Kecelakaan Kapal Selam Menyingkap Kelemahan AS dan Sekutunya
Simulasi oleh peneliti Amerika Serikat menyimpulkan, AS akan kalah jika berperang dengan China. Kapal dan pesawat AS akan karam dan jatuh. China menghabiskan 25 tahun untuk mengembangkan senjata besar-besaran.
Oleh
kris mada
·6 menit baca
LT. MACK JAMIESON/US NAVY/AFP
Dalam gambar yang dirilis Angkatan Laut AS, tampak kapal selam pemburu, USS Connecticut (SSN 22), berangkat dari Pangkalan Angkatan Laut Kitsap-Bremerton untuk ditempatkan di Bremerton, Washington, 27 Mei 2021. Pada 2 Oktober 2021, kapal tersebut kecelakaan karena menabrak obyek bawah air di Laut China Selatan.
Amerika Serikat dan sekutunya mengerahkan empat kapal induk yang diiringi belasan kapal perang di Laut China Selatan pada awal Oktober 2021. Konvoi itu disertai pula puluhan pesawat tempur dan helikopter. Pesawat tempur tercanggih, F-35, juga ada dalam konvoi itu.
Semua itu tidak mampu membantu awak kapal selam pemburu USS Connecticut untuk mendeteksi sejumlah hal di bawah permukaan laut. Akibatnya, 11 awak USS Connecticut cedera kala kapal selam itu menabrak ”benda tidak dikenal” pada 2 Oktober 2021 di Laut China Selatan.
Dalam keterangan resmi pada Kamis (7/10/2021) siang waktu Hawaii atau Jumat dini hari WIB, Angkatan Laut AS mengungkapkan, kapal selam itu menabrak sesuatu pada Sabtu (2/10/2021) sore. ”Kapal selam aman dan stabil. Reaktor nuklir tidak terdampak dan bisa beroperasi. Sedang pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui kerusakan,” kata juru bicara Komando Armada Indo-Pasifik AS, Kapten Bill Clinton.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, tidak puas dengan pernyataan itu. ”AS harus memaparkan secara terperinci tentang apa yang terjadi, termasuk lokasi pasti kecelakaan, tujuan pelayaran, perincian kecelakaan, benda yang ditabrak, dan apakah tabrakan itu menimbulkan kebocoran bahan nuklir atau merusak kondisi lingkungan,” ujarnya dalam konferensi pers harian.
GRAY GIBSON/U.S. NAVY VIA AP
Grup kapal induk pemukul Kerajaan Inggris yang dipimpin HMS Queen Elizabeth (R 08) dan Pasukan Pertahanan Maritim Jepang dipimpin JS Ise (DDH 182) bergabung dengan grup kapal induk pemukul Angkatan Laut AS pimpinan USS Ronald Reagan (CVN 76) dan USS Carl VInson (CVN 70) berlayar di Laut Filipina, 3 Oktober 2021.
Ia menyebut, akar kecelakaan USS Connecticut adalah pemaksaan AS dan sekutunya berlayar di kawasan dengan dalih kebebasan berlayar. Insiden itu terjadi beberapa pekan setelah AS memutuskan membagi teknologi nuklirnya kepada Australia, negara yang tidak punya teknologi nuklir untuk senjata atau peralatan perang. Sejumlah pihak menyebut, kapal-kapal pemburu seperti USS Connecticut biasanya berlayar di kedalaman lebih dari 100 meter. Merujuk pada pernyataan Clinton bahwa USS Connecticut tetap aman dan stabil, diduga kapal selam itu menabrak kapal selam nirawak.
AS dan China menempatkan banyak benda itu di Laut China Selatan. Walakin, sebagian pihak menduga kapal selam itu menabrak sesuatu yang lebih serius sehingga 11 awaknya terluka.
Kapal nuklir
Bersama Rusia, AS-China mengoperasikan kapal selam bertenaga dan berpeluncur nuklir (SSBN) di Laut China Selatan. USS Connecticut adalah salah satu SSBN, kapal bertenaga nuklir dan bisa meluncurkan rudal nuklir, di perairan tersebut. Komando Armada Selatan China mengoperasikan hampir 20 kapal selam yang sebagian SSBN dan sebagian lain hanya bertenaga nuklir (SSN).
Beroperasi di bawah laut membuat kapal selam lebih sulit dideteksi dan hal itu menjadi unsur penggentarnya. Digerakkan oleh nuklir dan bisa meluncurkan nuklir membuat daya gentarnya meningkat. Karena itu, China serta AS dan sekutunya berusaha keras terus mencari keberadaan kapal selam lawan.
MASS COMMUNICATION SPECIALIST 2ND CLASS SAMANTHA JETZER/U.S. NAVY VIA AP
Pesawat F/A-18E Super Hornet mendarat di dek USS Ronald Reagan (CVN 76), 6 Juli 2020. Di dekatnya terlihat USS Nimitz (CVN 68) berlayar di Laut China Selatan.
South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSSPI) menyebutkan, AS meningkatkan operasi pengawasan di Laut China Selatan sepanjang tahun 2021 untuk mengetahui posisi kapal-kapal China, di permukaan dan di bawah laut. AS mengajak serta para sekutunya dalam rangkaian operasi itu.
Seperti diungkap AL AS, pada awal Oktober 2021, ada empat gugus tempur yang dipimpin USS Carl Vinson dan USS Ronald Reagan dari AS, HMS Queen Elizabeth dari Inggris, dan JS Ise dari Jepang. Kapal-kapal induk itu diiringi belasan kapal perusak dan fregat dari AS, Australia, Belanda, Inggris, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru. ”Mungkin ini pertama kali sejak krisis Selat Taiwan 1996 kita menyaksikan operasi kapal induk sebesar ini,” kata peneliti senior pada S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, Richard Bitzinger.
Konvoi itu disebut berusaha menunjukkan kekuatan kepada Beijing. ”Ada yang menyebutkan upaya provokasi,” kata Mark Valencia, peneliti pada National Institute for South China Sea Studies (NISCSS).
Komandan Gugus Tempur Carl Vinson Laksamana Pertama Dan Martin mengatakan, konvoinya mengangkut 10 unit F-35, 5 pesawat intai E-2D Hawkeye, dan 3 pesawat angkut CMV-22B Osprey. Kemampuan Osprey, menurut Martin kepada Defense News dan USNI, termasuk mengangkut mesin untuk F-35. Selain di USS Carl Vinson, F-35 juga ada di JS Ise. Sementara di USS Ronald Reagan terdapat sejumlah F-18. Di seluruh empat kapal induk AS-Inggris-Jepang itu total ada 67 pesawat dan helikopter. Sebagian berfungsi sebagai pemantau dan pemburu kapal selam.
AS dan para sekutunya dalam konvoi itu tidak mengungkap berapa kapal selam yang ikut serta. Keberadaan kapal selam di dekat konvoi itu baru terungkap pada 7 Oktober 2021 kala AS mengakui insiden yang melibatkan USS Connecticut. Pengungkapan itu menunjukkan, AS dan para sekutunya yang dilengkapi dengan puluhan pesawat dan kapal bisa kecolongan di bawah laut. Insiden juga membuat peringatan sejumlah pihak soal dampak perang AS-China semakin relevan.
XINHUA/CHEN JUNXIA
Yang Jiechi (kanan), Kepala Kebijakan Luar Negeri pada Politbiro Partai Komunis China, bertemu Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan (kiri) di Zurich, Rabu (6/10/2021).
Upaya menghindari perang, antara lain, dilakukan lewat pertemuan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dan Kepala Kebijakan Luar Negeri pada Politbiro Partai Komunis China Yang Jiechi di Zurich, Swiss, Rabu (6/10/2021). Sebelum pertemuan itu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan AS akan tetap mengakui kebijakan Satu China.
Hindari perang
Letnan Kolonel (Purn) Daniel Davis, pakar militer pada Defense Priorities, mengatakan, AS harus berusaha keras menghindari perang dengan China. Jika nekat berperang, menurut pensiunan Angkatan Darat AS itu, AS akan mengalami kekalahan serius dengan kapal-kapal yang tenggelam dan pesawat-pesawat yang jatuh. Ia setuju dengan pilihan Biden untuk mempertahankan ambiguitas sikap AS soal China-Taiwan. Washington hanya menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing sembari terus mempertahankan dukungan untuk Taipei.
Pilihan itu paling rasional mengingat kondisi sekarang. ”F-35 perkasa selama terbang. Jika di pangkalan, akan jadi sasaran empuk,” kata mantan Wakil Menteri Pertahanan AS Robert Work soal pesawat tercanggih AS dan sekutunya itu.
Mantan tenaga ahli Komite Militer Senat AS, Chris Brose, mengatakan, China saat ini berbeda dengan China di masa AS mengerahkan kapal induk ke Selat Taiwan pada 1996. Kala itu, China tidak punya rudal presisi dan kesulitan melacak kapal induk AS. Kini, Beijing punya berbagai jenis rudal canggih dan dengan mudah melacak kapal-kapal AS. ”Mereka (China) menghabiskan 25 tahun untuk mengembangkan senjata besar-besaran,” ujarnya.
RAND, lembaga kajian pertahanan AS, juga menyimpulkan AS akan kalah jika berperang dengan China. Kesimpulan itu dibuat dari berbagai simulasi dengan memanfaatkan data persenjataan para pihak. ”Bukan hanya pangkalan (AS) di kawasan (Indo-Pasifik), mereka (China) juga akan menyerang kapal-kapal (AS) di laut. Mereka akan menyerang satelit di angkasa. Mereka akan menyerang sistem komunikasi yang mayoritas beroperasi di angkasa. Mereka akan mengacau sistem komando operasi,” ujar peneliti RAND yang terlibat dalam rangkaian simulasi perang itu, David Ochmanek.
MASS COMMUNICATION SPECIALIST 3RD CLASS JASON TARLETON/U.S. NAVY VIA AP, FILE
Grup kapal induk pemukul USS Ronald Reagan (CVN 76, depan) dan USS Nimitz (CVN 68, belakang) berlayar bersama dalam formasi di Laut China Selatan, 6 Juli 2020.
Ia tidak menampik bahwa mayoritas kemampuan China tidak teruji dalam perang nyata. Kemampuan China hanya diasah lewat latihan. Terakhir kali Beijing terlibat perang besar pada Perang Korea 1950. Setelah itu, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dirombak dan hasil perombakan itu belum pernah diuji dalam perang sesungguhnya.
Sementara sejak Perang Korea sampai sekarang, AS dan sekutunya terus-menerus terlibat dalam perang nyata. Perang terakhir berlangsung di Afghanistan. ”Jika AS dengan semua kekuatannya tidak bisa mengalahkan Taliban yang mengandalkan AK-47 di atas truk, apa peluangnya dalam perang terbuka melawan China, yang tidak hanya negara terbesar, tetapi juga mengendalikan dan memiliki wilayah terluas di Asia,” tulis mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating di Sydney Morning Herald. (AFP/REUTERS)