Setelah membangun 600.000 rumah setiap tahun, beban utang Evergrande melonjak 56 kali dari posisi satu dekade lalu. Utang Evergrande lebih besar daripada utang perusahaan non-keuangan lain di China.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Ada hal menarik sekaligus aneh dari pengumuman Evergrande Group pada awal September 2020. Perusahaan properti raksasa terbesar kedua di China itu berperilaku layaknya toko pakaian. Evergrande mengumumkan program obral berbunyi ”Diskon 30 persen untuk semua properti, hanya satu bulan!”.
Sebagian masyarakat cukup terperanjat dengan informasi diskon itu. Orang memperdebatkan apakah sekadar gimmick atau diskon asli. Namun, bagi para analis dan ekonom, informasi itu menyiratkan misteri atas kondisi Evergrande. Diskon tersebut mengungkapkan adanya kebutuhan Evergrande atas uang tunai dalam waktu cepat. Para analis pun berupaya melihat lebih jauh kondisi keuangan perseroan itu.
Pertanyaan lanjutan bermunculan. Seberapa besar utang Evergrande dibandingkan dengan asetnya? Apakah perusahaan itu berada dalam ancaman gagal bayar utangnya? Setahun kemudian, ancaman soal gagal bayar utang itu bukan isapan jempol belaka.
Seperti diwartakan, protes meningkat di kantor-kantor Evergrande Group di seluruh wilayah China dalam sebulan terakhir. Pihak pengembang berjibaku memenuhi janji untuk membayar utang perusahaan kepada lebih dari 70.000 investor. Konstruksi properti milik perusahaan yang belum selesai pun terhenti pembangunannya. Luas lantai di gedung itu cukup untuk menutupi tiga perempat kota Manhattan, Amerika Serikat. Lebih dari 1 juta pembeli rumah yang dijual perseroan berada dalam ketidakpastian.
Sinyal adanya masalah di Evergrande Group juga tergambar pada sebuah surat yang tersebar secara daring pada September tahun lalu. Dalam surat itu disebutkan, bangunan dasar grup mulai goyah. Muncul peringatan soal gagal bayar kewajiban utang perseroan yang bisa menyebabkan risiko keuangan sistemik.
Surat itu mencantumkan bahwa Evergrande memiliki proyek di 229 kota di China dengan cakupan jumlah tenaga kerja hingga 3 juta orang.
Entah asli atau tidak, tetapi surat itu menggambarkan proyeksi secara lugas. Media The Economist menyebutkan, jika Evergrande runtuh, dampaknya terhadap ekonomi akan parah. Ini karena Evergrande memiliki proyek di 229 kota di China dengan cakupan tenaga kerja hingga 3 juta orang. Dampak finansialnya pun akan luas. Evergrande dilaporkan berutang kepada 171 bank domestik dan 121 perusahaan keuangan lain, di atas semua pemegang surat utang perseroan.
Menyimpang
Evergrande Group sebelumnya bernama Evergrande Real Estate Group Limited. Perseroan ini pada prinsipnya bergerak dalam pengembangan properti. Perusahaan menjalankan bisnisnya melalui empat segmen, yakni pengembangan properti, investasi properti, manajemen properti, dan bisnis lainnya.
Namun, perseroan menyimpang jauh dari bisnis intinya. Segmen usaha lainnya bergerak dalam bidang penyediaan hotel dan jasa terkait pengembangan properti, asuransi, dan bisnis produk-produk konsumsi. Melalui anak perusahaannya, perseroan juga bergerak di bidang produksi air mineral dan produksi pangan. Perusahaan bahkan membangun akademi dan stadion sepak bola serta mengembangkan perusahaan listrik.
Setelah membangun 600.000 rumah setiap tahun, Evergrande ternyata mengumpulkan beban utang 56 kali lebih besar daripada posisi satu dekade lalu. Utang Evergrande lebih besar daripada utang perusahaan non-keuangan lain yang terdaftar di China. Regulator China memperingatkan, kewajiban perseroan senilai 305 miliar dollar AS (sekitar Rp 4.355 triliun) dapat memicu risiko yang lebih luas atas sistem keuangan China jika tidak tertangani dengan baik.
Pertengahan pekan lalu, Bank Sentral China menyuntikkan dana sebesar 120 miliar yuan atau sekitar 19 miliar dollar AS (Rp 271 triliun) ke dalam sistem perbankan China dengan harapan dapat menyelamatkan Evergrande. Kantor berita Reuters melaporkan, Beijing juga mendorong perusahaan milik pemerintah dan pengembang properti yang didukung negara seperti China Vanke Co Ltd untuk membeli beberapa aset Evergrande.
Harapan Beijing turun tangan untuk menahan dampak kemungkinan gagal bayar Evergrande menjadi sentimen positif bagi para pelaku pasar, minimal dalam waktu dekat. Meskipun demikian, laporan tentang ketidakpastian kinerja bebepa anak usaha Evergrande, salah satunya yang bergerak di sektor kendaraan listrik, tetap menimbulkan ketidakpastian.
Sejumlah sumber di Beijing menyebutkan, pemerintah pusat tidak mungkin campur tangan secara langsung untuk menyelesaikan krisis Evergrande dalam bentuk dana talangan. Pembelian aset diharapkan menangkal atau setidaknya mengurangi kerusuhan sosial yang bakal terjadi jika Evergrande mengalami gagal bayar secara menyeluruh.
Sejumlah perusahaan milik pemerintah telah melakukan uji tuntas atas aset milik Evergrande di kota Guangzhou. Grup Investasi Konstruksi Kota Guangzhou hampir mengakuisisi stadion sepak bola Guangzhou FC Evergrande dan proyek perumahan di sekitarnya. Biaya pembangunan stadion itu diperkirakan mencapai 1,9 miliar dollar AS dengan kapasitas penonton hingga 100.000 orang. Seorang sumber menyebutkan, pembeli potensial aset inti Evergrande di Guangzhou itu telah ”diatur” dengan ”pertimbangan politik dan komersial”.
Rembesan pasar keuangan
Kekhawatiran utama jika Evergrande mengalami gagal bayar adalah efeknya bagi pasar keuangan China, Asia, dan global. Jalur pembiayaan luar negeri sektor properti China umumnya terdiri dari pasar surat utang (dengan denominasi dollar AS), pinjaman sindikasi luar negeri, dan pembiayaan lewat kesepakatan pribadi. Pasar surat utang luar negeri adalah yang terbesar dari sisi jumlah.
Analisis tim ekonomi UBS menyebutkan, pasar surat utang luar negeri sektor properti China hanya mencakup 4,5 persen dari total kewajiban sektor properti China yang diperkirakan mendekati 4,7 triliun dollar AS. Surat utang luar negeri Evergrande diperkirakan mencapai 19 miliar dollar AS.
Kemungkinan rembesan efek dari posisi utang Evergrande ke pasar keuangan di luar China, menurut UBS, akan bergantung pada restrukturisasi atau likuidasi sepenuhnya yang dilakukan Evergrande. Sampai saat analisis itu dirilis pada pertengahan September, UBS masih yakin restrukturisasi dapat dilakukan.
Namun, rembesan efek risiko dapat terjadi jika pertama, restrukturisasi tidak berjalan mulus. Ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor pada sektor properti yang lebih luas. Kedua, efek domino kredit melalui bank atau lembaga keuangan lain. Modal yang memiliki eksposur besar ke Evergrande berpotensi turun atau dipaksa untuk direstrukturisasi. Ini bisa menambah kekhawatiran seputar risiko stabilitas keuangan di China.
Ketiga, likuidasi penuh yang akan memaksa lembaga pemeringkat untuk menilai ulang peringkat utang perseroan. Ini menyebabkan tekanan jual tambahan di pasar keuangan. Kondisi itu juga bisa mendorong distorsi besar likuiditas di pasar surat utang dalam negeri atau luar negeri China dan berimbas ke surat utang di negara-negara berkembang.