Kegagalan Mengelola Keberagaman Menjadi Sumber Konflik di Afrika
Kegagalan mengelola keberagaman di Benua Afrika menjadi akar munculnya beraneka konflik. Persoalan itu tidak pernah diselesaikan hingga tuntas sehingga menjadi bara dalam relasi sosial antarwarga.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kegagalan mengayomi dan menghargai kemajemukan masyarakat disepakati sebagai penyebab berbagai konflik di Benua Afrika. Perserikatan Bangsa-Bangsa menelusuri, segala jenis diskriminasi sosial, politik, dan ekonomi di benua ini berhulu pada diskriminasi berbasis ras dan kelompok etnis.
”Banyak ditemukan kasus orang-orang ditolak untuk mengakses layanan kesehatan, pendidikan, bahkan mengutarakan pendapat karena ia berasal dari kelompok etnis tertentu, memiliki warna kulit tertentu, atau menganut kepercayaan minoritas,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam Sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, pada Rabu (13/10/2021). Sidang kali ini dipimpin oleh Kenya.
Guterres memaparkan jumlah kelompok separatis, kelompok bersenjata, dan kelompok terorisme semakin meningkat. Mereka semua menggunakan sentimen perbedaan untuk menyebar stigma terhadap kelompok yang berbeda dari mereka. Akibatnya, masyarakat terhasut sehingga menimbulkan konflik terselubung yang di beberapa wilayah, seperti Tigray di Ethiopia dan di Nigeria, pecah menjadi konflik terbuka.
Metode pencarian jalan keluar untuk isu konflik berbasis kemajemukan masyarakat juga dinilai PBB masih dari atas ke bawah. Pemerintah menggunakan militer untuk mengepung dan menekan kelompok pemberontak. Ketika pertikaian terbuka berakhir, kecurigaan dan kebencian di masyarakat tidak disembuhkan. Sikap saling bermusuhan masih terpendam walaupun tidak ditunjukkan secara terang-terangan.
”Oleh sebab itu, PBB mengimbau agar dalam mencari solusi, semua aspek masyarakat harus dilibatkan. Mereka yang semestinya merumuskan konstruk sosial yang adil bagi semua kelompok etnis,” kata Guterres.
Benua Afrika memiliki 54 negara. Konflik merupakan peristiwa yang masih terjadi sampai sekarang. Saat ini, konflik terbesar di Afrika terjadi di Tigray, Etiopia. PBB mengatakan, situasi krisis kemanusiaan di sana sudah parah. Terdapat 400.000 perempuan dan anak yang menderita kekurangan gizi akut. Pemerintah Etipoia tidak menerima kritik dan saran PBB. Pekan lalu, perwakilan PBB di Etiopia diusir oleh pemerintah.
Pada awal tahun 2021, konflik terjadi di tenggara Nigeria oleh kelompok separatis dari etnis Biafra. Pasukan Pemerintah Nigeria kemudian mengepung dan mendeklarasikan perang dengan kelompok separatis itu. Presiden Muhammad Buhari kerap mencuit di Twitter membanggakan kekuatan militernya menumpas separatis. Akibatnya, Twitter menghapus unggahan Buhari atas tuduhan menghasut massa dan mempromosikan tindak kekerasan.
Di depan peserta sidang DK PBB, Presiden Afrika Selatan periode 1999-2008 Thabo Mbeki dalam pemaparannya mengingatkan mengenai konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Pada 1990-an ada perang saudara di Rwanda antara suku Tutsi dan Hutu. Di Sierra Leone, konflik meletus pada tahun 1991 dan berakhir pada 2004 setelah jutaan rakyat menjadi korban. Demikian pula dengan letupan-letupan di Kongo, Sudan, Pantai Gading, dan Burundi.
Perkataan Mbeki diamini oleh Presiden Kenya Uhuru Kenyatta. Kepala negara yang namanya masuk ke dalam Berkas Pandora ini mengatakan, mayoritas pemerintah masih menggantungkan strategi politiknya dari kebijakan populis. ”Sangat disayangkan jika kebijakan populis ini berlandaskan penindasan kepada minoritas di suatu negara,” ujarnya.
Kenyatta, menurut rencana, akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington pekan ini. Menurut keterangan dari Gedung putih, keduanya akan membicarakan konflik di Tigray yang berbatasan langsung dengan Kenya. Negara ini berniat meminta bantuan AS untuk melawan potensi munculnya gerakan terorisme.
Masalah lebih lanjut dari krisis kemanusiaan ini adalah krisis migran. Organisasi Migran Internasional (IOM) menghitung bahwa dari tahun 1965 hingga 2021, rata-rata ada 440.000 ribu orang meninggalkan Benua Afrika setiap tahun. Umumnya mereka menuju ke Eropa demi mencari peruntungan. Alasan mereka meninggalkan kampung halaman ialah akibat tidak ada pekerjaan, tidak ada tempat tinggal, dan masalah keamanan. Apabila ditarik, akar permasalahannya ialah konflik berkepanjangan akibat diskriminasi kelompok etnis tertentu.
Data yang dihimpun lembaga statistik global, Statista, di tahun 2021 ada 459 migran yang tewas ketika berusaha menyeberang ke Eropa. Beberapa hari lalu, di kemah penahanan migran di Libya, aparat menembak mati enam migran yang berupaya melarikan diri. Tindakan ini dikecam oleh dunia internasional. (AP)