Kenapa jumlah peraih hadiah Nobel dari kalangan perempuan minim? Padahal, tahun ini, misalnya, Komite Nobel Norwegia dipimpin oleh seorang perempuan dan mayoritas anggotanya adalah juga perempuan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Delapan peraih hadiah Nobel dari empat bidang yang telah diumumkan hingga Kamis (7/10/2021) adalah pria. Minimnya kaum perempuan yang terpilih sebagai pemenang kembali memicu perdebatan tentang keragaman peraih penghargaan itu dari sisi jender. Memang tidak adakah kaum perempuan yang pantas menerima penghargaan paling bergengsi di tingkat global itu?
Ardem Patapoutian dan David Julius menerima Nobel untuk bidang kedokteran pada awal pekan ini. Giorgio Parisi, Syukuro Manabe, dan Klaus Hasselmann menyusul meraih Nobel bidang fisika atas kerja mereka dalam menguraikan fenomena perubahan iklim. Lalu, ada Benjamin List dan David MacMillan, dua pria lagi yang terpilih sebagai penerima Nobel bidang kimia lewat karya pengembangan alat baru untuk membangun molekul yang lebih sederhana dan ramah lingkungan.
Yang terbaru sejauh ini pada tengah pekan diumumkan novelis Tanzania, Abdulrazak Gurnah, berhak meraih Nobel bidang sastra. Pria berusia 72 tahun itu sekaligus menjadi penulis kulit berwarna kedua di Afrika sub-Sahara yang memperoleh hadiah Nobel untuk bidang sastra. Penerima Nobel di bidang itu dari kalangan berlatar kulit hitam terakhir adalah Toni Morrison pada 1993.
”Abdulrazak Gurnah memenuhi setidaknya satu kriteria seorang penulis dari lingkaran budaya nontradisional, non-Eropa dengan latar belakang kolonial, tapi dia bukan seorang perempuan,” kata Kepala Asosiasi Akademisi Perempuan Swedia Anne-Marie Morhed.
Menurut Morhed, terdapat dua hadiah tersisa, yakni Nobel perdamaian dan penghargaan bidang ekonomi. ”Komite Nobel masih memiliki kesempatan untuk menghormati seorang perempuan.”
Pemimpin oposisi Belarus yang diasingkan, yakni Sviatlana Tsikhanouskaya, dan aktivis lingkungan hidup Greta Thunberg adalah setidaknya dua perempuan yang disebut-sebut sejumlah kalangan punya peluang atas Nobel. Thunberg yang berasal dari Swedia itu bahkan sudah disebut sosoknya dalam beberapa tahun menjelang pengumuman Nobel serupa.
Thunberg bahkan sudah disebut sosoknya dalam beberapa tahun menjelang pengumuman Nobel serupa.
Komite Nobel Norwegia dipimpin oleh seorang perempuan dan mayoritas anggotanya adalah juga perempuan. Hal itu sama halnya dengan komite sebelumnya: dipimpin oleh seorang perempuan dan dengan mayoritas anggota perempuan. Sejumlah pihak menilai ada tidaknya korelasi mereka yang berada di komite itu dengan para pemenang, khususnya dari sisi jender.
Selain sisi jender, belakangan muncul juga suara-suara untuk tidak memberikan hadiah prestisius itu hanya kepada pria kulit putih dari Amerika Utara dan Eropa Barat. Data menunjukkan kecenderungan itu muncul dari daftar peraih Nobel dalam beberapa dekade sebelumnya. Dibandingkan dengan selusin peraih Nobel bidang perdamaian berkulit hitam dalam sejarah Nobel, tidak pernah ada penerima kulit hitam dari hadiah untuk kedokteran, kimia, dan fisika.
Profesor Winston Morgan, ahli toksikologi di University of East London, adalah salah satu akademisi yang meneliti para penerima Nobel, mulai dari sosok hingga latar belakang mereka. Ia berpendapat, ada aneka kesenjangan dalam konteks proporsi populasi dunia dan pemenang. ”Kesenjangan terbesar adalah jender. Jumlah pemenang hadiah dari kalangan perempuan sangatlah kecil,” kata Morgan.
Para ilmuwan, baik dari kalangan perempuan maupun pria, melalui media sosial mengecam kurangnya atau belum adanya sosok perempuan yang diakui secara global sejauh ini lewat hadian Nobel. GenderAvenger, sebuah kelompok nirlaba yang didedikasikan untuk memajukan suara perempuan dalam dialog publik, mengatakan, hadiah Nobel layaknya ”misteri yang mengerikan”. Padahal, di mata kelompok itu, perempuan-perempuan juga melakukan pekerjaan-pekerjaan luar biasa bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Ellie Murray, asisten profesor epidemiologi di Boston University School of Public Health, juga menyatakan kekecewaan atas minimnya keterwakilan perempuan sebagai penerima hadiah Nobel. Ia menyebut, misalnya, Katalin Kariko dan Kizzmekia Corbett sangat layak menerima Nobel tahun ini. Kariko dan Corbett adalah perempuan-perempuan ilmuwan kunci di balik pengembangan vaksin mRNA yang mengubah arah pandemi Covid-19.
Sejumlah pihak menilai sangat mungkin bahwa Kariko dan Corbett akan menerima Nobel pada tahun-tahun mendatang. Alasannya, Komite Nobel cenderung memberikan penghargaan kepada penerima setelah jangka waktu tertentu. ”Masalah untuk hadiah Nobel adalah bahwa hal itu memiliki kriteria, tradisi, dan sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari itu,” kata Morgan seraya menambahkan bahwa komite kemungkinan akan menanggapi inovasi ilmiah dalam tiga atau empat tahun pandemi.
Jesper Haeggstrom, Ketua Majelis Nobel yang menganugerahkan hadiah dalam bidang fisika dan kedokteran, mengatakan, kurangnya peraih dari kalangan perempuan dapat dijelaskan secara sederhana, yakni cerminan representasi perempuan dalam sains. ”Representasi perempuan kurang secara historis dalam sains. Jadi, semakin jauh Anda melihat ke belakang, semakin sedikit kandidat perempuan yang ada,” katanya.
Haeggstrom menolak mengatakan apakah jender berperan dalam proses seleksi komite. ”Saya tidak berhak memberi Anda rincian tentang ini, tetapi secara umum, saya dapat mengatakan bahwa kompetensi ilmiah adalah faktor penentu,” katanya. (REUTERS)