Beirut
Tidak jelas siapa yang memulai tembakan yang berujung dengan baku tembak sengit tersebut. Laporan di lapangan menyebutkan, baku tembak itu terjadi tak lama setelah aksi unjuk rasa kelompok Hezbollah dan Gerakan Aman dimulai. Kelompok itu berunjuk rasa untuk mendesak pencopotan Hakim Tarek Bitar yang memimpin penyelidikan atas ledakan pelabuhan Beirut.
Hezbollah dan sekutunya menuduh hakim tersebut bias dalam memilih saksi-saksi dari kalangan politisi. Kebanyakan dari para politisi itu adalah sosok-sosok yang dekat dengan Hezbollah.
Kalangan petinggi Hezbollah dan Gerakan Amal, termasuk Pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah, telah menyerang Bitar selama berhari-hari. Mereka menuduh Bitar memolitisasi penyelidikan. Mereka ingin Bitar disingkirkan dari posisinya meski sejauh ini tidak ada pejabat Hezbollah yang didakwa dalam penyelidikan yang telah berlangsung selama 14 bulan itu.
Bitar adalah hakim kedua yang memimpin investigasi rumit tersebut. Pendahulunya disingkirkan menyusul sebuah gugatan hukum atas sang hakim.
Penyelidikan berpusat pada ratusan ton amonium nitrat yang tidak disimpan dengan benar di gudang pelabuhan hingga ledakan dahsyat terjadi pada 4 Agustus 2020. Ledakan itu menewaskan sedikitnya 215 orang, melukai ribuan orang, dan menghancurkan bagian-bagian lingkungan terdekat. Itu adalah salah satu ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah dan semakin menghancurkan negara yang sudah dilanda perpecahan politik dan kesengsaraan ekonomi itu.
Ketegangan hukum dan politik atas ledakan di pelabuhan itu rupanya terus berlanjut. Ketegangan itu telah berkontribusi pada banyak masalah Lebanon, termasuk anjloknya nilai tukar mata uang, terjadinya hiperinflasi, melonjaknya kemiskinan, dan krisis energi yang menyebabkan pemadaman listrik berkepanjangan.
Kini, baku tembak di tengah kota Beirut itu pun meningkatkan momok kembalinya kekerasan sektarian di negara yang telah terlibat dalam berbagai krisis itu. Haneen Chemaly, warga Beirut yang memimpin kelompok bantuan layanan sosial, menuding para pemimpin Lebanon mengarahkan negaranya menuju perang saudara. Ia menyebut, perang saudara menjadi kartu terakhir yang mereka mainkan.
”Mereka telah membawa kami dalam kebangkrutan, kehancuran, dan kini mereka menakut-nakuti kami dengan momok perang saudara,” ujar Chemaly.
Konflik sektarian
Kamis kemarin, beberapa saat sebelum unjuk rasa yang direncanakan berlangsung, pengadilan banding menolak tuntutan agar Hakim Bitar dicopot dari ketua tim penyelidikan. Seruan pencopotan hakim membuat marah kelompok lain, yang melihat hal itu sebagai campur tangan terang-terangan terhadap proses peradilan.
Kelompok sayap kanan Pasukan Lebanon Kristen mengerahkan para pendukungnya, Rabu malam. Ini setelah Hezbollah dan Amal menyerukan para anggotanya agar berunjuk rasa di Istana Keadilan di lokasi bekas ruas jalan pemisah permukiman Muslim dan Kristen di Beirut.
Krisis terkait penyelidikan kasus ledakan pelabuhan Lebanon dinilai berakar pada salah satu masalah utama Lebanon, yakni politik sektarian. Politik itulah yang telah memecah belah Lebanon dan memicu konflik sipil sejak kemerdekaan. Kelompok Syiah dan Kristen telah berada di masing-masing sisi yang berlawanan dalam kondisi kebuntuan tersebut.
Tuduhan Hezbollah bahwa Bitar memolitisasi penyelidikan menguat, antara lain, karena dia telah menikmati dukungan dari kelompok Kristen yang luas. Dukungan itu juga datang dari Presiden Michel Aoun. Sejumlah sumber menyebutkan dinamika itu telah menimbulkan gesekan antara partai Aoun dan Hezbollah.
Youssef Diab, jurnalis di Lebanon spesialis urusan pengadilan, mengatakan bahwa unjuk rasa kerap digunakan sebagai ajang unjuk kekuatan. Hezbollah dan Amal ingin menunjukkan mereka masih menguasai jalanan. Namun, apa yang terjadi dari insiden baku tembak itu adalah ternyata tidak hanya satu kelompok yang menguasai jalanan.
Analis politik Karim Bitar melontarkan kekhawatirannya tentang kerumitan masalah yang akan terjadi berikutnya. ”Hezbollah dengan turun ke jalan dan berupaya memperlihatkan kekuatan dalam pertarungan ini... bisa berujung pada bentrokan-bentrokan besar dan destabilisasi di seluruh wilayah negara itu,” ujarnya.
Adapun Maha Yahya, Direktur Carnegie Middle East Center, menyebut kekerasan dalam baku tembak itu mengingatkan luka-luka lama yang belum sembuh dari perang saudara di Lebanon.
Jaringan persaingan sektarian Lebanon diperumit oleh kepentingan asing. Posisi keseimbangan kekuatan Lebanon saat ini condong memperkuat Hezbollah dan sekutunya selama bertahun-tahun. Hezbollah, yang didirikan oleh Garda Revolusi Iran, telah menjadi kelompok yang lebih kuat daripada Pemerintah Lebanon.
Kelompok tersebut memandang penyelidikan atas ledakan pelabuhan Beirut tahun lalu sebagai bagian dari kampanye yang didukung Amerika Serikat untuk menghilangkan pengaruh mereka. Hezbollah juga menuduh Washington ikut campur dalam penyelidikan untuk melayani kelompok anti-Hezbollah. (AP/AFP/REUTERS/SAM)