AS mendominasi perolehan penghargaan Nobel, termasuk tahun ini. Itu karena dukungan iklim dan dana penelitian di lingkungan akademik di negara. Iklim ini kondusif bagi para ilmuwan melahirkan karya penemuan terbaik.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Delapan dari 13 peraih penghargaan Nobel tahun ini berkewarganegaraan Amerika Serikat. Tradisi dominasi AS sebagai ladang peraih Nobel ini menunjukkan kekuatan dunia akademik sekaligus kemampuan AS menarik orang-orang dengan bakat terbaik dari seluruh dunia.
Sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di AS selama ini secara konsisten mendominasi daftar peringkat 100 kampus terbaik di dunia. Perguruan tinggi swasta AS terkenal mewah dengan besarnya sumbangan yang masuk, sementara perguruan tinggi negeri dikenal bergengsi.
Sejak penghargaan Nobel pertama kali diberikan tahun 1901, AS sudah mengumpulkan 400 medali. Setelah AS, ada Inggris dengan 138 medali, lalu Jerman dengan 111 medali. ”Saya menghargai kesempatan yang sudah diberikan negeri ini (AS) selama ini kepada saya,” kata Ardem Patapoutian, salah satu penerima Nobel Kedokteran tahun ini untuk hasil karyanya pada reseptor saraf yang berhubungan dengan sentuhan.
Patapoutian, warga AS berdarah Armenia, yang dibesarkan di Lebanon, mengakui keberhasilannya itu berkat sistem pendidikan di Universitas California yang didanai publik AS. Ia mendapatkan gelar sarjana dan menyelesaikan pascadoktoralnya dari kampus itu serta berkarya di Institut Penelitian Scripps selama 20 tahun terakhir ini.
Rekan Patapoutian yang juga peraih Nobel, David Julius, juga berasal dari Universitas California. Selama ini, secara keseluruhan, Universitas California mendapatkan 70 Nobel. Jumlah ini hampir sama dengan yang diraih Perancis. Negara ini berada di peringkat keempat daftar negara penghasil peraih Nobel.
Iklim akademik di AS yang mendukung pengembangan karya intelektual juga dialami Syukuro Manabe, peraih Nobel Fisika tahun ini. Manabe meninggalkan Jepang tahun 1950-an.
Selama berada di AS, ia mengaku bisa maksimal mengembangkan pekerjaan dan inovasinya di Universitas Princeton di New Jersey. Manabe juga merasa, selama berkarya di AS, ia bisa menuntaskan rasa ingin tahunya. Itulah kunci kesuksesannya hingga berhasil meraih Nobel, katanya.
Salah satu peraih Nobel Kimia, David MacMillan, juga pindah ke AS dari Skotlandia pada 1990-an dan menjadi guru besar di Universitas Princeton.
Kampus Princeton pun termasuk salah satu ”tambang” bakat Nobel. Peraih Nobel Perdamaian, Maria Ressa, pun kuliah di Universitas Princeton dan lulus tahun 1986. Begitu pula dengan peraih Nobel Ekonomi, David Card (warga negara Kanada-AS) dan Joshua Angrist (Israel-AS) yang juga lulusan Princeton. Ada juga Guido Imbens (Belanda-AS) di Universitas Stanford.
Kampus Princeton pun termasuk salah satu ’tambang’ bakat Nobel.
Salah satu pemenang Nobel Kedokteran 1975, David Baltimore, menilai, inti dari kesuksesan AS ada pada pendanaan kuat untuk studi penelitian dasar demi meningkatkan teori ilmiah atau pemahaman pada subyek. Hasilnya akan diperoleh beberapa tahun kemudian.
”Ini kekuatan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, seperti Harvard, sejak berabad-abad lalu. Dukungan mereka juga berkelanjutan tanpa henti,” kata Baltimore, yang kini menjadi Presiden Emeritus Guru Besar Biologi di Caltech.
Penekanan dan fokus AS pada penelitian dasar berawal sejak Perang Dunia II dan pembentukan Yayasan Sains Nasional tahun 1950. Yayasan itu yang terus mengoordi- nasikan pendanaan dari pemerintah federal ke perguruan tinggi saat ini. Selain itu, pembiayaan penelitian juga berasal dari filantropi dan sumbangan pribadi.
China mencoba mengejar AS dalam hal pendanaan penelitian ini. AS mengalokasikan 569 miliar dollar AS per tahun 2017, sementara China 496 miliar dollar AS. Namun, menurut Presiden Masyarakat Kimia AS HN Cheng, China masih menghadapi tantangan terkait dengan kebebasan akademik dan kemampuan untuk menarik orang-orang dengan bakat terbaik.
AS menjadi pusat ilmu pengetahuan, seperti halnya saat mendominasi kompetisi olahraga internasional, semisal Olimpiade, karena memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. AS menjadi kuat di olahraga karena infrastruktur olahraga pun kuat.
”Ilmuwan pasti akan mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Tidak hanya di bidang akademik, tetapi juga di bidang industri, laboratorium pemerintah, dan peluang-peluang lainnya,” kata Cheng.
Guru Besar Emeritus Fisika di MIT Marc Kastner menambahkan, berbagai perguruan tinggi AS memiliki sejarah panjang dalam memberikan penghargaan kepada peneliti muda yang cerdas dengan laboratorium mereka sendiri. ”Di negara-negara seperti Eropa dan Jepang ada kelompok-kelompok besar yang dipimpin guru besar-guru besar senior yang akan digantikan orang yang lebih muda setelah mereka pensiun dan pada saat itu mereka tidak lagi memiliki ide terbaik,” ujarnya.
Misalnya, ahli saraf dari Universitas Harvard, Catherine Dulac, yang memenangi Penghargaan Terobosan 2021 untuk karya mengenai naluri orang tua. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Perancis pada usia 20-an karena ia hendak mengisi kekosongan itu.
Belakangan, ada kekhawatiran penurunan imigran ke AS pada masa depan akan memengaruhi dominasi keilmuan AS. ”Selama ini, AS terbuka,” kata Stefano Bertuzzi yang pindah ke AS dari Italia dan kini menjadi CEO Masyarakat AS untuk Mikrobiologi.
Bertuzzi dan Kastner khawatir dengan meningkatnya tren xenofobia dan nasionalisme. Ini membuat AS kini kurang diminati sebagai negara tujuan pendidikan dan berkarya. Ini sudah terjadi kepada pelajar dan mahasiswa China yang banyak meninggalkan AS semasa periode kepemimpinan Presiden AS Donald Trump karena mereka dicurigai menjadi mata-mata. (AFP)