Kenaikan harga energi membuat produsen karbon dioksida, bahan baku penting dalam industri makanan olahan, dan pupuk menghentikan sebagian produksi. Akibatnya, ada ancaman gangguan produksi pangan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
LONDON, JUMAT — Kenaikan harga bahan bakar fosil mulai berdampak ke produksi pangan. Pabrik pupuk dan karbon dioksida, yang dibutuhkan dalam industri pangan, mulai menghentikan produksi karena kenaikan harga gas.
Pemasok 33 persen amonia global, Yara International, mengumumkan pemangkasan kapasitas produksi hingga 40 persen untuk pabrik di Eropa. Keputusan diambil menyusul gas, bahan baku utama dalam produksi amonia, terus melonjak harganya. Yara punya pabrik di Belanda, Belgia, Italia, Inggris, Jerman, dan Norwegia.
Dalam indeks Bloomberg pada Jumat (8/10/2021), harga gas mencapai 5,86 dollar Amerika Serikat (AS) per mmbtu. Pada Januari 2021, harga gas masih di kisaran 2,2 dollar AS per mmbtu. Dengan demikian, harga gas sudah melonjak lebih dari 100 persen dalam 9 bulan terakhir.
Sebelum Yara, CF Industries yang merupakan produsen utama karbon dioksida Inggris juga mengumumkan penghentian produksi di dua pabriknya. Seperti Yara, CF Industries menyebut kenaikan harga gas jadi pemicu utamanya.
Pengumuman Yara dan CF menjadi indikasi awal bahwa krisis energi berdampak pada produksi pangan global. Pertanian membutuhkan pupuk yang salah satu bahan baku utamanya adalah amonia. Pemangkasan produksi berarti semakin sedikit pupuk.
Sementara dalam industri pengolahan, karbon dioksida terutama dibutuhkan untuk pengawet makanan. Keterbatasan pasokan karbon dioksida membuat produksi pangan olahan dipangkas pula. Sebab, produsen tidak bisa menanggung risiko produknya lebih cepat rusak gara-gara tidak cukup pasokan karbon dioksida. Pangan yang membutuhkan karbon dioksida terentang mulai dari daging kemasan hingga sereal.
Di Inggris, Irlandia, dan sebagian Eropa, kekurangan pasokan pangan olahan gara-gara keterbatasan karbon dioksida sudah mulai terasa. Sebagian toko sudah kehabisan stok pangan. Khusus di Inggris, keterbatasan pasokan juga disebabkan kekurangan tenaga kerja.
Karbon dioksida juga dibutuhkan dalam pertanian modern berbasis rumah kaca. Para pengelola rumah kaca membutuhkan pasokan gas itu untuk disebar secara terkendali dalam gas rumah kaca. Bagi tumbuhan, karbon dioksida adalah sumber makanan. Gangguan pasokan karbon dioksida dan pupuk bisa mengganggu pertanian.
Pertanian modern juga sangat membutuhkan listrik untuk menjaga pasokan cahaya dan air. Kenaikan harga gas menyebabkan tarif listrik juga melonjak. Sejumlah pengelola rumah kaca Eropa sudah menyatakan pembatasan operasi karena kombinasi kenaikan tarif listrik serta keterbatasan pasokan karbon dioksida dan pupuk.
Di China, kenaikan harga energi juga mengganggu produksi pangan. Banyak pabrik tidak mendapat pasokan listrik memadai sehingga harus membatasi atau sama sekali menghentikan operasi. Sejumlah pabrik pupuk di China misalnya, membatasi operasi. Sementara sejumlah pabrik pengolahan kedelai malah sudah berhenti beroperasi.
Penghentian operasi pabrik pengolahan kedelai bisa menjadi ancaman serius bagi China. Kedelai merupakan salah satu unsur penting dalam struktur pangan China. Selain untuk kecap dan tahu, yang dikonsumsi secara luas di China, kedelai juga menjadi pakan ternak.
Peternakan babi dan ayam mengandalkan kedelai olahan sebagai sumber pakan. Jika produksi pakan terganggu, peternak akan kesulitan mendapat pasokan sehingga jumlah ternak yang dipelihara juga berkurang.
Hal itu mencemaskan Beijing yang pernah menghadapi krisis daging babi pada 2018. Kala itu, jutaan babi di China terpaksa dimusnahkan karena virus flu babi Afrika.
Sebagaimana dilaporkan Bloomberg dan Financial Times, cadangan daging babi adalah persoalan strategis bagi China. Kelangkaan daging babi bisa memicu kekurangan pangan di China. Beijing tidak mau sampai terjadi kekurangan pangan di antara 1,4 miliar warga China.
Konsumsi energi melonjak
Kenaikan harga energi dipicu beberapa sebab. Di China, India, dan sejumlah negara lain, faktor utamanya adalah lonjakan konsumsi energi pada 2021 seiring pemulihan ekonomi di sejumlah negara dari dampak pandemi Covid-19. Di China dan India saja, konsumsi energi 2021 melonjak lebih dari 10 persen dibandingkan 2020.
Masalahnya, produsen energi belum mampu mengimbangi lonjakan permintaan itu. Seperti sektor lain, produsen energi juga membatasi produksi karena permintaan anjlok selama pandemi. Upaya peningkatan produksi tidak seimbang dengan lonjakan permintaan energi. Di India saja, ada kekurangan hingga 60.000 ton batubara per hari.
Kenaikan harga batubara menjadi salah satu sebab pemadaman listrik massal di belasan provinsi China. Khusus India dan China, produksi batubara juga terkendala karena sejumlah tambang kebanjiran atau runtuh akibat hujan deras. Butuh waktu untuk memulihkan operasi di sana.
Direktur Analisa Pasar Keuangan pada Alfa Capital Management Vladimir Bragin mengatakan bahwa kebijakan energi sejumlah negara juga memicu kenaikan harga. Beberapa negara memutuskan menghentikan penggunaan nuklir dan batubara sebagai sumber energi. Mereka menggunakan gas alam dan energi terbarukan. Akibatnya, ada lonjakan permintaan gas alam.
Kepala Pendanaan Keamanan Energi Nasional Rusia, Konstantin Simonov, mengatakan, Eropa salah perhitungan soal energi bersih dan pasar gas. Mereka mengabaikan batubara lalu fokus pada gas dan energi terbarukan. Ternyata, di tengah upaya pemulihan, kedua sumber itu tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Selain upaya pemulihan, konsumsi juga melonjak menjelang musim dingin. Mayoritas Eropa, Amerika utara, dan sebagian Asia membutuhkan penghangat ruangan selama musim dingin. Sumber energi utamanya adalah gas alam. (AFP/REUTERS)