Spiral kekerasan di Afghanistan seolah tak berujung. Siapa pun memerintah negeri itu, kekerasan terus berkobar. Afghanistan tak bisa sendirian memadamkannya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Hampir dua bulan kelompok Taliban memerintah negara Afghanistan. Belum terlihat tanda kelompok itu bakal mampu menyelesaikan segudang persoalan: krisis ekonomi, kemiskinan, keamanan, stabilitas pemerintahan, hingga pengakuan internasional atas kekuasaan mereka. Di bawah Taliban, negeri itu tak menampakkan tanda bisa menghentikan kekerasan, yang telanjur kronis. Di Afghanistan, penguasa bisa berganti, tetapi—kenyataannya—kekerasan tidak berubah.
Teror kekerasan terbaru di negara itu meletus, Jumat pekan lalu. Bom bunuh diri menarget jemaah shalat Jumat di masjid warga minoritas Syiah di Kunduz, Afghanistan utara, 336 kilometer utara ibu kota Kabul. Sedikitnya 46 orang tewas. Ini kekerasan besar kedua saat Taliban menguasai negara itu. Agustus lalu di tengah evakuasi warga asing, bom bunuh diri meledak di dekat bandara Kabul, menewaskan lebih dari 100 warga Afghanistan dan 13 tentara AS. Kedua serangan diklaim Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Khorasan, NIIS-K.
Sudah lama diketahui, sejak Taliban masih menjadi milisi perlawanan, NIIS-K bersaing ketat dengan Taliban dalam mengobarkan kekerasan di Afghanistan. Kelompok itu mencibir keberhasilan Taliban berkuasa di negeri tersebut sebagai hasil kolaborasi dengan AS, merujuk pada kesepakatan AS-Taliban, Februari 2020. Dengan kesepakatan ini, AS keluar dari Afghanistan dengan imbal balik berupa jaminan Taliban bahwa Afghanistan tak akan dijadikan pangkalan teroris untuk menyerang wilayah AS dan negara-negara sekutunya.
Rupanya, dari dua bulan pertama memerintah, Taliban tidak terlihat segera mampu meredam NIIS-K. Setelah tak ada lagi pasukan AS, NIIS-K lebih leluasa. Mereka tak lagi khawatir jadi target gempuran udara AS, seperti sebelumnya. Bukan itu saja, seperti ditulis Cole Bunzel, editor blog Jihadica dan peneliti pada Hoover Institution, Stanford University, NIIS-K juga mengapitalisasi realitas baru di Afghanistan dengan memosisikan diri sebagai gerakan jihad alternatif selain Taliban. (Foreign Affairs, 14 September 2021)
Hal ini membuat AS menawarkan kerja sama melawan terorisme pada Taliban dalam perundingan di Doha, Qatar, Minggu (10/10/2021). Opsi serangan udara, termasuk dengan pesawat nirawak, ke Afghanistan telah dikaji petinggi militer di rapat Senat AS, akhir September lalu. Dalam perundingan pekan lalu, Taliban menolak tawaran AS tersebut.
Bagi Taliban, teror NIIS-K ke depan bisa menjadi duri dalam daging, terutama dalam memulihkan ekonomi dan keamanan di Afghanistan. Di sinilah perlunya mereka bekerja sama—pertama-tama dengan mendapat pengakuan—bersama masyarakat internasional. Untuk itu, Taliban perlu segera mewujudkan janji yang pernah dilontarkan, yakni pemerintahan inklusif, penghormatan hak-hak perempuan, dan mengayomi semua elemen masyarakat di Afghanistan.