Hidup di Singapura akan terasa semakin sesak karena ruang gerak warga kian terbatas. Beragam teknologi pengawasan akan dipasang dan robot patroli seperti Robocop akan sering keliling kota.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
”Tetap jaga jarak 1 meter. Satu kelompok hanya boleh ada lima orang,” begitu kata Xavier mengingatkan sekelompok kakek-kakek yang sedang asyik menonton teman-temannya bermain catur. Mereka pun terpaksa bubar meski permainan sedang seru.
Xavier, robot ”polisi perilaku” yang beroda, kebetulan sedang berpatroli di salah satu kawasan permukiman di Singapura. Begitu melihat ada banyak orang berkumpul, ia langsung berhenti dan memindai satu per satu orang di lokasi itu. Seperti di film laga RoboCop, ”mata” Xavier atau kamera di bagian kepalanya bergerak naik turun kiri kanan untuk memindai. Tak tanggung-tanggung, Xavier dibekali tujuh kamera.
Xavier tidak hanya akan membubarkan orang yang berkumpul lebih dari lima orang, tetapi juga menegur orang yang merokok di lokasi bebas rokok dan orang yang parkir sepeda tidak pada tempatnya. Xavier merupakan bagian dari robot yang sedang diuji coba terkait program robot patroli yang bertugas memberikan peringatan kepada siapa saja yang ”berperilaku tak diperbolehkan di ruang publik”.
Selama dua pekan uji coba pada September lalu, ada dua robot yang berpatroli keliling kompleks-kompleks permukiman dan pertokoan. Robot patroli ini menambah sederetan teknologi pengawasan di Singapura yang selama ini terkenal ketat.
Teknologi baru ini memicu persoalan pada isu privasi warga. Tidak hanya robot patroli yang diuji coba, tetapi juga kamera-kamera CCTV hingga tiang lampu yang dilengkapi dengan teknologi pengenalan wajah. Segala teknologi untuk melacak pergerakan warga dipasang.
Sejak lama, jauh sebelum pandemi Covid-19, pemerintah Singapura berupaya menjadi ”negara serba berteknologi pintar”. Namun, hal ini ditentang para aktivis. Kebijakan itu dinilai membuat warga tidak lagi memiliki privasi karena ruang geraknya sangat sempit. Selain itu, warga juga tak tahu data mereka digunakan untuk apa. Kebebasan sipil menjadi terbatas dan penggunaan teknologi tambahan ini akan semakin mengganggu.
”Robot-robot itu mengingatkan saya pada Robocop. Saya tidak nyaman dengan keberadaan mereka karena kita seperti di dunia robot,” kata Frannie Teo (34), peneliti yang sedang melintas di depan mal.
Aktivis hak digital Lee Yi Ting mengatakan, pemerintah kian gencar mengawasi rakyatnya. Pemerintah merasa perlu mengawasi rakyatnya, apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan.
Namun, pemerintah membela diri dengan mengatakan teknologi pengawasan seperti robot patroli itu dibutuhkan untuk mengatasi krisis tenaga kerja seiring dengan menuanya populasi Singapura. Robot patroli itu tidak digunakan untuk mengidentifikasi atau menindak pelanggar protokol kesehatan.
Kehadiran mereka (robot patroli) bisa mengatasi kurangnya jumlah polisi yang berpatroli. ”Angkatan kerja kian menyusut,” kata Ong Ka Hing dari lembaga pemerintah yang mengembangkan robot-robot Xavier.
Singapura yang berpenduduk 5,5 juta jiwa itu memasang 90.000 kamera polisi dan teknologi pengenalan wajah di lampu-lampu jalan. Jumlahnya akan bertambah dua kali lipat pada 2030. Pada tahun ini pemerintah menyebutkan, data pelacakan kontak terkait Covid-19 diakses juga oleh kepolisian. Untuk menjamin keamanan data, Pemerintah Singapura menerbitkan undang-undang baru yang membatasi penggunaan data itu.
Akan tetapi, warga tetap merasa tidak nyaman dengan pengawasan itu. ”Tidak ada batasan hukum privasi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemerintah,” kata Indulekshmi Rajeswari, pengacara isu privasi dari Singapura. (AFP)