Krisis iklim adalah masalah semua orang sehingga perlu komitmen dan kerja sama semua pihak untuk mencapai target-target Kesepakatan Paris 2015. Untuk menekan emisi, mau tak mau harus didorong transisi sumber energi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman dampak perubahan iklim sungguh nyata. Bencana yang ditimbulkan kian parah seperti kebakaran hutan, banjir, kekeringan, dan suhu panas ekstrem yang belum pernah terjadi. Tidak ada cara lain selain bekerja sama mengurangi emisi hingga tercapai target net zero pada 2050. Butuh kerja sama dari semua pihak, terutama anak muda yang harus dilibatkan dalam proses diskusi perumusan kebijakan terkait dengan isu lingkungan dan perubahan iklim.
Hal ini mengemuka dalam pembukaan Pekan Diplomasi Iklim 2021 atau Climate Diplomacy Week (CDW) melalui webinar, Senin (11/10/2021). Dalam pembukaan itu, hadir Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Piket, Dubes Denmark untuk Indonesia Lars Bo Larsen, Dubes designate Jerman untuk Indonesia Ina Lepel, dan Dubes Polandia untuk Indonesia Beata Stoczyńska.
CDW merupakan kampanye tahunan yang diadakan Uni Eropa di seluruh dunia untuk mendorong dialog dan kerja sama dalam melawan perubahan iklim. Selain itu, CDW juga berbagi kisah sukses dan menebarkan inspirasi untuk aksi menghadapi perubahan iklim. CDW di Indonesia tahun ini berlangsung pada 11-16 Oktober 2021 dengan 16 kegiatan yang fokus pada tema ”Ambisi dan Aksi”. Salah satu kegiatan itu ialah tantangan media sosial Aksi Iklimku dan penggunaan tagar #Act4Green.
”Dibutuhkan aksi berskala lebih besar dan mendesak demi melindungi Bumi. Untuk mencegah kenaikan suhu agar tak sampai 1,5 derajat celsius, semua harus bergerak demi masa depan lebih baik dan kesehatan rakyat terjaga,” kata Dubes UE untuk Indonesia Vincent Piket.
Meski sudah ada banyak target untuk mencapai net zero dan pencegahan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius di Kesepakatan Paris 2015, diakui belum semua negara memenuhi komitmen untuk mengurangi emisi. Namun, setidaknya negara-negara anggota Uni Eropa sudah mulai bergerak ke arah transisi dari sumber energi fosil menuju sumber energi terbarukan. UE berkomitmen bisa menurunkan emisi hingga 50 persen—dibandingkan tahun 1990—dan menjadi nol pada 2050.
”UE tidak bisa sendirian. Lagi pula krisis iklim dialami semua negara sehingga upaya mengurangi emisi harus dilakukan juga oleh semua,” kata Piket.
Dubes Polandia untuk Indonesia Beata Stoczyńska mengakui perekonomian Polandia masih bergantung pada penggunaan energi batubara. Namun, pada saat yang bersamaan Polandia juga memperluas penggunaan sumber energi terbarukan dan mengurangi penggunaan batubara untuk menekan emisi gas rumah kaca. ”Ini memang tidak gampang dilakukan, tetapi kami berproses menuju energi terbarukan. Saya rasa Indonesia juga menghadapi situasi yang sama,” ujarnya.
Terkait dengan upaya transisi energi, Dubes Denmark untuk Indonesia Lars Bo Larsen menjelaskan, isu iklim sebenarnya tak hanya menjadi ancaman yang merusak, tetapi juga bisa jadi peluang bagi investor atau kalangan industri di bidang pengembangan energi terbarukan hemat biaya. ”Banyak investor tertarik mengembangkan energi hijau. Indonesia bisa menjadi pemimpin global untuk urusan itu karena akan menjadi presiden G-20. Kami juga sudah bermitra dengan Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan,” ujarnya.
Dubes Jerman designate untuk Indonesia Ina Lepel mengingatkan banyak negara yang membahas keberlangsungan keanekaragaman hayati pascapandemi Covid-19, bukan hanya perubahan iklim. Pasalnya, jika keragaman hayati pun hilang, kehidupan di Bumi akan musnah. Kebakaran hutan dan bencana alam lain di Eropa menjadi buktinya. ”Dibutuhkan perubahan transformatif,” ujarnya.
Lepel juga menyinggung soal masih digunakannya batubara di Eropa. Posisi batubara memang penting sebagai sumber energi tradisional di Eropa, tetapi harus dikurangi dengan menekan pembiayaan pada energi batubara. Jerman tengah berusaha melakukan transisi energi pada 2030 dan akan mencoba mengurangi pembangkit listrik tenaga uap pada 2028.
Stoczyńska menegaskan, transisi energi dan mitigasi emisi karbon dioksida menjadi prioritas Polandia. Selama 30 tahun terakhir Polandia sudah melakukan banyak perubahan. Hasilnya perekonomian meningkat 300 persen dan emisi dikurangi sampai 30 persen. Indonesia merupakan mitra penting untuk agenda global dan UE telah banyak berkontribusi pada investasi teknologi serta sumber daya manusia di Indonesia. ”Kita tidak bisa bergantung hanya pada satu sumber energi, tetapi harus ada sumber energi lain,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan tingginya minat investasi sumber energi terbarukan dari UE seperti teknologi hijau berbentuk pengisi daya mobil listrik. Saat ini pun banyak program kerja sama teknologi hijau antara UE dan Indonesia yang sedang berjalan. Berbagai program ini dinilai Piket sudah mengalami banyak kemajuan. UE bisa berbagi banyak hal berdasarkan pengalaman UE selama ini. ”Masih ada pekerjaan rumah untuk menciptakan ruang investasi sumber energi terbarukan di Indonesia,” ujarnya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institut Reformasi Layanan Esensial (IESR), lembaga kajian bidang energi dan lingkungan, mengingatkan krisis iklim di Indonesia tak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah, tetapi juga dibutuhkan bantuan dari luar, termasuk komitmen finansial negara-negara maju untuk membantu menangani perubahan iklim. ”Sekitar 89 persen energi Indonesia dari fosil. Indonesia harus menggunakan energi terbarukan dan mengurangi PLTU secara bertahap,” ujarnya.
Steven Setiawan, salah satu delegasi Indonesia yang menghadiri pertemuan Youth4Climate di Milan, berharap anak muda dilibatkan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan lingkungan. Sebagai bentuk edukasi, ia berharap pendidikan iklim masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional. ”Saya berharap kolaborasi didorong dan kompetisi diakhiri. Lakukan peran masing-masing. Negara maju mendukung negara berkembang yang paling terdampak dan paling rentan perubahan iklim,” ujarnya.