Pembatasan listrik lebih lanjut dapat meningkatkan tekanan biaya yang dihadapi para eksportir China. Padahal, mereka sebelumnya sudah bergulat dengan margin keuntungan yang diperas karena kemacetan pasokan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Krisis energi di China dikhawatirkan semakin memburuk. Penjatahan listrik untuk industri dan rumah tangga kemungkinan akan berlanjut hingga awal tahun 2022. Imbas lebih jauh krisis ini bakal memukul ekspor China.
Jajak pendapat Reuters terhadap 30 ekonom, Selasa (12/10/2021), menunjukkan, ekspor China pada September diperkirakan tumbuh 21 persen secara tahunan. Proyeksi ini menurun karena pertumbuhan ekspor China pada Agustus tercatat 25,6 persen. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan, impor China diproyeksikan melambat dan surplus perdagangan mengecil.
Impor kemungkinan naik 20 persen pada September dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, impor China pada Agustus tercatat tumbuh 33,1 persen. Analis lembaga Nomura mengatakan, harga minyak yang lebih tinggi dan penguatan nilai tukar mata uang yuan sejak pertengahan 2020 kemungkinan akan menopang nilai keseluruhan impor. Namun, tekanan atas impor bisa muncul akibat penurunan harga beberapa komoditas baru-baru ini.
Upaya transisi China menuju energi bersih berkelindan dengan meningkatnya permintaan industri dan tingginya harga komoditas. Dinamika itu turut menghentikan produksi di banyak pabrik di China. Pabrik-pabrik yang terdampak di antaranya pemasok merek global, seperti Apple dan Tesla.
Aktivitas pabrik China secara tak terduga menyusut pada September karena pembatasan listrik dan kenaikan harga energi. ”Penjatahan listrik di China kemungkinan akan berlanjut hingga triwulan I-2022 karena kebijakan lingkungan bertabrakan dengan kekurangan bahan bakar dan energi terbarukan,” kata Jian Chang, kepala ekonom China pada lembaga keuangan Barclays. ”Kami percaya konsumen listrik berbasis rumah tangga akan diprioritaskan selama musim dingin sehingga berdampak atas produksi pabrik-pabrik.”
Penjatahan listrik di China kemungkinan akan berlanjut hingga triwulan I-2022 karena kebijakan lingkungan bertabrakan dengan kekurangan bahan bakar dan energi terbarukan.
Menurut analis, pembatasan listrik lebih lanjut dapat meningkatkan tekanan biaya yang dihadapi para eksportir China. Padahal, mereka sebelumnya sudah bergulat dengan margin keuntungan yang tipis karena kemacetan pasokan dan kenaikan biaya tenaga kerja. Perusahaan kecil yang terjebak dalam krisis energi berkepanjangan di China mencoba beralih ke generator diesel. Produksi listrik dengan cara itu diperkirakan lebih mahal biayanya dibandingkan harga dari pasokan listrik pemerintah. Cara itu dipilih para pelaku usaha di China agar usaha mereka tidak tutup.
Setelah pemulihan yang cepat dari tekanan akibat pandemi Covid-19, ekonomi China melambat sejak paruh kedua tahun ini. Hal itu memicu ekspektasi bahwa Pemerintah China perlu meluncurkan lebih banyak kebijakan stimulus. Namun, pemerintah lebih memilih meliberalisasi harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batubara. Semula tarif dan konsumsi listrik di China dikendalikan pemerintah.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China, Selasa, menyatakan, per 15 Oktober 2021 semua listrik yang dihasilkan dari pembangkit bertenaga batubara akan dijual dengan patokan harga pasar. Konsumen listrik industri dan komersial di China pun harus membeli langsung dari pasar atau melalui agen pemasok listrik. Kebijakan itu diharapkan dapat mendorong para produsen listrik untuk meningkatkan produksi mereka.
Impor batubara
Krisis energi juga makin membelit perekonomian India. Sebagai upaya mendongkrak pasokan sumber energi, Pemerintah India, Selasa, meminta perusahaan penghasil listrik untuk mengimpor hingga 10 persen kebutuhan batubara mereka. Langkah ini diperkirakan bisa mendorong kenaikan harga batubara global yang sudah melambung. Biasanya perusahaan-perusahaan listrik ini hanya mengimpor sangat sedikit batubara.
Pasokan di sebagian besar pembangkit listrik tenaga batubara di India dilaporkan telah menyusut dan hanya cukup untuk menyuplai kebutuhan beberapa hari saja. Kekurangan pasokan itu memicu kekhawatiran akan potensi pemadaman listrik di beberapa bagian India. Sekitar 70 persen pasokan listrik di India dihasilkan dari batubara.
Para ahli mengatakan, krisis energi itu dapat mengganggu upaya baru India untuk meningkatkan manufaktur. Pemadaman listrik dan kekurangan listrik selama bertahun-tahun telah mereda di kota-kota besar, tetapi cukup umum di beberapa kota kecil. Data Kementerian Energi India menunjukkan, dari 135 pembangkit listrik tenaga batubara India, 108 di antaranya memiliki stok sangat rendah. Sebanyak 28 pembangkit di antaranya anjlok dan hanya mampu menopang pasokan untuk satu hari saja.
Pemerintah India memperingatkan negara-negara bagian bahwa perusahaan federal akan membatasi pasokan daya jika mereka kedapatan menjual listrik dengan imbalan uang lantaran harga tinggi.
India merupakan produsen batubara terbesar kedua dan pemilik cadangan batubara terbesar keempat di dunia. Namun, lonjakan permintaan energi menjadikan pasokan dari perusahaan batubara milik pemerintah tidak cukup. Aktivitas perekonomian yang meningkat setelah gelombang kedua pandemi Covid-19 memicu naiknya permintaan batubara. Akibatnya terjadi kekurangan suplai yang memaksa negara bagian, seperti Bihar, Rajasthan, dan Jharkhand, membatasi aliran listrik selama 14 jam per hari.
Jepang pun mulai merasakan imbas krisis energi ini. Dilaporkan, harga listrik di Jepang pada pekan ini telah naik ke level tertinggi dalam kurun sembilan bulan. Ini terjadi akibat dampak kenaikan harga minyak, gas alam cair, dan batubara.
Bagi Jepang, yang mengimpor mayoritas kebutuhan energi, naiknya harga minyak, gas, dan batubara mendorong inflasi. Harga barang-barang grosir melonjak ke level tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Muncul kekhawatiran Jepang akan menghadapi pengalaman buruk pada musim dingin tahun lalu. Kala itu, harga listrik mencapai rekor tertinggi dan jaringan listrik Jepang nyaris gagal memasok kebutuhan listrik bagi seluruh negeri. (AFP/REUTERS)