Terus Uji Coba Rudal, dari Hipersonik hingga Antipesawat, Apa Maunya Korut?
Korut diketahui memiliki sejarah panjang dalam menggunakan uji coba senjata-senjata rudalnya sebagai strategi untuk menyampaikan pesan dan keinginannya.
SEOUL, JUMAT — Korea Utara dilaporkan kembali menembakkan rudal baru anti-pesawat dalam lanjutan uji coba rudal pada Kamis (30/9/2021). Ini peristiwa teraktual dalam serangkaian uji coba senjata oleh negara bersenjata nuklir itu. Pada awal pekan ini Pyongyang mengklaim sukses menguji rudal hipersonik terbaru. Sebelumnya, awal September lalu, negara miskin itu juga mengaku berhasil meluncurkan rudal jelajah jarak jauhnya.
Kantor berita Korut KCNA mewartakan, rudal anti-pesawat terbaru yang diluncurkan tersebut memiliki ”kinerja tempur yang luar biasa”, dengan fasilitas antara lain kontrol kemudi kembar dan teknologi baru lainnya. Foto peluncuran rudal itu ditampilkan pada surat kabar Pemerintah Korut, Rodong Sinmun, pada edisi Jumat (1/10/2021). Terlihat foto rudal tengah meluncur ke langit dari sebuah kendaraan peluncuran pada Kamis.
Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan, pihaknya tidak dapat segera mengonfirmasi peluncuran terbaru senjata Pyongyang itu. Rudal anti-pesawat jauh lebih kecil daripada rudal balistik yang dilarang dikembangkan oleh Korut berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Rudal anti-pesawat juga dilaporkan lebih sulit dideteksi dari jauh.
Baca Juga: Berlomba-lomba Uji Rudal Hipersonik, Korut Pun Tak Mau Ketinggalan
Korsel, Jepang, dan AS biasanya secara terbuka mengonfirmasi uji rudal-rudal Korut, tidak lama setelah rudal-rudal itu ditembakkan. Namun, tidak untuk uji rudal, Kamis kemarin. Kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, hal itu mengindikasikan bahwa uji coba rudal terakhir itu kemungkinan bukan uji rudal utama.
Meski demikian, uji coba rudal terbaru Korut mesti perlu dicermati. Pyongyang berada di bawah berbagai sanksi internasional atas program senjatanya. Alih-alih melemah, program senjata Korut diduga justru mengalami kemajuan pesat di bawah pemerintahan Kim Jong Un. Pyongyang diduga mampu mengembangkan rudal dengan kemampuan jelajah hingga seluruh daratan AS. Uji coba nuklir juga diduga terus dilakukan Korut di bawah kendali Kim.
Serangkaian uji coba rudal-rudal terbaru Pyongyang—sebelum peluncuran terbaru rudal anti-pesawat—telah memicu kecaman internasional. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan, langkah Pyongyang itu menciptakan ”prospek yang lebih besar terhadap ketidakstabilan dan ketidakamanan”. Bersama Inggris dan Perancis, AS telah mendesak digelar pertemuan Dewan Keamanan PBB tentang Korut yang akan digelar Jumat (1/10/2021) ini.
Baca Juga: Rudal Hipersonik dan Rekayasa Korut
Awalnya pertemuan itu dijadwalkan pada Kamis, tetapi kemudian ditunda atas permintaan Rusia dan China. Seorang sumber diplomatik menyebutkan, Rusia dan China meminta lebih banyak waktu untuk mempelajari situasinya.
Beijing adalah sekutu utama Pyongyang. Dalam kondisi normal China juga penyedia perdagangan dan bantuan terbesarnya. Korut sejak awal tahun lalu memblokade sendiri lewat penutupan perbatasannya untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Pesan Kim Jong Un
Aneka peluncuran senjata terbaru Pyongyang itu dilakukan di tengah munculnya spekulasi langkah Korut di Semenanjung Korea, khususnya kembali membuka komunikasi dengan Korsel. Di depan Majelis Rakyat Tertinggi Korut tengah pekan ini, Kim Jong Un mengatakan bahwa mulai bulan depan dirinya bersedia untuk memulihkan jalinan komunikasi antar-Korea dengan Korsel yang sebelumnya terputus.
Di depan Majelis Rakyat Tertinggi Korut tengah pekan ini, Kim Jong Un mengatakan, mulai bulan depan dirinya bersedia untuk memulihkan jalinan komunikasi antar-Korea dengan Korsel yang sebelumnya terputus.
Namun, kesediaan Pyongyang itu disertai tuduhan bahwa Pemerintah AS mengusulkan pembicaraan Korut-Korsel tanpa mengubah ”kebijakan bermusuhan” dengan Korut.
Kim menyatakan, keputusan untuk mengaktifkan kembali jalur tersebut adalah untuk membantu "mewujudkan harapan dan keinginan seluruh bangsa Korea” dan mencapai sebuah kondisi damai yang tahan lama dalam hubungan lintas batas. ”Kami tidak memiliki tujuan atau alasan untuk memprovokasi Korsel dan tidak ada ide untuk menyakitinya,” katanya, sebagaimana dikutip KCNA.
”Korsel perlu segera menyingkirkan delusi, kesadaran krisis, dan kesadaran akan dirugikan oleh apa yang dianggap sebagai provokasi Korut,” ujar Kim.
Baca Juga: Pyongyang Buka Kesempatan Jalin Kontak Lagi dengan Seoul
Pyongyang memutus komunikasinya dengan Seoul pada awal Agustus sebagai protes terhadap kerja sama Korsel-AS lewat latihan militer. Pemutusan komunikasi itu dilakukan sepihak, hanya beberapa hari setelah dibuka kembali untuk pertama kalinya dalam setahun. Praktis tidak ada komunikasi di antara dua Korea sejak saat itu hingga kemudian Pyongyang menggelar aneka uji coba senjata terbarunya pada September ini.
Strategi ”cek ombak”
Uji coba-uji coba rudal Korut itu pun meramaikan ”perlombaan panas” yang digelar oleh kekuatan militer utama global. Pyongyang menggelar uji coba rudal hipersonik, misalnya, saat Rusia, China, dan AS terus mengembangkan rudal serupa. Pada saat bersamaan Pyongyang juga menuntut agar Seoul dan Washington menghentikan ”standar ganda” mereka atas pengembangan senjata.
Korut diketahui memiliki sejarah panjang dalam menggunakan uji senjata sebagai strategi untuk menyampaikan pesan dan keinginannya. Langkah itu juga dilakukan sebagai bagian untuk menarik perhatian Barat, khususnya AS. Apalagi, langkah AS di bawah pemerintahan Joe Biden belum terlihat jelas atas Semenanjung Korea.
Sejumlah pakar menyebutkan, Pyongyang ingin agar Korsel meyakinkan Washington bahwa AS diharapkan mau mengurangi sanksi ekonomi internasional terhadap Korut. Sebagian pengamat lainnya mengatakan, Korut tengah menekan Korsel agar tidak mengritik uji coba-uji coba rudal balistik, yang dilarang sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB, sebagai bagian dari upaya Pyongyang agar diakui masyarakat internasional sebagai negara kekuatan nuklir.
Menurut Soo Kim dari lembaga RAND Corporation, melalui berbagai langkah terbarunya, Kim Jong Un tengah ”melakukan cek ombak terhadap Washington”. ”Dia kemungkinan berharap bisa melihat, seberapa banyak (keuntungan) yang bisa diperoleh hingga pemerintahan Biden mulai tersentak,” kata Soo Kim kepada AFP.
Menurut seorang pembelot Korut yang menjadi peneliti, Ahn Chan-il, tingkah Pyongyang lewat uji coba senjata-senjata terbaru dan juga keinginan untuk berkomunikasi lagi khususnya dengan Korsel adalah ingin memperlihatkan kehadiran Korut di panggung dunia dan kemampuan militer mereka.
”Mereka (Korut) mengulur waktu dengan cara ini dan mencoba memanfaatkan sebanyak mungkin proposal Seoul yang menawarkan pengumuman secara resmi berakhirnya Perang Korea, serta tawaran Washington untuk berbicara tanpa prasyarat apa pun,” kata Ahn.
Seperti diwartakan Presiden Korsel Moon Jae-in baru-baru ini mengulangi seruannya untuk mendeklarasikan secara resmi bahwa Perang Korea telah berakhir. Status perang yang berlangsung antara 1950-1953 hingga kini belum berakhir. Perang itu berhenti dengan perjanjian gencatan senjata, bukan dengan perjanjian damai.
Sulit dipercaya
Para pengamat Korut tidak terlalu percaya bahwa Kim Jong Un akan menerima tuntutan AS untuk menyerahkan gudang nuklirnya. Bagi Pyongyang, senjata nuklirnya dianggap sebagai penjamin keamanan negaranya.
Dalam pidatonya di sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, awal pekan ini, Dubes Korut untuk PBB Kim Song menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi hak negara bersenjata nuklir, seperti Korut, untuk menguji persenjataan.
Baca Juga: Korut Kembali Menguji Rudal Nuklir, AS Tidak Khawatir
”Tak seorang pun bisa menyangkal hak Korut untuk membela diri dengan mengembangkan, menguji, membangun, dan memproses sistem persenjataan. Kami hanya memperkuat pertahanan nasional untuk melindungi diri, menjaga keamanan, dan kedamaian negara,” kata Kim di New York, AS, Senin (27/9/2021) waktu setempat.
Jacob Stokes, peneliti pada lembaga Center for a New American Security, mengatakan bahwa pemerintahan Biden masih dapat bernegosiasi dengan Korut agar menghentikan tindakan-tindakan provokatifnya, seperti uji coba-uji coba rudalnya. Tantangannya, lanjut Stokes, adalah ”apakah Anda bisa mengesampingkan dulu tuntutan jangka panjang demi mencapai kemajuan sementara”.
Jika Korut tetap meneruskan ”provokasi-provokasi agresifnya hingga Amerika Serikat dan Korea Selatan memberikan setumpuk konsesi unilateral sebagai imbalan dari kesediaan duduk di meja perundingan, (terwujudnya tujuan jangka panjang itu) hampir sulit terjadi,” jelas Stokes.
Dua jalur pendekatan
Washington dan Seoul adalah sekutu kuat dalam keamanan. AS menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korsel guna melindungi negara itu dari ancaman Korut. Pada bulan Agustus, AS-Korsel menggelar latihan militer bersama, tindakan yang tentu saja membuat berang Pyongyang.
Di bawah Presiden Joe Biden, AS telah berulang kali menyatakan kesediaannya untuk bertemu dengan perwakilan Korut di mana saja, kapan saja, tanpa prasyarat, sambil mengatakan akan mengupayakan denuklirisasi.
Menurut Ken Gause, yang memimpin program analisis permusuhan di lembaga riset CNA, Korut terlihat mengambil dua jalur pendekatan, yakni berupaya meningkatkan pertaruhan posisinya terkait AS dan di sisi lain berharap Korsel akan mendorong diplomasi. ”Korea Utara memiliki rencana—mendorong AS hingga batas kesabaran strategisnya dan berupaya memaksa mereka (AS) mengajukan peringanan sanksi di meja (perundingan). Itu sebabnya mereka menolak perundingan tanpa syarat,” kata Gause.
Ia menambahkan, pemerintahan AS sebelumnya menemukan cara lebih produktif untuk terlibat dalam isu Korut, tetapi pada akhirnya gagal karena lebih fokus pada langkah meningkatkan tekanan dibandingkan dengan memberikan insentif terhadap Pyongyang. Gause khawatir, pemerintahan Biden yang diisi para veteran pengambil kebijakan tidak akan berpikir out of the box.
”Dalam 40-50 tahun terakhir, kita telah menetapkan kerangka masalah ini sebagai urusan bilateral, permainan menang-kalah secara hitam-putih di Semenanjung Korea—Anda menang, kami kalah atau kami menang, Anda kalah. Ini yang terjadi saat ini,” lanjut Gause. (AFP/REUTERS)