Keterbatasan Energi Pangkas Perekonomian China
Beijing memutuskan keringanan pajak kepada perusahaan pembangkit listrik demi melancarkan arus kas mereka. Perbankan dan lembaga keuangan China juga diminta menyediakan pendanaan bagi perusahaan pembangkit listrik.
BEIJING, SENIN — Perekonomian China 2021 bisa terpangkas 0,79 persen gara-gara krisis energi. Lebih dari separuh provinsi China terpaksa memadamkan listrik secara massal gara-gara kekurangan pasokan listrik hingga beberapa gigawatt.
Pemerintah Provinsi Liaoning mengumumkan kekurangan daya mencapai 4,74 gigawatt (GW) pada Senin (11/10/2021). Karena itu, pemadaman massal terus berlanjut. Sepanjangan Oktober 2021, sudah lima kali Liaoning mengumumkan defisit listrik sehingga harus ada pemadaman massal. Kondisi serupa juga terjadi pada September 2021. Bahkan, ada periode defisit mencapai 5,4 GW.
Baca Juga Pemadaman Listrik di China, Pasokan Barang Global Bisa Terganggu
Bersama Jilin dan Heilongjiang, Liaoning dikenal sebagai daerah industri lama di China. Di antara trio itu, Lioaning mengonsumi lsitrik paling banyak. Sejak pertengahan September 2021, Liaoning kekurangan daya rata-rata hingga 20 persen dari permintaan. Untuk menghemat daya, Jilin dan Liaoning sampai mematikan lampu pengatur lalu lintas.
Dari 31 provinsi di China, 20 mengalami defisit daya. Dampaknya, pasokan ke rumah hingga pabrik dikurangi. Bahkan, semakin banyak pabrik hanya beroperasi paling lama 12 hari dalam sebulan.
Bank investasi asal Perancis, BNP Paribas, memperkirakan produk domestik bruto China pada September dan Desember 2021 terpangkas 2 persen. Sementara PDB 2021 bisa terpangkas 0,76 persen gara-gara krisis energi ini.
Pemangkasan proyeksi kinerja perekonomian terutama dipicu fakta banyak industri terpaksa berhenti. Padahal, perekonomian China tengah berusaha memulihkan diri dari dampak pandemi Covid-19. Sejumlah industri konsumen besar listrik seperti aluminium, baja, semen hingga pengolah kedelai sudah terdampak pemadaman massal.
Gangguan pengolahan kedelai bisa berdampak serius pada China. Kedelai menjadi salah satu bahan utama konsumsi warga China dengan mengolahnya menjadi kecap, minyak, dan tahu. Kedelai juga sumber pakan penting bagi industri peternakan China. Para peternak cemas tidak mendapat pasokan kedelai memadai untuk babi dan ayam mereka.
Standard&Poor’s, salah satu lembaga pemeringkat kinerja negara dan badan usaha, mencatat sejumlah komoditas sudah naik harganya gara-gara krisis energi di China. Sebab, China menjadi produsen besar pada beberapa komoditas seperti aluminium. London Metal Exchange (LME), bursa berjangka yang menjadi acuan harga logam global, mencatat harga aluminium sudah naik 900 dollar per metrik ton pada periode Maret-Oktober 2021. Pada pekan pertama Oktober 2021, harga aluminium sudah menembus 3.011 dollar AS per metrik ton.
Upaya mengatasi
Pemerintah beberapa provinsi China sudah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi defisit energi. Jilin memutuskan menambah impor batubara dari Rusia, Mongolia, dan Indonesia. Sementara Zhejiang mulai menerima mengimpor batubara dari Kazakhstan untuk pertama kalinya.
Beijing juga mengizinkan produksi batubara dalam negeri melewati kuota. Produsen utama batubara China, yakni Mongolia Dalam, Shaanxi, dan Shanxi diizinkan melewati kuota produksi 2021.
Baca Juga: Krisis Energi Berdampak pada Ketersediaan Pangan Dunia
Sayangnya, hanya Mongolia Dalam dan Shaanxi bisa meningkatkan produksi dalam waktu singkat. Di Mongolia Dalam, izin melebihi kuota produksi diberikan kepada 72 lokasi tambang.
Sementara Shanxi belum bisa memacu produksi gara-gara hujan deras. Hingga akhir pekan lalu, 60 tambang batubara di Shanxi berhenti beroperasi gara-gara kebanjiran. Tambang yang tidak kebanjiran pun sulit memasok batubara ke konsumen. Sebab, jalan-jalan di antara tambang dengan tempat penjualan terendam banjir. Pengemudi truk batubara harus memilih memutar atau menunggu banjir surut.
Tidak hanya membeli batubara, ada juga pemerintah daerah yang memutuskan menambah impor listrik dari Rusia. Heilongjiang menambah waktu impor dari 5 jam menjadi 16 jam sehari.
Langkah-langkah itu dipicu alasan ekonomi dan keselamatan warga. China mulai memasuki musim dingin pada Oktober 2021. Tanpa pemanas, yang beroperasi dengan listrik, batubara, atau gas, warga bisa kedinginan lalu sakit atau bahkan meninggal.
”Pasokan batubara dan listrik amat penting keselamatan warga dan kestabilan ekonomi. Pasokan harus dijamin. Memastikan keamanan energi dan menjadi kestabilan rantai pasok serta industri adalah bagian dari program prioritas dan butuh perlindungan,” kata Perdana Menteri China Li Keqiang.
Beijing memutuskan keringanan pajak kepada perusahaan pembangkit listrik demi melancarkan arus kas mereka. Perbankan dan lembaga keuangan China juga diminta menyediakan pendanaan bagi perusahaan pembangkit listrik. ”Mekanisme untuk mengoordinasi pasokan listri, batubara, minyak, dan gas akan diperbaiki. Kebijakan berdasarkan pendekatan pasar akan diterapkan, untuk memastikan pasokan listrik dan batubara,” kata Li.
Penyebab
Dosen senior pada Beijing Institute of Petrochemical Technology, Yang Jun, menilai keputusan Beijing sudah tetap. ”Tarif listrik yang lebih lentur dan mencerminkan kondisi pasar akan memberi insentif pada perusahaan listrik. Dengan demikian, keamanan pasokan lebih terjamin,” ujarnya kepada Global Times, media yang dekat dengan Pemerintah China.
Baca Juga: Asia-Eropa Hadapi Dilema Penggunaan Bahan Bakar Fosil
Mekanisme tarif listrik memang menjadi salah satu penyebab krisis energi di China. Tarif dan konsumsi listrik di China dikendalikan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah hanya mengendalikan tarif listrik dan tidak mengendalikan harga batubara. Sepanjang 2021, harga batubara sudah melonjak dari 87 dollar AS per metrik ton pada Januari 2021 menjadi lebih dari 200 dollar AS per metrik ton pada Oktober 2021. Hingga 68 persen listrik China dipasok dari pembangkit yang menggunakan batubara.
Kenaikan harga, antara lain, disebabkan keterbatasan produksi. Di China sepanjang 2021, konsumsi energi naik 11 persen pada Januari-Agustus. Di beberapa provinsi, kenaikan konsumsi energi malah mendekati 20 persen. Sementara pada periode yang sama, produksi batubara hanya naik 4 persen.
Tidak hanya batubara yang naik, minyak dan gas alam juga melonjak harganya. Akibatnya, banyak negara kembali beralih ke batubara. Bahkan, Eropa yang getol mengampanyekan penghentian penggunaan batubara sekali pun ikut menggunakan lagi batubara.
Karena kenaikan harga batubara melebihi batas maksimal kenaikan tarif listrik, banyak perusahaan produsen listrik memutuskan membatasi listrik. Sebab, mereka akan rugi besar jika memproduksi lebih banyak listrik. Semakin banyak produksi listrik, berarti semakin banyak membutuhkan batubara.
China sebenarnya sudah berusaha menambah energi dari sumber terbarukan. Akan tetapi, produksi listrik dari pembangkit angin, air, dan matahari juga sedang melambat selama musim dingin. Banyak pembangkit tenaga angin kekurangan daya karena angin tidak berhembus cukup kencang untuk menggerakkan baling-baling pemutar turbin.
Selain itu, fakta 68 persen listrik dipasok oleh pembangkit batubara memang jadi penyebab pemadaman massal. Pembangkit batubara memang menghasilkan polusi paling besar.
Alasan lain pemadaman massal adalah kebijakan pengendalian emisi. Untuk mengejar target pengendalian gas rumah kaca, Beijing menetapkan kuota energi. Banyak pemerintah provinsi sudah menghabiskan mayoritas kuota 2021 demi memacu perekonomian yang sedang berusaha pulih dari dampak Covid-19. Pada Juli 2021, Beijing telah memperingatkan beberapa provinsi soal kuota itu. Provinsi lain tidak mau mendapat peringatan dari pemerintah pusat sehingga memutuskan mulai menghemat penggunaan listrik. (AFP/REUTERS)