Pelonggaran di Portugal dengan Tetap Menegakkan Protokol Kesehatan
Portugal mulai memberlakukan pelonggaran. Namun, warga tetap diminta waspada dan disiplin melakukan protokol kesehatan. Sementara itu, Singapura melakukan penyederhanaan dalam penanganan OTG yang telah divaksin.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
LISABON, MINGGU — Portugal merupakan negara Eropa pertama yang cakupan vaksinasi Covid-19 mencapai 86 persen dari keseluruhan penduduk. Sejumlah pelonggaran telah dilakukan, seperti membuka restoran, bar, bahkan juga klub malam. Meskipun demikian, pemerintah tetap mengimbau kesadaran warga menegakkan protokol kesehatan secara mandiri.
Berdasarkan data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC), hanya Portugal, Eslandia, dan Malta yang cakupan vaksinasi Covid-19 di atas 75 persen. Rata-rata negara Eropa baru mencapai 61 persen. Inggris misalnya, baru memvaksinasi 66 persen warganya. Di negara timur seperti Bulgaria dan Romania, rata-rata vaksinasi baru 20 persen. Bahkan, Israel yang paling awal menggembar-gemborkan diri sudah mencapai kekebalan massal ternyata baru mengimunisasi 61 persen warganya.
”Kami tetap menyarankan penegakan protokol kesehatan seperti pembatasan jumlah orang ketika hendak kumpul-kumpul. Usahakan juga kalau mau berkumpul dilakukan di ruang terbuka,” kata Direktur ECDC Andrea Ammon kepada kantor berita Portugal, Lusa.
Kesuksesan program imunisasi massal Portugal ialah karena dilakukan oleh militer. Di saat yang sama, ini pula yang dikritik oleh negara-negara Barat karena dinilai mengesampingkan kebebasan warga. Kampanye vaksinasi juga agresif di semua sektor media arus utama dan media sosial.
Pada Januari 2021, Portugal sebenarnya berada di ambang krisis karena rumah sakit kewalahan menampung pasien positif Covid-19. Pemerintah kemudian mengubah strategi penanganan Covid-19 dan menunjuk perwira Angkatan Laut, Laksmada Madya Henrique Gouveia e Malo sebagai ketuanya. Ia berpengalaman sebagai komandan kapal selam.
Ketika diwawancara oleh harian New York Times, Gouveia e Malo menjelaskan bahwa hal pertama yang ia lakukan setelah dilantik sebagai ketua satgas ialah mengumpulkan tim pakar, mulai dari ahli kesehatan masyarakat, mikrobiologi, hingga sosial. ”Pastinya, tidak seorang pun anggota tim berupa politisi ataupun terafiliasi dengan partai politik tertentu sehingga kami murni bergerak berdasarkan analisis profesional,” ujarnya.
Mereka menggencarkan kampanye vaksin Covid-19 melalui semua kanal media. Artis dan tokoh-tokoh masyarakat juga digandeng menjadi duta vaksin. Gouveia e Melo juga terkenal kerap turun tangan langsung menangani protes para penolak vaksin. Salah satu kejadian ialah ketika pendemo menutup akses masuk ke salah satu posko vaksin. Mereka membuat barisan dan berteriak bahwa vaksin Covid-19 adalah pembunuh.
Gouveia e Melo mendatangi tempat itu sambil mengenakan seragam lapangan AL. Kepada para pengunjuk rasa, ia mengatakan bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah virus korona jenis baru. ”Saya katakan kepada para penolak vaksinasi bahwa terserah mereka jika tidak mau diimunisasi, tapi jangan halangi niat orang lain yang ingin divaksin,” tuturnya.
Antropolog yang meneliti perkembangan gerakan antivaksinasi di Portugal, Manuela Ivone da Cunha, memaparkan, penolakan terhadap vaksin di Portugal relatif rendah dibandingkan negara-negara lain di Eropa. Portugal memiliki pengalaman terkena wabah polio sampai dengan tahun 1980-an.
Setiap warga memiliki kerabat ataupun kenalan yang meninggal ataupun menjadi penyandang disabilitas akibat terkena polio. Cakupan vaksinasi anak-anak di negara ini adalah 100 persen. Terkait dengan vaksin Covid-19, penolakan umumnya karena masa produksi hingga uji klinis vaksin terlalu cepat. Hal ini karena vaksin Covid-19 masih berstatus penggunaan darurat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Satgas Portugal mengutamakan komunikasi yang transparan dan mau menjawab berbagai pertanyaan yang sukar dari media. Anggotanya juga sering turun ke lapangan guna berdialog dengan warga. Pendekatan yang komunikatif ini terus dilakukan hingga sekarang sehingga warga, meskipun tetap meragukan isi vaksinnya, meyakini bahwa imunisasi adalah cara kita bisa bertahan menghadapi Covid-19,” paparnya. Data Pemerintah Portugal per September 2021 mengungkapkan hanya 2,2 persen warga yang masih menolak divaksin.
Pemerintah Portugal juga mengumumkan belum ada rencana melakukan suntikan dosis penguat (booster). Mereka memercayai bagi-bagi vaksin kepada wilayah yang membutuhkan adalah jurus lebih efektif untuk meningkatkan kekebalan massal. Sejauh ini, Portugal telah menyumbang 2 juta dosis vaksin ke Timor Leste dan negara-negara di Afrika yang menggunakan bahasa Portugis, contohnya ialah Mozambik dan Angola.
Penyederhanaan mekanisme
Sementara itu, Singapura yang warganya sudah 82 persen divaksin masih menjalani pembatasan kegiatan masyarakat. Tercatat pada hari Jumat (1/10/2021) ada 2.909 kasus Covid-19 baru dan delapan kematian. Sebanyak 98 persen dari kasus ini adalah orang tanpa gejala (OTG). Adapun kematian terjadi pada pasien lansia dengan komorbid.
Pengetatan pembatasan disambut protes warga karena bisnis yang awalnya mulai bangkit terpaksa jatuh lagi. Masyarakat meminta pemerintah menyiapkan skema agar negara itu bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Apabila kasus tidak dinilai parah, semestinya bisa ditangani tanpa harus melakukan penguncian wilayah secara besar-besaran.
Direktur Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Singapura, Kenneth Mak, dalam jumpa pers Minggu (3/10/2021) mengatakan, OTG yang telah menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap boleh melakukan isolasi mandiri di kediaman masing-masing. OTG dan kontak erat tidak perlu melakukan tes reaksi berantai polimerase (PCR), tetapi cukup tes cepat berbasis antigen. Jika hasil antigen reaktif, mereka diminta isolasi mandiri selama tiga hari.
”Setelah tiga hari dilakukan tes antigen lagi. Kalau hasilnya negatif, boleh kembali berkegiatan seperti biasa,” kata Mak seperti dikutip oleh Yahoo News Singapore.