Musik menjadi pilihan dua bersaudari di Mesir untuk mendobrak kekangan tradisi di masyarakat. Irama lagu mereka dibuat dalam pakem musik tradisional Mesir, tetapi liriknya sarat gugatan atas kekerasan pada perempuan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Mesir masih memiliki segudang masalah terkait pemberdayaan perempuan. Dua kakak beradik Marina dan Mariam Samir menggunakan keterampilan mereka sebagai pemusik untuk menyuarakan isu-isu yang kerap dianggap tabu oleh masyarakat. Harapannya, selain menikmati irama yang enak didengar, perlahan masyarakat bergerak dan memperbaiki situasi agar ramah dan berkeadilan bagi semua orang.
Marina dan Mariam tampil sebagai layaknya perempuan kelas menengah-atas Kairo. Cantik dan berpakaian modis. Akan tetapi, lagu-lagu yang mereka nyanyikan kaya dengan irama musik tradisional Mesir. Dari segi lirik, tidak ada yang tradisional sama sekali. Mereka menceritakan mengenai kekerasan domestik dan rumah tangga, pelecehan terhadap perempuan, serta praktik sunat perempuan.
Salah satu lagunya bercerita tentang pernikahan. Mempelai perempuan tampak begitu jelita memakai gaun yang indah dan perhiasan mewah, tetapi di balik semua itu penderitaan menunggunya. ”Masyarakat belum mengakui bahwa terdapat banyak pernikahan yang menjadi pintu masuk penganiayaan karena isu kekerasan domestik jarang sekali dibahas, bahkan diakui,” kata Marina kepada media Middle East Eye.
Marina dan Mariam membentuk grup musik ElBouma yang berarti ”burung hantu” pada 2014. Dua bersaudara ini sering membaca dan melihat berita mengenai masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai kekerasan berbasis jender. Praktik sunat perempuan, misalnya, secara legal dilarang oleh Pemerintah Mesir. Akan tetapi berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Mesir tahun 2014, 87 perempuan berusia 15-49 mengalami sunat. Lebih parahnya, sunat perempuan dilakukan bukan oleh tenaga kesehatan sehingga keamanannya tidak terjamin.
Dalam budaya Mesir, burung hantu dianggap sebagai lambang kesialan. Hewan ini juga dipakai untuk mengejek perempuan yang cerewet, galak, dan berwajah masam. ”Kami ingin mengambil alih pemaknaan buruh hantu dari sesuatu yang negatif menjadi positif, yaitu perempuan yang berani, pintar, dan berdaya,” kata Marina.
Ketika pertama kali merilis album, mereka berdua menyadari liriknya sangat kental sudut pandang perempuan kelas menengah perkotaan dan berpendidikan. Guna mencari sudut pandang yang otentik, Marina dan Mariam berkeliling Mesir hingga ke kampung-kampung untuk bertemu dengan perempuan di akar rumput.
Di sana, mereka mengadakan kegiatan musik dan bercerita. Para pesertanya pun berbagi pengalaman hidup mereka. Tekanan tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi dimulai dari kekerasan sosial dan psikis yang membentuk kepribadian perempuan untuk takut mengemukakan pendapat. Pendidikan dari usia dini pun mewajibkan perempuan menjadi sosok yang penurut dan tidak mandiri. Kalaupun ada perempuan atau keluarga yang menganggap fenomena ini keliru, mereka tidak tahu cara memulai perubahan.
Oleh sebab itu, musik menjadi salah satu jalan keluar. Medium ini lebih mudah diterima oleh masyarakat, apalagi irama lagu-lagu ElBouma sengaja dibuat dalam pakem musik tradisional Mesir agar para pendengarnya tidak kaget. ”Ini agar pendengar mudah-mudahan bisa menyadari bahwa masalah yang kami nyanyikan sebenarnya terjadi sehari-hari di sekitar kita. Bahkan, mungkin di keluarga kita atau kepada diri kita sendiri,” kata Mariam.
Sepeda motor
Sejumlah hal dilakukan perempuan Mesir untuk mendobrak kekangan tradisi. Salah satunya dengan mengendarai sepeda motor. Dilansir dari kantor berita China, Xinhua, pekan lalu, puluhan perempuan mengendarai sepeda motor menempuh jalur Kairo-Suez sepanjang 30 kilometer. Mereka membuktikan bahwa perempuan sama lihainya mengemudikan kendaraan bermotor dengan laki-laki.
”Zaman sekarang perempuan harus bergerak dengan cepat, baik untuk bekerja maupun mengurus rumah tangga. Semakin banyak perempuan mengikuti sekolah mengemudi untuk belajar berkendara yang baik dan mengambil surat izin mengemudi,” kata Wala Zouhier, pemilik sekolah mengemudi di Kairo.
Heba Ahmed, petugas radiologi di salah satu rumah sakit di Kairo, mengatakan, sudah hampir setahun ia mengendarai sepeda motor untuk bekerja. Setiap hari, ia menempuh jarak setidaknya 20 kilometer. Keluarganya mendukung ia berkendara selama memiliki SIM. Rekan-rekan kerja juga menyetujui bahwa perempuan berkendara sendiri bisa menghemat waktu perjalanan dan tidak perlu tergantung diantar-jemput oleh anggota keluarga laki-laki.
”Pengalaman di jalanan pun selalu positif. Saya tidak pernah diganggu pengendara lain. Perempuan sekarang bisa kuliah dan berkarier. Jadi, kenapa masyarakat masih menganggap perempuan berkendara itu tabu?” ujar Ahmed. (Reuters)